Nama : Ni Luh Putu Sri Musiartini Setiawati
Nim : 10.1.1.1.1.3883
Jurusan : PAH/B V
Mk
: Siva Siddhanta II
UTS SIVA SIDDHANTA II
Soal
1.1 Jelaskan tentang pengertian Canang Sari,
Daksina, Peras, Sesanyut, Ajuman, dan Pejati serta konsep kristalisasi terhadap
Siva Siddhanta?
1.2 Sebutkan Mantra dari Canang Sari, Daksina, dan
Peras ?
Jawab
1.1 Pengertian Canang Sari, Daksina, Peras,
Sesanyut, Ajuman, dan Pejati ?
1.1.1 Canang Sari

Canang Sari merupakan sarana yang
terpenting, karena canang ini merupakan uapakara yang akan dipakai sarana
persembahan kepada Tuhan atau Bhatara
Bhatari leluhur yang sering kita gunakan dalah sehari-hari. Disetiap banten
apapun yang kita akan persembahkan ke pada Bhatara-Bhatari selalu diisi Canang
Sari, karena Canang Sari merupakan komponen inti dari suatu Banten.
Canang
Sari merupakan ciptaan dari Mpu Sangkulputih yang menjadi sulinggih menggantikan Danghyang Rsi Markandeya di Pura Besakih. Canang berasal dari kata
"Can" yang berarti indah, sedangkan "Nang" berarti tujuan
atau maksud (bhs. Kawi/Jawa Kuno), Sari berarti inti atau sumber. Dengan
demikian Canang Sari bermakna untuk memohon kekuatan Widya kehadapan Sang Hyang
Widhi beserta Prabhawa (manifestasi) Nya secara skala maupun niskala. Dalam dokumen tersebut juga dijelaskan mengenai bentuk dan
fungsi canang menurut pandangan Hindu Bali ada beberapa macam sesuai dengan
kegiatan upakara yang dilaksanakan.
Adapun
perlengkapan daripada Canang itu antara lain sebagai alasnya dipakai Ceper,
atau daun pisang yang berbentuk segi empat. Di atasnya berturut-turut di susun
perlengkapan yang lain seperti : Pelawa, Porosan ysng terdiri dari salah satu
atau dua potong sirih, di dalamnya diisi kapur dan pinang, lalu dijepit dengan
sepotong janur di atasnya diisi dengan tangkih atau kojong dari janur yang
bentuknya bundar disebut Urassari dapat pula ditambahkan dengan pandan harum
yang diisi dengan wangi-wangian (Rai Sudharta, dkk, 1992:6)
Unsur-unsur
pokok dari Canang Sari adalah :
1) Canang
memakai alas berupa "ceper" (berbentuk segi empat) adalah simbol
kekuatan "Ardha Candra" (bulan).
2) Porosan

Porosan
terdiri dari pinang, kapur dibungkus dengan sirih. Dalam lontar Yadnya Prakerti
disebutkan : pinang, kapur dan sirih adalah lambang pemujaan kepada Tuhan Yang
Maha Esa, dalam manifestasi sebagai Sang Hyang Tri Murti. Pinang lambang
pemujaan kepada Dewa Brahma, Sirih lambang pemujaan kepada Dewa Wisnu, Kapur
lambang pemujaan kepada Dewa Siwa. Tiga manifestasi inilah yang amat terkait
dengan kehidupan umat manusia dalam sehari-hari (Rai Sudharta, dkk, 1992:6)
3) Plawa
Dalam
Lontar Yadnya Prakerti disebutkan bahwa Plawa adalah lambang tumbuhnya pikiran
yang hening dan suci. Jadi dalam memuja Tuhan sesuai dengan manifestasinya
sebagai Tri Murti, harus dengan usaha menumbuhkan pikiran yang suci hening(Rai Sudharta, dkk, 1992:8)
Karenan pikiran yang tumbuh dari kesucian
dan keheningan itulah yang akan dapat menangkal pengaruh-pengaruh buruk dari
bafsu duniawi. Pikiran yang suci dan hening inilah yang dapat menarik atau
menurunkan karunia Tuhan (Rai
Sudharta, dkk, 1992:8)
4) Jejahitan,
reringgitan dan tetuasan
Jejahitan,
reringgitan dan tetuasan adalah lambang ketetapan dan kelanggengan pikiran (Rai
Sudharta, dkk, 1992:9)
5) Urassari
Letak
Urassari dalam canang adalah di atas Plawa, Porosan, Tebu kekiping, Pisang dan
lain-lainnya, yang dihiasi dengan ceper. Di atas Urassari ini diisi
bunga-bungaan. Adapun dari pada Urassari tersebut kalau kita amati, berbentuk
garis silang yang menyerupai tampak dara yaitu bentuk sederhana daripada
Swastika, sehingga menjadi bentuk lingkaran Cakra setelah dihiasi (Rai Sudharta,
dkk, 1992:10)
Urassari
yang tersusun dengan jejahitan, reringgitan dan tetuasan itu akan kelihatan
berbentuk lingkaran “Padma Astadala”. Padma Astadala adalah lambang stana Ida
Sang Hyang Widhi Wasa dengan delapan penjuru anginnya (Rai Sudharta, dkk, 1992:10)
6) Bunga
Bunga
merupakan lambang keiklasan. Memuja tuhan tidak boleh ragu-ragu, harus
didasarkan pada keiklasan yang benar-benar tulus datang dari lubuk hati yang
paling dalam dan suci. Keiklasan merupakan kebutuhan dari pertumbuhan jiwa yang
sehat. Dalam hidup kita harus mampu mengiklaskan diri dari berbagai ikatan duniawi(Rai
Sudharta, dkk, 1992:8). Penataan bunga berdasarkan warnanya di atas Sampian
Urasari diatur dengan etika dan tattwa, harus sesuai dengan pengider-ideran (tempat) Panca Dewata. Urutan meletakkan Bunga sesuai dengan Purwa/Murwa Daksina yaitu diawali dari arah Timur ke Selatan.
Bunga
berwarna Putih
(jika sulit dicari, dapat diganti dengan warna merah muda) disusun untuk
menghadap arah Timur, adalah sebagai simbol memohon diutusnya Widyadari
(Bidadari) Gagar Mayang oleh Prabhawa Nya dalam kekuatan Sang Hyang Iswara agar
memercikkan Tirtha Sanjiwani untuk menganugerahi kekuatan kesucian skala
niskala.
Bunga
berwarna Merah disusun untuk menghadap arah Selatan, adalah sebagai simbol
memohon diutusnya Widyadari Saraswati oleh Prabhawa Nya dalam kekuatan Sang
Hyang Brahma agar memercikkan Tirtha Kamandalu untuk menganugerahi
kekuatan Kepradnyanan dan Kewibawaan.
Bunga
berwarna Kuning disusun untuk menghadap arah Barat, adalah sebagai simbol
memohon diutusnya Widyadari Ken Sulasih oleh Prabhawa Nya dalam kekuatan Sang Hyang Mahadewa agar memercikkan Tirtha Kundalini untuk menganugerahi kekuatan intuisi.
Bunga
berwarna Hitam (jika sulit dicari, dapat diganti dengan warna biru, hijau
atau ungu) disusun untuk menghadap arah Utara, adalah sebagai simbol memohon
diutusnya Widyadari Nilotama oleh Prabhawa Nya dalam kekuatan Sang Hyang Wisnu
agar memercikkan Tirtha Pawitra untuk menganugerahi kekuatan peleburan segala
bentuk kekotoran jiwa dan raga.
Bunga
Rampe (irisan pandan arum) disusun di tengah-tengah, adalah sebagai simbol
memohon diutusnya Widyadari Supraba oleh Prabhawa Nya dalam kekuatan Sang Hyang
Siwa agar memercikkan Tirtha Maha mertha untuk menganugerahi kekuatan
pembebasan (Moksa).
Konsep
penyatuan Canang Sari terhadap Siva sinddhanta adalah dari penyatuan antara
bahan-bahan yang ada, seperti Ceper, Porosan yang tediri dari pinang, kapur
dibungkus dengan sirih melambangkan pemujaan kepada Yang Maha Kuasa dalan
manifestsinya sebagai Sang Hyang Tri Murti. Bahan selanjutnya dari Canang Sari
adalah Plawa, Jejahitan, Urassari, Bunga yang dijadikan satu dalam bentuk
Canang Sari, maka dari sinilah telah ditengkan konsep penyatuan dari
Sekte-sekte dalam Siva Siddhanta yaitu Sekte Siwa, Brahma dan Waisnawa.
1.1.2 Daksina
Menurut artinya daksina adalah tapakan
dari Ida Sang Hyang Widhi dalam berbagai manifestasi-Nya dan juga merupakan
perwujudanNya. Lain daripada itu daksina juga merupakan buah daripada yadnya
(Surayin, 2002:68)
Kalau kita lihat fungsi daksina yang
diberikan kepada yang muotu karya (Pedanda atau Pemangku), sepertinya daksina
tersebut sebagai ucapan tanda “terima kasih” kepada sekala-niskala. Begitu pula
kalau daksina itu kita haturkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi sebagai
pelengkap aturan kita dan sembah sujud kita atas semua karunia-Nya (Surayin,
2002:68-69).
Isi tetandingan Daksina diurut dari isi terbawah hingga
diatas yaitu:
1) Alas
bedogan/srembeng/wakul/katung; terbuat dari janur/slepan yang bentuknya bulat
dan sedikit panjang serta ada batas pinggirnya. Alas Bedogan ini lambang
pertiwi unsur yang dapat dilihat dengan jelas.
2) Bedogan/ srembeng/wakul/katung/
srobong daksina; terbuat dari janur/slepan yang dibuta melinkar dan tinggi,
seukuran dengan alas wakul. Bedogan bagian tengah ini adalah lambang Akasa yang
tanpa tepi. Srembeng daksina juga merupakan lambang dari hukum Rta ( Hukum
Abadi tuhan ).
3) Tampak; dibuat
dari dua potongan janur lalu dijahit sehinga membentuk tanda tambah. Tampak
adalah lambang keseimbangan baik makrokosmos maupun mikrokosmos. tampak juga
melambangkan swastika, yang artinya semoga dalam keadaan baik.
4) Beras; yang merupakan
makanan pokok melambang dari hasil bumi yang menjadi sumber penghidupan manusia
di dunia ini. Hyang Tri Murti (Brahma, Visnu, Siva).
5) Sirih temple /
Porosan; terbuat dari daun sirih (hijau – wisnu), kapur (putih – siwa) dan
pinang (merah – brahma) diikat sedemikian rupa sehingga menjadi satu, porosan
adalah lambang pemujaan.
6) Kelapa; adalah
buah serbaguna, yang juga simbol Pawitra (air keabadian/amertha) atau lambang
alam semesta yang terdiri dari tujuh lapisan (sapta loka dan sapta patala) karena
ternyata kelapa memiliki tujuh lapisan ke dalam dan tujuh lapisan ke luar. Air
sebagai lambang Mahatala, Isi lembutnya lambang Talatala, isinya lambang tala,
lapisan pada isinya lambang Antala, lapisan isi yang keras lambang sutala,
lapisan tipis paling dalam lambang Nitala, batoknya lambang Patala. Sedangkan
lambang Sapta Loka pada kelapa yaitu: Bulu batok kelapa sebagai lambang Bhur
loka, Serat saluran sebagailambang Bhuvah loka, Serat serabut basah lambang
svah loka, Serabut basah lambanag Maha loka, serabut kering lambang Jnana loka,
kulit serat kering lambang Tapa loka, Kulit kering sebagai lamanag Satya loka
Kelapa dikupas dibersihkan hingga kelihatan batoknya dengan maksud karena
Bhuana Agung sthana Hyang Widhi tentunya harus bersih dari unsur-unsur gejolak
indria yang mengikat dan serabut kelapa adalah lambang pe ngikat indria.
7) Telor Itik;
dibungkus dengan ketupat telor, adalah lambang awal kehidupan/ getar-getar
kehidupan , lambang Bhuana Alit yang menghuni bumi ini, karena pada telor
terdiri dari tiga lapisan, yaitu Kuning Telor/Sari lambang Antah karana sarira,
Putih Telor lambang Suksma Sarira, dan Kulit telor adalah lambang Sthula
sarira. dipakai telur itik karena itik dianggap suci, bisa memilih makanan,
sangat rukun dan dapat menyesuaikan hidupnya (di darat, air dan bahkan terbang
bila perlu).
8) Pisang, Tebu dan
Kojong; adalah simbol manusia yang menghuni bumi sebagai bagian dari ala mini.
Idialnya manusia penghuni bumi ini hidup dengan Tri kaya Parisudhanya. Dalam
tetandingan Pisang melambangkan jari, Tebu belambangkan tulang.
9) Buah Kemiri;
adalah sibol Purusa / Kejiwaan / Laki-laki, dari segi warna putih (ketulusan).
10) Buah kluwek/Pangi;
lambang pradhana / kebendaan / perempuan, dari segi warna merah (kekuatan).
Dalam tetandingan melambangkan dagu.
11) Gegantusan;
merupakan perpaduan dari isi daratan dan lautan, yang terbuat dari
kacang-kacangan, bumbu-bumbuan, garam dan ikan teri yang dibungkus dengan
kraras/daun pisang tua adalah lambang sad rasa dan lambang kemakmuran.
12) Papeselan yang
terbuat dari lima jenis dedaunan yang diikat menjadi satu adalah lambang Panca
Devata; daun duku lambang Isvara, daun manggis lambang Brahma, daun durian /
langsat / ceroring lambang Mahadeva, daun salak / mangga lambang Visnu, daun
nangka atau timbul lamban Siva. Papeselan juga merupakan lambang kerjasama (Tri
Hita Karana).
13) Bija ratus adalah
campuran dari 5 jenis biji-bijian, diantaranya; godem (hitam – wisnu), Jawa
(putih – iswara), Jagung Nasi (merah – brahma), Jagung Biasa (kuning – mahadewa)
dan Jali-jali (Brumbun – siwa). kesemuanya itu dibungkus dengan kraras (daun
pisang tua).
14) Benang Tukelan;
adalah alat pengikat simbol dari naga Anantabhoga dan naga Basuki dan naga
Taksaka dalam proses pemutaran Mandara Giri di Kserarnava untuk mendapatkan
Tirtha Amertha dan juga simbolis dari penghubung antara Jivatman yang tidak
akan berakhir sampai terjadinya Pralina. Sebelum Pralina Atman yang berasal
dari Paramatman akan terus menerus mengalami penjelmaan yang berulang-ulang
sebelum mencapai Moksa. Dan semuanya akan kembali pada Hyang Widhi kalau sudah
Pralina. dalam tetandingan dipergunakan sebagai lambing usus/perut.
15) Uang Kepeng; adalah
alat penebus segala kekurangan sebagai sarining manah. uang juga lambang dari
Deva Brahma yang merupakan inti kekuatan untuk menciptakan hidup dan sumber
kehidupan.
16) Sesari; sebagai
labang saripati dari karma atau pekerjaan (Dana Paramitha).
17) Sampyan Payasan;
terbuat dari janur dibuat menyerupai segi tiga, lambang dari Tri Kona; Utpeti,
Sthiti dan Pralina.
18) Sampyan pusung;
terbuat dari janur dibentuk sehingga menyerupai pusungan rambut, sesunggunya
tujuan akhir manusia adalah Brahman dan pusungan itu simbol pengerucutan dari
indria-indria.
Ada
5 macam daksina yaitu : Daksina Alit, Daksina Pekala-kalaan, Daksina Krepa,
Daksina Gede, Daksina Galakan atau Pemopog.
Dari
keterangan di atas, sudah tampak jelas sekali bahwa Daksina merupakan simbolis
dari Kristalisasi seluruh sekte ke dalam Siva Siddhanta. Hal ini bisa dilihat
dari semua bahan yang digunakan dalam pembuatan Daksina Seperti Porosan, beras,
sirih dll yang telah menyatu dalam satu wadah yaitu Daksina.
1.1.3 Peras
Dalam
suatu upakara Yadnya, banten yang digunakan pastilah ada sebuah peras. Peras
menandakan keberhasilan suatu upakara yadnya. Dalam buku Panca
Yadnya (1995:101)
dijelaskan
bahwa dalam lontar yadnya prakerti disebutkan bahwa peras adalah lambang Hyang
Tri Guna Sakti. Dalam pemakaian sehari-hari peras ini dipergunakan pula sebagai
lambang keberhasilan.
Kiranya kata “peras” dapat diartikan
“sah” atau resmi, umpama: “meras anak” mengesahkan anak; “Banten pemerasan”,
yang dimaksud adalah sesajen untuk mengesahkan anak/cucu; Dan bila suatu
kumpulan sesajen tidak dilengkapi dengan peras, akan dikatakan penyelenggaraan
upacaranya “tan perasida” yang mungkin dapat diartikan “tidak sah”. Oleh karena
itu banten peras selalu menyertai sesajen-sesajen yang lain terutama yang
mempunyai tujuan-tujuan tertentu (Putra, 2003:29).
Dalam buku Panca Yadnya (1995:101)
dijelaskan mengenai bahan pembuatan dan perlengkapan Peras sebagai berikut : alasnya
terbuat dari taledan dan diatasnya diisi kulit peras dari janur atau daun
kelapa yang sudah tua. Kemudian diisi dengan sedikit beras, base tampel ,
benang putih. Dalam upacara tertentu juga diisi dengan uang kepeng 2 buah atau
petunjuk tukang banten, selanjutnya diatasnya diisi 2 buah tumpeng, lauk pauk,
jajan, buah-buahan, sampian peras, canang genten. Sebagai tempat lauk-pauknya
kadang-kadang dipakai kojong perangkatan yaitu beberapa buah kojong yang
dirangkai jadi satu.
Konsep penyatuan yang ada dalam Banten
Peras ialah penyatuan dari sekte waisnawa yang disimbolkan dalam bentuk beras.
Beras merupakan bahan dari Peras. Selain itu terdapat canang genten yang
merupakan kristalisasi Siva Siddhanta dari sekte Brahmana, Siwa, Waisnawa
seperti yang telah di jelaskan dalam konsep kristalisasi Siva Siddhanta didalam
canang sari.
1.1.4 Sesanyut
Menurut Wijayananda, dalam bukunya
Tetandingan Lan Sorohan Banten (2003: 8) menjelaskan bahwa banten sesayut berasal
dari kata “sayut” atau “nyayut” dapat diartikan mempersilakan
atau mensthanakan, karena sayut disimbulkan sebagai lingga dari Ista Dewata,
sakti dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Kulit sesayut bentuknya sama dengan
tamas, hanya bedanya di tengah-tengah kulit sesayut terdapat isehan. Ada dua jenis sampian sesayut,
yaitu sampian sesayut untuk banten yang menggunakan tamas, dan sesayut yang
menggunakan nampan atau ngiu. Sampian
sesayut untuk banten tamas hampir sama dengan sampian plaus yang kedua tangkihnya digabungkan, sehingga berbentuk huruf V
berjumlah dua buah lalu digabungkan. Sedangkan sesayut yang menggunakan nampan
bentuknya bundar dengan menggunakan potongan jejahitan sebanyak 8 buah.
Dalam buku Panca Yadnya (1995:98)
disebutkan beberapa jenis Sesayut yaitu:
1) Sesayut Payascita Luwih
Terdiri dari sebuah
kulit sesayut (bentuknya bulat terbuat dari daun keapa). Diisi tulung agung
(dibawahnya berbentuk tamas dan dibawahnya berbentuk cili). Didalamnya diisi
nasi serta lauk pauk. Disusuni dengan sebuah tumpeng dan diisi dengan bunga
teratai putih. Disekelelengnya diisi dengan buah penek kecil. 11 buah kuangen,
11 buah tupat kukur/ tipat gelantik, 11 buah tulung kecil atau peras kecil
(alit) pasucian, panyeneng, kelungah kelapa gading, lis, tebu, sampian naga
sari, canang burat wabgi serta dilengkapi dengan jajan, buah-buahan dan lauk
pauk.
2) Sesayut Saraswati
Terdiri dari sebuah
kulit sesayut, diisi penek warna merah, penek warna putih, dan penek warna
hitam. Masing-masing sebuah dan diisi dengan lauk-pauk, pisang,
jajan,buah-buahan,tebu, sampian nagasari, penyeneng dan canang burat wabngi
atau canang jenis lainnya.
3) Sesayut Mertha Dewa
Terdiri dari sebuah
kulit sesayut, di atasnya diisi penek dan beras kuning, dialasi dengan takir
(terbuat daridaun kelapa), dilengkapi dengan lauk-pauk,. Jajan, buah-buahan,
sampian nagasari, penyeneng, dan canang genteng atau canang jenis lainnya.
4) Sesayut Sida Karya
Terdiri dari sebuah
kulit sesayut diatasnya diisi nasi berbentuk segi empat bagian tengah-tengah
nasi tersebut diisi sebuah tumpeng yang agak besar. Tumpeng tersebut diapit
dengan tumpeng yang lebih kecil. Pada tumpeng yang paling besar puncaknya diisi
terasi dan pada setiap sudutnya diisi sebuah kuangen. Dilengkpai pula dengan
dua buah tulung dan perlengkapan lainnya yang pada dasarnya sama dengan sesayut
Mertha Dewa tersebut diatas.
5) Sesayut Sida Purna
Terdiri dari sebuah
kulit sesayut, diisi nasi berbentuk bulat. Disebelahnya diisi lima buah penek
masing-masing disisipi pucuk dapdap. Dilengkapi dengan ketipat sida purna lima
buah dan perlengkapan lain seperti tersebut diatas.
6) Sesayut Langgeng Amukti Sakti
Terdiri dari sebuah
kulit sesayut yang diisi sebuah penek. Penek tersebut diisi sebuah kalpika dan
muncuk dapdap (pucuk dapdap). Perlengkapan lainya sama dengan tersebut diatas.
Konsep penyatuan Siva Sinddhanta di dalam
banten Sesayut, tertera didalam runtutan penyatuan dari bahan-bahan yang di
gunakan untuk membuat banten sesayut tersebut, serta dari berbagaimacam
sesanyut yang ada. Karena semua bahan yang digunakan untuk membuat Sesayut akan
menyatu menjadi satu dalam bentuk banten Sesayut, inilah yang menandakan
luluhnya paham seluruh sekte yang ada kedalam banten Sesayut tersebut.
.1.5 Ajuman
Ajuman disebut juga soda (sodaan)
dipergunakan tersendiri sebagai persembahan ataupun melengkapi daksina suci dan
lain-lain. Dalam buku Panca Yadnya (1995:101) dijelaskan beberapa jenis
upacara tertentu penek atas untek tersebut diberi kunir sehingga sering disebut
ajuman putih kuning.
Unsur-unsur
dalam banten Ajuman :
1.
Tamas atau Taledan
2.
Buah pisang
3.
Jajan
4. Lauk-pauk
5. Buah-buahan
6. Nasi
berbentuk penek (bundar) 2 buah,
7. Rerasmen
yang dialasi Tri Kona
8. Sampyan
plaus/petangas/Sampian Soda
9.
Canang sari/Canang Genten
Semua
unsur tersebut akan di satukan menjadi banten ajuman. Taledan tersebut akan
diisi dua buah penek (nasi berbentuk) dilengkapi dengan buah pisang, jajan, lauk-pauk, buah-buahan
lalu dilengkapi rerasmen yang dialasi Tri Kona, sampian dan Canang genten.
Semua persembahan ini merupakan persembahan hasil kerja keras dan rasa syukur
kepada Ide Sang Hyang Widhi Wasa, yang telah memberikan anugrahnnya kepada kita
semua dan Sebagai sarana memuliakan Hyang Widhi (ngajum).
Semua unsur yang ada dalam banten Ajuman
merupakan simbolis dari penyatuan seluruh sekte yang ada. Semua sekte luluh ke
dalam Siva Siddhanta, sama halnya seperti unsur-unsur yang ada dalam banten
Ajuman telah luluh menjadi satu dalam bentuk banten Ajuman.
1.1.6 Pejati
Banten
pejati adalah nama Banten atau (upakara), sesajen yang sering dipergunakan
sebagai sarana untuk mempermaklumkan tentang kesungguhan hati akan melaksanakan
suatu upacara, dipersaksikan ke hadapan Hyang Widhi dan prabhavaNya.
Dalam “Lontar Tegesing Sarwa
Banten”, dinyatakan:
“Banten mapiteges pakahyunan,
nga; pakahyunane sane jangkep galang”
Artinya:
Banten itu adalah buah pemikiran
artinya pemikiran yang lengkap dan bersih.
Bila
dihayati secara mendalam, banten merupakan wujud dari pemikiran yang lengkap
yang didasari dengan hati yang tulus dan suci. Mewujudkan banten yang akan
dapat disaksikan berwujud indah, rapi, meriah dan unik mengandung simbol,
diawali dari pemikiran yang bersih, tulus dan suci. Bentuk banten itu mempunyai
makna dan nilai yang tinggi mengandung simbolis filosofis yang mendalam. Banten
itu kemudian dipakai untuk menyampaikan rasa cinta, bhakti dan kasih.
Pejati
berasal bahasa Bali, dari kata “jati” mendapat awalan “pa”.
Jati berarti sungguh-sungguh, benar-benar. Banten pejati adalah sekelompok
banten yang dipakai sarana untuk menyatakan rasa kesungguhan hati kehadapan
Hyang Widhi dan manifestasiNya, akan melaksanakan suatu upacara dan mohon
dipersaksikan, dengan tujuan agar mendapatkan keselamatan. Banten pejati
merupakan banten pokok yang senantiasa dipergunakan dalam Pañca Yajña.
Adapun
unsur-unsur banten pejati, yaitu:
1. Daksina
2. Banten Peras,
3. Banten Ajuman/Soda
4. Ketupat Kelanan
5. Penyeneng/Tehenan/Pabuat
6. Pesucian Pesucian
7. Segehan alit
Sarana yang Lain
·
Daun/Plawa;
lambang kesejukan.
·
Bunga;
lambang cetusan perasaan
·
Bija;
lambang benih-benih kesucian.
·
Air;
lambang pawitra, amertha
·
Api;
lambang saksi dan pendetanya Yajna.
Ketupat
Kelanan Unsur-unsur yang membentuk ketupat kelanan:
Alasnya tamas/taledan atau ceper,
kemudian diisi buah, pisang dan kue secukupnya, enam buah ketupat,
rerasmen/lauk pauk + 1 butir telor mateng dialasi tri kona/ tangkih/celemik,
sampyan palus/petangas, canang sari. Ketupat Kelanan adalah lambang dari Sad
Ripu yang telah dapat dikendalikan atau teruntai oleh rohani sehingga kebajikan
senantiasa meliputi kehidupan manusia. Dengan terkendalinya Sad Ripu maka
keseimbangan hidup akan meyelimuti manusia.
Siapa yang menerima Banten pejati ?
Banten Pejati dihaturkan kepada
Sanghyang Catur Loka Phala, yaitu
·
Peras
kepada Sanghyang Isvara
·
Daksina
kepada Sanghyang Brahma
·
Ketupat
kelanan kepada Sanghyang Visnu
·
Ajuman
kepada Sanghyang Mahadeva
Penjelasan Bahan Banten Pejati
Menurut Lontar Tegesing Sarwa Banten;
Mengenai rerasmen: “ Kacang,
nga; ngamedalang pengrasa tunggal, komak, nga; sane kakalih sampun masikian”.
Artinya: Kacang-kacangan menyebabkan perasaan itu menjadi menyatu, kacang komak
yang berbelah dua itu sudah menyatu.
“ Ulam, nga; iwak nga; hebe
nga; rawos sane becik rinengo”. Artinya: Ulam atau ikan yang dipakai
sarana rerasmen itu sebagai lambang bicara yang baik untuk didengarkan.
Mengenai buah-buahan; “ Sarwa
wija, nga; sakalwiring gawe, nga; sana tatiga ngamedalang pangrasa hayu,
ngalangin ring kahuripan”. Artinya: Segala jenis buah-buahan merupakan
hasil segala perbuatan, yaiyu perbuatan yang tiga macam itu (Tri Kaya
Parisudha), menyebabkan perasaan menjadi baik dan dapat memberikan penerangan
pada kehidupan.
Mengenai Kue/Jajan: “ Gina,
nga; wruh, uli abang putih, nga; lyang apadang, nga; patut ning rama rena.
Dodol, nga; pangan, pangening citta satya, Wajik, nga; rasaning sastra, Bantal,
nga; phalaning hana nora, satuh, nga; tempani, tiru-tiruan”. Artinya;
Gina adalah lambang mengetahui, Uli merah dan Uli putih adalah lambang
kegembiraan yang terang, bhakti terhadap guru rupaka/ ayah-ibu, Dodol adalah
lambang pikiran menjadi setia, wajik adalah lambang kesenangan mempelajari
sastra, Bantal adalah lambang dari hasil yang sungguh-sungguh dan tidak, dan
Satuh adalah lambang patut yang ditirukan.
Mengenai
bahan porosan: “ Sedah who, nga; hiking mangde hita wasana, ngaraning
matut halyus hasanak, makadang mitra, kasih kumasih”. Artinya: Sirih
dan pinang itu lambang dari yang membuatnya kesejahteraan/kerahayuan, berawal
dari dasar pemikirannya yang baik, cocok dengan keadaannya, bersaudara dalam keluarga,
bertetangga dan berkawan.
Konsepsi
penyatuan Siva Sinddhanta telah tersimboliskan kedalam banten Pejati.
Unsur-unsur yang ada tersebut telah menjadi satu dan membentuk banten Pejati.
Unsur-unsur yang telah menyatu tersebut memberikan simbolis bahwa seluruh sekte
yang ada telah luluh kepada Siva Siddhanta.
1.2 Mantra
Canang
Sari, Daksina, dan Peras !
1.2.1 Mantra Canang Sari
Oṁ Puspa Danta ya namah svaha (dalam
hati)
Oṁ tamolah panca pacara guru paduka
bhyo namah swaha
Oṁ shri Deva Devi Sukla ya namah
svaha
1.2.2 Mantra Daksina
Om dasa dasi Daksina tattwa
Sanjnanam suddha ya namah
Om Pukulun Dewa Wisnu
Alinggih aneng sesantun daksina
Guru Dewa asung nugraha
Salwiring pinuja dening ingsun
Wastu purna jati
Tan mamiruda ring sariran ingsun
Om siddhirastu tat astu namah swaha
Om Yad yat sadasinam karma
Tat tad yajna iti smrtam
Wrtha hyadaksino yajno
Yadna patni hi daksina
(Suhardana, 2006:276-277)
1.2.3 Mantra Peras
Om Ekawara
Dwiwara Triwara Caturwara Pancawara Purwa pras prasiddha rahayu.
Om Panca ware
bhawet brahma
Wisnu saptawara waca
Sad wareswaro dewasca
Asta ware siwo jneyah
Om karam ucyate
sarwa pras. Pras-parisuddhaya nama swaha.
Om sapta ware te
warna karana
Aditya tu Mahadewa
Soma Waisrawana tatha.
Anggara tu punah Sukra
Budha Wisnu
tathaiwa ca
Brahma Wraspati
Caiwa
Sukra Waruna ewa
ca
Saniscara Yamas
caiwa
Wraspati pinaka wit
Soma pinaka bungkah
Anggara pinaka godong
Buda pinaka kembang
Sukra pinaka who
Saniscara pinaka kulit
Aditya pinaka warna
DAFTAR PUSTAKA
Putra,
Mas. 2003. Upakara-Yadnya. Denpasar : Parisadha Hindu Dharma.
Rai
Sudharta, Tjokorda, dkk. 1992. Arti dan Fungsi Sarana Upakara. Denpasar :
PHDI.
Suhardana,
K.M. 2006. Dasar-Dasar Kepemangkuan. Surabaya:Paramita.
Surayin,
Ida Ayu Putu. 2002. Seri I Upakara Yajna, Melangkah ke Arah Persiapan
Upakara-Upakara Yajna.
Surabaya:Paramita
Wijayananda,
Mpu Jaya. 2003. Tetandingan lan Sorohan
Banten. Surabaya;
Paramitha
…………….1995.
Panca Yadnya. Denpasar : PHDI.
Geen opmerkings nie:
Plaas 'n opmerking