Nama : Ni Luh Putu Sri Musiartini Setiawati
Nim : 10.1.1.1.1.3883.
Kelas : PAH IV B
Mk : Siva Siddhanta-Tugas Individu
PEMBAHASAN
1.1
Cobalah divinisikan tentang atribut-atribut dari dewa Siva.
Śiva
adalah salah satu dari tiga dewa utama (Trimurti)
dalam agama Hindu. Kedua dewa
lainnya adalah Brahma
dan Wisnu. Dalam ajaran agama Hindu,
Dewa
Śiva adalah dewa pelebur,
bertugas melebur segala sesuatu yang sudah usang dan tidak layak berada di
dunia fana lagi sehingga harus dikembalikan kepada asalnya.
Dewa Śiva melambangkan aspek dari kenyataan yang Mutlak (Brahma dalam
Upanisad) yang secara terus menerus menciptakan kembali, dalam siklus proses
penciptaan, pemeliharaan dan peleburan dan penciptaan kembali. Ia menghilangkan
kejahatan, menganugerahkan anugrah, memberikan berkah, menghancurkan ketidak
perdulian, dan membangkitkan kebijaksanaan pada pemujaannya. Karena tugas dari
dewa Śiva sangat banyak. Ia
tidak dapat dilambangkan atau digambarkan dalam satu bentuk. Maka dari itu,
akan dibahas filosofis nama Śiva
serta atribut-atribut dari dewa Śiva.

Dalam Śiva Siddhanta, Kata Śiva berarti yang memberikan
keberuntungan (kerahayuan), yang baik
hati, ramah, suka memaafkan, menyenangkan, memberi banyak harapan, yang tenang,
membahagiakan dan sejenisnya (Monier, 1990:1074). Sang Hyang Śiva di dalam
menggerakkan hukum kemehakuasaan-Nya didukung oleh śakti-Nya Durgā atau Pārvatῑ
(Gunawan, 2012:56). Śiva
memiliki lima tahapan (pancanasa) atau kadang-kadang yang tampak hanya satu,
namun selalu memiliki tiga mata yang dikatakan melambangkan ketiga phase waktu
yaitu dulu, sekarang, dan masa yang akan datang.
Selain itu tiga mata yang dimiliki Dewa Śiva disebut juga Trinetra yaitu
Phalanetra, Agnilocana, Trilocana dan lain-lain, karena fakta-fakta tersebut di
atas Śiva disebut yang dapat menghancurkan segala sesuatu yang berkaitan dengan
Agni (Gunawan, 2012 : 60). Sumber lain menyatakan Dewa Śiva memiliki tiga mata. Dua matanya pada bagian kiri dan kanan melambangkan pengetahuan (jnana), dan ini disebut dengan mata
kebijaksanaan atau pengetahuan. Kekuatan pandangan mata ketiga Śiva menghancurkan kejahatan, dan ini
adalah alasan mangapa orang berbuat kejahatan sangat takut dengan mata
ketigaNya (Pandit, 2006:207).
Kepala Dewa Śiva dihiasi oleh bulan sabit dan bukan menjadi bagian dari
tubuhNya. Pembahasan dan pengecilan bulan melambangkan siklus waktu dimana
penciptaan ada didalamnya dari awal sampai akhir dan kembali ke awal lagi.
Bulan juga melambangkan sifat hati seperti cinta, kebaikan, dan kasih. Bulan
sabit yang dekat dengan kepala dewa memiliki makna bahwa seorang pemuja harus
menggambarkan sifat-sifat ini agar dapat lebih dekat dengan dewa (Pandit,
2006:208).
Bulan sabit melambangkan ukuran waktu bulan
sesuai dengan phase bulan. Ardhacandra (bulan sabit) bertengger pada kepalanya,
oleh karena itu disebut juga Gangadhara dan Candracuda (Gunawan, 2012:60). Dalam Bab VI skanda VI Srimad
Bhagavatam disebutkan bahwa Prajapati Daksa menikahkan dua puluh jujuh
putrinya dengan Dewa Chandra, penguasa Bulan, kemudian Daksa mengutuk Chandra
dengan penyakit parah sehingga membuat Chandra tidak mampu memperoleh anak-anak
dari semua istrinya.
Chandra,
mempunyai dua puluh tujuh istri , dari semua istrinya ini, Rohini yang paling
cantik dan bergairah sangat disayangi oleh Dewa Chandra. Karena cintanya kepada
Rohini, Dewa Chandra melalaikan kewajibannya kepada istri-istrinya yang lain,
kemudian para istri-istri Dewa Chandra yang lain tersebut yang juga putri-putri
Daksa, mengeluh kepada sang ayah. Karena merasa ditelantarkan putri-putrinya,
Daksa menjadi murka, dan mengutuk Chandra. Karena dikutuk, Dewa Chandra
menderita penyakit paru-paru. Dari hari ke hari kekuatan dan cahaya Dewa
Chandra berkurang. Akhirnya Dewa Chandra minta perlindungan kepada Dewa Śiva.
Dewa Śiva
yang penuh kasih melegakan hati Chandra yang menderita sakit paru-paru dan
menaruh Bulan di kepala Nya. Dengan menumpang di kepala Dewa Śiva,
Chandra/Bulan menjadi kekal dan bebas dari segala bahaya (Brahma-Vaivarta Purana Brahma-khanda
9.49-53).
Tam sivah sekhare krtva cabhavac
chandrasekharah,
Nasti devesu lakesu sivac
caharana-pancarah
Kemudian Dewa Śiva dikenal dengan nama Chandrasekhara, sebab beliau menaruh
Bulan di kepalanya. Oh para Dewa, tidak ada seorangpun yang lebih berkasih
sayang selain Dewa Śiva.
(sloka 59)
Sedangkan ular yang melilit di leher
melambangkan perputaran waktu yang tiada habisnya dan kekuatan penghancur Śiva. Kalung tengkorak yang melingkar
itu melambangkan peleburan segala sesuatu yang tiada habisnya dan regenerasi
yang tidak pernah berhenti pada manusia. Rambut Śiva diikat kemudian dililitkan di puncak kepalanya yang berwarna
merah sehingga Siva dikenal dengan nama Kapardi (Gunawan, 2012:60), hingga
membentuk sebuah tanduk. Di atas rambut, Śiva membawa sebuah personifikasi sungai Gangga yang alirannya
diterima dari kaki Visnu di surga. Hingga muncullah sebutan Ganggadhara, karena Śiva membawa sungai Gangga.
Śiva memiliki leher berwarna biru, karena
terpaksa meminum racun berbahaya yang keluar dari proses pengadukan lautan susu
untuk mendapatkan amerta, untuk menyelamatkan dunia dari efek buruk racun itu. Śiva mengendarai lembu putih bernama
Nandini. Warna putih menunjukkan kekuasaan untuk mengawasi proses peleburan
kembali (Gunawan, 2012:60). Śiva
mengendarai sapi menandakan bahwa Śiva
menghilangkan ketidakperdulian dan menganugrahkan kekuatan kebijaksanaan pada
pemujanya.
Sapi dalam bahasa Sanskrtanya Vṛṣa. Dalam bahasa Sanskrta, Vṛṣa juga berarti Dharma (kebenaran).
Sehingga sapi disamping Śiva melambangkan persahabatan abadi dengan kebenaran. Nandini juga
melambangkan kesadaran seseorang (sṛṣṭa
puruṣa) atau manusia yang sempurna, yang terserap secara permanen dalam
pandangan Kenyataan.
Ketika seorang pemuja mengunjungi kuil,
mereka mengaturkan penghormatan pada Nandi dahulu, sapi di depan sang dewa.
Pemuja meletakkan jari tengah dan ibu jari di
tangan kanannya pada dua tanduknya, yang membentuk lingkaran penuh. Hal
yang ssederhana ini memiliki arti filsafat yang sangat dalam. Jari tengah meggambarkan
ego (jῑva) dan ibu jari melambangkan
Kenyataan. Karena ego manusia duniawi biasanya jauh dari Kenyataan (yang
dilambangkan dengan arah yang berlawanan dimana ibu jari dan jari tengah yang
menunjukkan arah yang berlawanan), seorang individu itu tidak mengalami visi
dari kenyataan (contoh visi dari dewa Śiva) dimana Tuhan berada di dalamnya.
Dengan meletakkan jari dan jari tengah
pada dua tanduk sapi, pemuja membuat kontak antara ego dan kenyataan yang
menyebabkan kehancuran ego. Ketika ego dilebur, Kenyataan muncul, ibu jari dan
tanduk sapi, yang melambangkan kebijaksanaan (viveka) dan pengasingan diri (vairāgya)
(Pandit, 2006:209).
Śiva duduk di atas kulit harimau yang
melambangakan ia adalah sumber dari kekuatan yang pasti yang ia kendalikan
sesuai dengan keinginanNya. Śiva memegang Triśula di tangan belakang. Dalam
gambar lain sebuah Triśula diperlihatkan berdiri tegak disampingnya. Sebuah
Triśula memiliki tiga ujung, yang menandakan tiga sifat alam : sattva (keaktifan), rajas (kegiatan), dan tamas
(ketidakaktifan). Triśula melambangkan bahwa dewa jauh jangkauan ketiga sifat
alam ini. Triśula juga melambangkan senjata yang digunakan Dewa untuk
menghancurkan kejahatan dan ketidakperdulian di dunia (Pandit, 2006:208).
Selain itu Triśula bermata tiga juga melambangkan Śiva memiliki tiga aspek yaitu pencipta, pemelihara dan sekaligus
pelebur.
Sebuah damaru (kendang kecil) yang menghasilkan suara yang bergetar.
Seperti yang disebutkan dalam kitab Hindu suara yang bergetar dari suku kata Oṁ
yang suci dipercaya sebagai sumber dari penciptaan. Sebuah damaru pada salah satu tangan mengandung makna bahwa ia menyangga
seluruh ciptaan di tangannya, mengatur sesuai dengan keinginanya.
Śiva digambarkan memiliki 2, 2, 8 dan 10
tangan. Di samping memegang Pināka, juga membawa tongkat yang dinamakan Khatvāṅga,
busur bernama Ajagava, seekor menjangan, tasbih, tengkorak, damaru (gendang
kecil) dan benda-benda lainnya (Gunawan, 2012:60).
1.2 Kristalisasi sekte-sekte yang ada diBali
menjadi Siva Siddhanta dalam bentuk Panca Yadnya. Buktikan kebenarannya (Kaji
dahulu sekte yang ada diBali kemudian kaitkan dengan Panca yadnya).
1.2.1.
Sekte Waisnawa.
Sekte Waisnawa adalah sekte yang lebih
mengutamakan pemujaannya kepada dewa Wisnu. Dewa Wisnu digambarkan sebagai dewa
yang memiliki tugas sebagai pemelihara dan pelindung ketertiban dunia. Untuk
pemelihara dan pelindung ketertiban dunia, Dewa Wisnu menjelma sebagai awatara.
Ada sepuluh awatara Dewa Wisnu yaitu:
1. Matsya,
Wisnu sebagai ikan.
2. Kurma,
Wisnu sebagai kura-kura.
3. Wamana, Wisnu sebagai orang cebol.
4. Parasurama,
Wisnu sebagai Parasurama.
5. Rama,
Wisnu sebagai Rama.
6. Krisna,
Wisnu sebagai Krisna.
7. Budha,
Wisnu sebagai Budha
8. Warana,
Wisnu sebagai babi hitam.
9. Narasima,
Wisnu sebagai manusia singa.
10. Kalki,
Wisnu sebagai manusia menunggang kuda putih dengan membawa pedang
terhunus (Soekmono, 1973:29-30).
Selain itu adanya sekte Waisnawa di Bali dengan jelas diberikan
petunjuk dalam konsepsi agama Hindu di Bali tentang pemujaan Dewi Sri. Dewi Sri
dipandang sebagai pemberi rejeki, pemberi kebahagiaan dan kemakmuran. Di
kalangan petani di Bali Dewi Sri dipandang sebagai Dewanya padi yang merupakan
keperluan hidup yang utama (Gunawan, 2012:49).
1.2.2
Sekte Siwa.
Sekte
Siwa memiliki cabang yang banyak. Antara lain Pasupata, Kalamukha, Bhairawa,
Linggayat dan Siwa Sidhanta yang paling besar pengikutnya. Kata Sidhanta
berarti inti atau kesimpulan. Jadi Siwa Sidhanta berarti kesimpulan atau inti
dari ajaran Siwaisme. Siwa Sidhanta ini mengutamakan pemujaan kehadapan Tri
Purusha yaitu Parama Siwa, Sada Siwa dan Siwa. Brahma, Wisnu dan dewa-dewa
lainnya tetap dipuja sesuai dengan tempat dan fungsinya karena semua dewa-dewa
itu tidak lain dari manifestasi Siwa sesuai dengan fungsinya yang berbeda-beda.
Siwa Sidhanta ini mula-mula berkembang di India Tengah (Madyapradesh) yang
kemudian disebarkan ke India selatan dipimpin oleh Maharesi Agastya (Gunawan,
2012:48).
Penganut
Hindu dari sekte Siwa Siddhanta meyakini Tuhan adalah Siwa. Salah satu bentuk
pemujaan Siwa yang dilakukan oleh pada Pendeta Siwa adalah dengan mengucapkan
mantra yang disebut sebagai Mantra Catur Dasa Siwa, yakni empat belas wujud
Siwa. Mantra ini digunakan untuk mendapat pengaruh ke-Tuhan-an yang kuat dan
suci serta untuk mendapat kebahagian sekala-niskala, selain itu pemujaan Siva
diBali adalah dengan cara Yadnya yaitu Panca Yadnya atas dasar catur marga
dalam bentuk sesajen atau banten yang mana bentuk dan caranya disesuaikan
dengan Drsta dan Sadacara (Gunawan, 2012:36)
Ajaran
Siwa Siddhanta di Bali terdiri dari tiga kerangka utama yaitu Tattwa, Susila
dan Upacara keagamaan. Tatwa atau filosofi yang mendasarinya adalah ajaran Siwa
Tattwa. Di dalan Siwa Tattwa, Sang Hyang Widhi adalah Ida Bhatara Siwa. Dalam
lontar Jnana Siddhanta dinyatakan bahwa Ida Bhatara Siwa adalah Esa yang
bermanifestasi beraneka menjadi Bhatara - Bhatari.
1.2.3 Sekte Pasupata.
Sekte
Pasupata juga merupakan sekte pemuja Siwa. Bedanya dengan Siwa Sidhanta adalah
dalam cara pemujaannya. Cara pemujaan sekte Pasupata adalah dengan menggunakan
lingga sebagai simbol tempat turunnya/berstananya Dewa Siwa. Jadi penyembahan
Lingga sebagai lambang Siwa adalah merupakan ciri khas sekte Pasupata.
Perkembangannya sekte Pasupata di Bali adalah dengan adanya pemujaan Lingga. Di beberapa tempat terutama di beberapa pura yang tergolong kuno terdapat Lingga dalam jumlah besar. Ada yang dibuat berlandaskan konsepsi yang sempurna dan ada pula dibuat sangat sederhana sehingga merupakan Lingga semu (Gunawan, 2012:48). Pemujaan Lingga sebagai lambang Dewa Siwa adalah merupakan ciri-ciri khas aliran Pasupata.
Perkembangannya sekte Pasupata di Bali adalah dengan adanya pemujaan Lingga. Di beberapa tempat terutama di beberapa pura yang tergolong kuno terdapat Lingga dalam jumlah besar. Ada yang dibuat berlandaskan konsepsi yang sempurna dan ada pula dibuat sangat sederhana sehingga merupakan Lingga semu (Gunawan, 2012:48). Pemujaan Lingga sebagai lambang Dewa Siwa adalah merupakan ciri-ciri khas aliran Pasupata.
1.2.4 Sekte Bodha atau Sogatha.
Adanya
sekte Bodha atau Sogatha di Bali dibuktikan dengan adanya penemuan mantra Bhuda
tipe “yete mantra” dalam zeal meterai tanah liat yang tersimpan dalam stupika.
Stupika seperti itu diketahui di Pejeng – Gianyar. Menurut penelitian Dr. W. F.
Stutterheim mantra Budha aliran Mahayana yang diperkirakan sudah ada di
Genuruan-Bedulu, arca Boddhisatwa Padmapani di Pura Galang Sanja-Pejeng, arca
Boddha di Gua Gajah dan di tempat lainnya lagi (Gunawan, 2012:49)
1.2.5 Sekte Brahmana.
Adanya
sekte Brahmana menurut DR. R. Goris seluruhnya telah luluh dengan Siwa
Sidhanta. Di India sekte Brahmana disebut Smarta tetapi sebutan Smarta tidak
dikenal di Bali. Kitab-kitab Sasana, Adigama, Purwadigama, Manawa yang
bersumberkan Manawa Dharmasastra merupakan produk dari sekte Brahmana (Gunawan,
2012:49)
1.2.6 Sekte Rsi.
Mengenai
sekte Rsi di Bali, Goris memberi suatu uraian yang sumir dengan petunjuk kepada
suatu kenyataan bahwa di Bali Rsi adalah seorang Dwijati yang bukan berasal
dari Wangsa Brahmana. Istilah Dewaresi atau Rajaresi pada orang Hindu adalah
merupakan orang suci di antara Raja-raja dari Wangsa Ksatria (Gunawan, 2012:49)
1.2.7 Sekte Sora.
Pemujaan
terhadap Surya sebagai dewa utama dilakukan oleh sekte Sora suatu tanda adanya
sekte Sora. Sistem pemujaan Dewa Matahari yang disebut Suryasewana dilakukan
pada waktu matahari akan terbit dan matahari akan terbenam adalah ciri penganut
sekte Sora. Pustaka Lontar yang membentangkan Suryasewana ini juga sekarang
terdapat di Bali. Selain itu yang lebih jelas lagi adalah setiap upacara agama
di Bali selalu dilakukan pemujaan terhadap Dewa Surya sebagai Dewa yang
memberikan persaksian bahwa seseorang telah melakukan yadnya (Gunawan, 2012:49)
1.2.8 Sekte Ganapati atau Ganapatya.
Sekte
Ganapati atau Ganapatya adalah kelompok pemuja Dewa Ganesa sebagai Dewa
tertnggi. Adanya sekte ini dahulu di Bali terbukti dengan banyaknya didapatkan
arca Ganesa baik dalam wujud besar maupun kecil. Ada dibuat dari batu padas dan
ada dibuat dari logam tersimpan dalam beberapa pura di Bali. Fungsi Arca Ganesa
adalah sebagai Wigna, Wigna yaitu penghalang gangguan. Oleh karena itu pada
dasarnya Ganesa diletakan pada tempat-tempat di mana dianggap bahaya.
Misalnya
dilereng gunung yang berbahaya, di lembah, laut, pada pertemuan sungai dan
sebagainya. Setelah zaman Gelgel banyak patung-patung itu dipindahkan dari
tempatnya yang terpencil ke dalam salah satu tempat pemujaan. Dengan demikian
patung Ganesa itu tidak mendapat pemujaan secara khusus lagi melainkan dianggap
sama dengan patung-patung Dewa yang lain (Gunawan, 2012:50).
Umat
Hindu dari segala sekte memulai persembahyangan maupun upacara keagamaan dengan
terlebih dahulu memanggil Ganesa. Ganapatya ini merupakan salah satu dari lima
sekte Hindu yang utama, sejalan dengan aliran Saiwisme, Saktisme, Waisnawisme,
dan Smartisme yang mengikuti filsafat Adwaita. Meski sekte Ganapatya tidak
sebesar empat sekte yang pertama, namun sekte itu telah memberikan pengaruh.
Ganapati juga dipuja sebagai sebuah bagian dari aliran Saiwisme sejak abad ke-5.
Ganapati juga dipuja sebagai sebuah bagian dari aliran Saiwisme sejak abad ke-5.
Sekte
ini sempat dipopulerkan oleh Sri Morya Gosavi. Sekte Ganapatya menjadi terkenal
pada abad ke-17 dan 19 di wilayah Maharashtra di India Barat, berpusat di
sekitar Cinchwad.
1.2.9 Sekte Bhairawa.
Sekte
Bhairawa adalah sekte yang memuja Dewi Durga sebagai dewa utama. Pemujaan
terhadap Dewi Durga di Pura Dalem yang ada di tiap desa adat di Bali merupakan
pengaruh dari sekta ini. Begitu juga pemujaan terhadap Ratu Ayu (Rangda) juga
merupakan pengaruh dari sekta ini. Sekta ini merupakan salah satu sekta
wacamara (sekte aliran kiri) yang mendambakan kekuatan magik yang bersifat
untuk kekuasaan duniawi. Ajaran Sadcakra yaitu ajaran tentang enam lingkungan
dalam badan dan ajaran mengenai Kundalini yang hidup dalam tubuh manusia juga
bersumber dari sekte ini (Gunawan, 2012:50).
Menurut
ajaran sekte ini lingkaran Muladara dalam bagian perut bawah adalah bentuk
lingga dan yang mengelilinginya dengan tiga setengah adalah Durga-Dewi. Dengan
latihan-latihan khusus Durga ini dapat dibangunkan dari sikap tidurnya yang
melingkar dan naik sampai ke lingkaran-lngkaran badan yang paling tinggi.
Bhairawa
adalah merupakan perkembangan lebih lanjut dari mazhab Tantrayana yang termasuk
kedalam sekte Sakta atau Saktiisme, dari mazhab Siva (sivapaksa). Disebut
saktiiame, karena yang dijadikan obyek penyembahannya adalah Sakti.
Masih menurut R. Goris, ada bentuk tertinggi dari kemoksaan atau kelepasan menurut sekte Bhairava dengan praktek yang disebut Panca Tattwa atau lazim disebut dengan istilah Panca-Ma(kara), yaitu Madya (alkohol), Mangsa/Mamsa(daging), Matsya( ikan), Mudra (sikap tangan), dan Maithuna (persetubuhan) yang pada penggunaan ritual menyebabkan ekstase yang tertinggi. Namun kini praktek keseluruhan ajaran ini tidak ditemukan lagi di Indonesia.
Masih menurut R. Goris, ada bentuk tertinggi dari kemoksaan atau kelepasan menurut sekte Bhairava dengan praktek yang disebut Panca Tattwa atau lazim disebut dengan istilah Panca-Ma(kara), yaitu Madya (alkohol), Mangsa/Mamsa(daging), Matsya( ikan), Mudra (sikap tangan), dan Maithuna (persetubuhan) yang pada penggunaan ritual menyebabkan ekstase yang tertinggi. Namun kini praktek keseluruhan ajaran ini tidak ditemukan lagi di Indonesia.
1.3 Ada
beberapa bukti bahwa sekte-sekte yang ada di Bali berhubungan dengan Panca
Yadnya, yaitu:
1.3.1 Dari sekte Waisnawe, bahwa sekte ini lebih mengutamakan
pemujaannya kepada dewa Wisnu serta saktinya yaitu Dewi Sri. Ini sangat
berkaitan dengan air dan beras, dimana dalam Panca Yadnya semua upacara
menggunakan air dan beras baik itu uapacara Dewa Yadnya, Manusia Yadnya, Bhuta
Yadnya, Resi Yadnya, Pitra Yadnya. Yang berguna sebagai pelengkap pada saat
suatu upacara dilaksanakan seperti penggunaan Tirtha dan Bija. Tirtha itu
berfungsi untuk membersihkan diri dari kekotoran maupun kecemaran pikiran dan
Bija merupakan lambang kehidupan sebagai benih dari Tuhan. Maka dari itu sekte
Waisnawe sangat erat hubungannya dengan Panca Yadnya .
1.3.2 Dari sekte Siwa yang sebagian besar
menganut Siwa Sidhanta. Siwa Sidhanta ini mengutamakan pemujaan
kehadapan Tri Purusha yaitu Parama Siwa, Sada Siwa dan Siwa. Brahma, Wisnu dan
dewa-dewa lainnya tetap dipuja sesuai dengan tempat dan fungsinya karena semua
dewa-dewa itu tidak lain dari manifestasi Siwa sesuai dengan fungsinya yang
berbeda-beda. Jika dikaitkan kedalam Panca Yadnya sangat erat kaitannya karena
dalam sekte siwa khususnya Siwa Siddhanta dalam pemujaannya menggunakan
mantra-mantra suci, serta pemujaan Siva diBali adalah dengan cara Yadnya yaitu
Panca Yadnya atas dasar catur marga dalam bentuk sesajen atau banten yang mana
bentuk dan caranya disesuaikan dengan Drsta dan Sadacara. Inilah yang menjadi
bukti bahwa sekte Siwa sangat berkaitan dengan Panca Yadnya baik itu Dewa Yadnya, Manusia
Yadnya, Bhuta Yadnya, Resi Yadnya, Pitra Yadnya.
1.3.3 Dari sekte Pasupata, yang cara pemujaanya menggunakan lingga sebagai simbol
tempat turunnya/berstananya Dewa Siwa. Jiak kita kaitkan
dengan Panca Yadnya ialah setiap upacara khususnya Dewa Yadnya kita pasti
melaksanakan upacara pada hari-hari suci tertentu , yang ditandai dengan
mengaturkan Banten dimrajan maupun di sanggah Kemulan sebagai simbol turunya
para Dewa, hal ini sama dengan cara sekte Pasupata yang pemujaannya memuja
lingga sebagai simbol tempat turunya Dewa Siwa, untuk memohon penganugrahan
keselamatan dan kerahayuan. Di Bali juga terdapat beberapa pura yang
menggunakan Lingga sebagai simbol Pemujaan.
1.3.4 Dari sekte Bodha atau Sogatha tidak memiliki kaitan dengan Panca
Yadnya.
1.3.5 Dari Sekte Brahmana, karena sekte ini telah luluh dengan Siwa
Sidhanta jadi sebagaian besar pelaksanaan upacaranya sama dengan sekte Siva.
Dimana dalam pelaksanaannya sangat berkaitan dengan Panca Yadnya yang
pemujaannya menggunakan mantra-mantra suci, serta pemujaan Siva di Bali adalah
dengan cara Yadnya yaitu Panca Yadnya atas dasar catur marga dalam bentuk
sesajen atau banten yang mana bentuk dan caranya disesuaikan dengan Drsta dan
Sadacara. Inilah yang menjadi bukti bahwa sekte Brahman sangat berkaitan dengan
Panca Yadnya baik itu Dewa Yadnya, Manusia Yadnya, Bhuta
Yadnya, Resi Yadnya, Pitra Yadnya.
1.3.6 Dari sekte Rsi, sekte ini memberi suatu uraian yang sumir dengan
petunjuk kepada suatu kenyataan bahwa di Bali Rsi adalah seorang Dwijati yang
bukan berasal dari Wangsa Brahmana. Jika dikaitkan dengan Panca Yadnya, maka
hal ini sangat berhubungan. Semua pelaksanaan upacara besar (upacara
ageng) dari Panca Yadnya, baik itu Dewa
Yadnya, Manusia Yadnya, Bhuta Yadnya, Resi Yadnya, Pitra Yadnya biasanya
menggunakan Ratu Pedande atau Rsi Mpu untuk muput suatu upacara. Ini merupakan
bukti bahwa sekte Rsi mempunyai hubungan dengan Panca Yadnya.
1.3.7 Dari sekte Sora yang sistem pemujaan kepada Dewa Matahari
yang disebut Suryasewana dilakukan pada waktu matahari akan terbit dan matahari
akan terbenam. Setiap upacara agama di Bali selalu dilakukan pemujaan terhadap
Dewa Surya sebagai Dewa yang memberikan persaksian bahwa seseorang telah
melakukan yadnya. Dari hal ini telah terlihat jelas bahwa sekte sora sangat
erat kaitannya dengan Panca Yadnya. Dimana setiap suatu pelaksanaan dari setiap
upacara yadnya selalu memberikan pemujaan kepada Dewa Surya sebagai saksi atas
pelaksanaan setiap upacara yadnya.
1.3.8 Dari sekte Ganapati atau Ganapatya tidak ada hubungannya dengan
Panca Yadnya.
1.3.9 Dari sekte Bhairawa, sekte ini jika dikaitkan dengan Panca
Yadnya sangat erat kaitannya, khususnya untuk Bhuta Yadnya. Karena bentuk
tertinggi dari kemoksaan atau kelepasan menurut sekte Bhairava dengan praktek
yang disebut Panca Tattwa atau lazim disebut dengan istilah Panca-Ma (kara),
yaitu Madya (alkohol), Mangsa/Mamsa(daging), Matsya( ikan), Mudra (sikap
tangan), dan Maithuna (persetubuhan) yang pada penggunaan ritual menyebabkan
ekstase yang tertinggi. Pada pelaksanaan upacara untuk Bhuta Yadnya banyak
menggunakan “tetabuhan” yang menggunakan 5 jenis zat cair, yaitu tuak, arak,
berem, dan air disertai dengan penggunaan darah. Dalam hal ini sering disebut
“Sabuh-rah”, yang pelaksanaanya masing-masing zat cair itu akan dituangkan tiga
kali, demikian pula halnya dengan “sabuh-rah” diusahakan agar darah itu
terciprat tiga kali. Inilah yang menjadi bukti bahwa sekte Bhairawa sangat erat
kaitannya dengan Panca Yadnya khususnya Bhuta Yadnya.
Inilah
yang menjadi bukti bahwa dari beberapa sekte-sekte yang ada di Bali, baik itu
sekte Waisnawa,
sekte Siwa, sekte Pasupata, Sekte
Bodha atau Sogatha, sekte Brahmana, sekte Rsi, sekte sora, Sekte Ganapati atau Ganapatya,
dan sekte Bhairawa merupakan kristalisasi dari Siva Siddhanta dan mempunyai
hubungan yang erat dengan Panca Yadnya terutama dalam pelaksanaan upacara serta
upakaranya.
Sumber
:
Gunawan,
I Ketut Pasek. 2012. Pengantar Bahan Ajar SIVA SIDDHANTA I. Denpasar:
IHDN.
Pandit,
Bansi. 2006. Pemikiran Hindu Pokok-pokok pikiran Agama Hindu. Surabaya :
Paramita.
(http://saradbali.com/edisi99/tatwa.htm)
Geen opmerkings nie:
Plaas 'n opmerking