Nama
: Ni Luh Putu Sri Musiartini
Setiawati
Nim : 10.1.1.1.1.3883
Jurusan
: Pendidikan Agama
Prodi/smt : PAH B/ IV
Mk : Siva Siddhanta I
UTS
SIVA SIDDHANTA
Soal!
1. Jelaskan
tokoh-tokoh penyebar Siva Sidhanta dari India sampai ke Bali?
2. Jelaskan
kenapa kritalisasi semua sekte di Bali dengan mengatasnamakan
Siwa
sidantha?
3. Jelaskan
konsep kristalisasi yang di buat oleh mpu Kuturan!
4. Jelaskan
konsep penyatuan Siva Sidhanta atau sekte-sekte dalam Merajan
anda
sendiri!
5. Bagaimana
anda menyikapi terhadap fenomena menyontek dalam ujian,
korupsi,
teroris dalam Siva Sidantha?
Jawab!
1. Tokoh-tokoh
penyebar Siva Siddhanta di India ialah Maha Rsi Agastya di
daerah Madyapradesh (India tengah) kemudian
menyebar ke Indonesia. Di Indonesia seorang Maha Rsi pengembang sekte ini yang
berasal dari pasraman Agastya Madyapradesh yang di kenal dengan berbagai nama.
Disini bukan hanya satu orang Rsi saja yang menyebarkan atau memperkenalkan
sekte Siva Siddhanta, namun banyak tetapi mengatas namakan Rsi Agastya. Jadi
pada penyebaranya, sekte Siva Siddhanta di sebar atau diperkenalkan oleh
anggota-anggota kelompok dari Rsi Agastya. Sedangkan tokoh-tokoh penyebar Siva
Siddhanta di Bali ialah dua tokoh terkemuka yaitu Mpu Kuturan dan Mpu/Danghyang
Nirartha, kedua tokoh ini lebih memantapkan
paham Siva Siddhanta yang ada di Bali. Pengawi dan ahli Weda I Gusti
Bagus Sugriwa dalam bukunya: Dwijendra Tattwa, Upada Sastra, 1991 menyiratkan
bahwa di Bali wahyu Hyang Widhi diterima setidak-tidaknya oleh enam Maha Rsi. Wahyu-wahyu itu memantapkan
pemahaman Siva Siddhanta meliputi tiga kerangka Agama Hindu yaitu Tattwa,
Susila, dan Upacara. Wahyu-wahyu itu berupa pemikiran-pemikiran cemerlang dan
wangsit yang diterima oleh orang-orang suci di Bali sekitar abad ke delapan
sampai ke-empat belas yaitu :
a. Danghyang
Markandeya
Pada
abad ke-8 beliau mendapat wahyu di Gunung Di Hyang (Dieng, Jawa Timur), bahwa
bangunan pelinggih di Tolangkir (Besakih) harus ditanami panca datu yang
terdiri dari unsur-unsur emas, perak, tembaga, besi, dan permata mirah. Setelah
menetap di Taro, Tegal Lalang-Gianyar, beliau memantapkan ajaran Siva Siddhanta
kepada para pengikutnya dalam bentuk ritual : Surya Sewana, Bebali, (banten)
dan Pecaruan. Karena semua ritual menggunakan banten atau bebali maka ketika
itu agama ini dinamakan Agama Bali.
b. Mpu Sangkulputih
Setelah
Danghyang Markandeya moksa, Mpu Sangkulputih meneruskan dan melengkapi ritual
Bebali antara lain dengan membuat variasi dan dekorasi yang menarik untuk
berbagai jenis banten dengan menambahkan unsur-unsur tetumbuhanlainnya seperti:
daun sirih, daun pisang, daun janur, buah-buahan; pisang, kelapa dan
biji-bijian: beras, injin, kacang komak. Bentuk banten yang diciptakan antara
lain canang sari, canang tubugan, canang raka, daksina, peras, penyeneng,
tehenan, segehan, lis, nasi panca warna, prayascita, durmenggala, pungu-pungu,
beakala, ulap ngambe, dll. Di samping itu beliau juga mendidik para pengikutnya
menjadi sulinggih dengan gelar Dukuh, Prawayah, dan Kayaban. Beliau juga
pelopor pembuatan acra/pralingga dan patung-patung Dewa yang dibuat dari bahan
batu, kayu, atau logam sebagai alat konsentrasi dalam pemujaan Hyang Widhi. Beliau juga mengenalkan tata cara pelaksanaan peringatan
hari Piodalan di pura Besakih dan pura-pura lainnya, serta ritual-ritual hari
raya seperti hari raya Galungan, Kuningan, dll.
c. Mpu Kuturan
Mpu Kuturan merupakan pencetus untuk mengembangkan konsep
Trimurti dalam wujud simbol palinggih
Kemulan Rong Tiga di tiap perumahan, Pura Kahyanngan tiga di tiap Desa
Adat, dan Pembangunan Pura-pura Kiduling Kreteg (Brahma), Batumadeg (Wisnu),
dan Gelap (Siwa), serta Padma Tiga, di Besakih. Paham Trimurti adalah pemujaan
manifestasi Hyang Widhi dalam posisi horizontal (pangider-ider). Beliau datang pada abad ke-11 dari majapahit sebagai
seorang Brahmana Buddha yang mempunyai pemikiran cemerlang untuk menyatukan
seluruh sekte yang ada di Bali.
d. Mpu Manik
Angkeran
Setelah Mpu Sangkulputih moksa, tugas-tugas beliau
digantikan oleh Mpu Manik Angkeran. Beliau adalah Brahmana
dari Majapahit putra Danghyang Siddimantra. Dengan maksud agar putranya ini
tidak kembali ke Jawa dan untuk melindungi Bali dari pengaruh luar, maka tanah
genting yang menghubungkan Jawa dan Bali diputus dengan memakai kekuatan bathin
Danghyang Siddimantra. Tanah genting yang putus itu disebut Segara Rupek.
e. Mpu Jiwaya
Beliau
menyebarkan Agama Budha Mahayana aliran Tantri terutama pada kaum bangsawan di
zaman Dinasti Warmadewa (abad ke-9). Sisa-sisa ajaran itu kini dijumpai dalam
bentuk kepercayaan kekuatan mistik yang berkaitan dengan keangkeran (tenget)
dan pemasupati untuk kesaktian senjata-senjata alat perang, topeng, barong,
dll.
f. Danghyang
Dwijendra
Danghyang Dwijendra datang ke Bali pada abad ke-14 dari desa Keling di
Jawa, beliau adalah keturunan Brahmana Buddha tetapi beralih menjadi Brahmana
Siwa, ketika Kerajaan bali Dwipa dipimpin oleh Dalem Waturenggong. Beliau
mendapat wahyu di Purancak, Jembrana bahwa di Bali perlu dikembangkan paham
Tripurusa yakni pemujaan Hyang Widhi dalam manifestasi-Nya sebagai Siwa. Sadha
Siwa, dan Parama Siwa. Bentuk bangunan pemujaan adalah Padmasari atau
Padmasana.
2. Kritalisasi semua sekte di Bali mengatasnamakan
Siva Siddhanta, hal ini dikarenakan aliran Siva Siddhanta merupakan aliran yang
menjadi wadah bagi sekte-sekte yang lain untuk mengkristalisasikan seluruh
sekte-sekte yang ada di Bali. Sebenarnya Siva Siddhanta merupakan salah satu
bagian dari sekte Siva yang paling besar pengikutnya diantara sekte-sekte yang
lain. Dari ke sembilan sekte yang ada di Bali masing-masing mempunyai dan
memuja Dewa-Dewa tertentu sebagai istadewatanya atau sebagai Dewa Utamanya
dengan Nyasa (simbol) tertentu serta berkenyakinan bahwa istadewatalah yang
paling utama sedangkan yang lainnya dianggap lebih rendah. Perbedaan-perbedaan
itu akhirnya menimbulakan pertentangan dan sengketa, agar hal ini tidak
berkelanjutan maka seluruh sekte tersebut di kristalisasikan menjadi Siva
Siddhanta setelah melalui proses kesepakatan dari berbagai sekte yang ada.
Inilah menjadi bukti bahwa Siva Siddhanta menjadi wadah yang mencangkup seluruh
sekte yang ada di Bali.
3. Konsep kristalisasi yang di buat oleh Mpu
Kuturan ialah pada awalnya konsep kristalisasi ini ada karena terjadinya
keegoisan dalam setiap sekte yang ada, dimana dari ke sembilan sekte yang ada
di Bali masing-masing mempunyai dan memuja Dewa-Dewa tertentu sebagai
istadewatanya atau sebagai Dewa Utamanya dengan Nyasa (simbol) tertentu serta
berkenyakinan bahwa istadewatalah yang paling utama sedangkan yang lainnya
dianggap lebih rendah. Perbedaan-perbedaan itu akhirnya menimbulakan
pertentangan dan sengketa. Karena hal inilah Mpu Kuturan membuat konsep
kristalisasi untuk menyatukan seluruh umat Hindu agar tidak terjadi
pertentangan dan sengketa. Pada abad ke-11 datanglah Mpu Kuturan dari majapahit
yang berperan sangat besar pada kemajuan Agama Hindu di Bali. Pada saat itu
beliau mampu menyatukan berbagaimacam aliran atau sekte yang berkembang di
Bali. Atas wahyu Hyang widhi beliau mempunyai pemikiran yang cemerlang mengajak
umat Hindu di Bali mengembangkan konsep Trimurti dalam wujud simbol
palinggih Kemulan Rong Tiga di tiap perumahan,
Pura Kahyanngan tiga di tiap Desa Adat, dan Pembangunan Pura-pura Kiduling
Kreteg (Brahma), Batumadeg (Wisnu), dan Gelap (Siwa), serta Padma Tiga, di
Besakih. Paham Trimurti adalah pemujaan manifestasi Hyang Widhi dalam posisi
horizontal (pangider-ider).
4. Konsep penyatuan Siva Sidhanta atau sekte
– sekte dalam merajan saya ialah, dalam merajan terdapat pelinggih sebagai
berikut :
a. Sanggah
Kamulan.
Dalam Sanggah Kamulan
terdapat penyatuan Siva Siddhanta dari sekte Siva jika dilihat dari Dasar
Hukum Pendirian Sanggah Kamulan. Dalam lontar Sivagama kita jumpai suatu uraian tentang
pendirian Hyang Kamulan. Kutipannya sebagai berikut;
“……bhagawan manohari, Sivapaksa sira, kinwa
kinon de Sri Gondarapati, umaryanang sadhayangan, manista madya motama,
mamarirta swadarmaning wong kabeh. Lyan swadadyaning wang saduluking wang kawan
dasa kinon magawe pangtikrama. Wwang setengah bhaga rwang puluhing saduluk,
sanggarpratiwi wangunen ika mwang kamulan panunggalanya sowing……”
Arti
kutipan tersebut ;
“….. Bhagawan Manohari pengikut Siva, beliau
disuruh oleh Sri Gondarapati, untuk membangun Sad Khayangan Kecil, sedang
maupun besar. Yang merupakan beban kewajiban orang semua. Lain kewajiban
sekelompok orang untuk empat pulih keluarga harus membangun panti. Adapun
setengah bagian dari itu yakni 20 keluarga, harus membangun ibu. Kecilnya 10
keluarga pratiwi harus dibangun, dan kamulan satu-satunya tempat pemujaan (yang
harus dibangun) pada masing-masing pekarangan…..”
Dengan kutipan di atas jelaslah bagi kita, bahwa setiap keluarga
yang menempati karang perumahan tersendiri wajib membangun Sanggah Kamulan.
Jadi lontar Sivagama inilah yang merupakan dasar hukum bagi pendirian Sanggah
Kamulan itu. Lontar Sivagama adalah merupakan Pustaka suci bagian Smrti dari
Sekte Siva. Oleh karena itu ajaran Siva seperti yang tercantum pada lontar
Sivagama itu wajib diikuti oleh pengikutnya. Secara etimologi kata, Sanggah
Kamula terdiri dari dua buah kata yaitu Sanggah dan Kamulan. Sanggah adalah
perubahan ucapan dari pada “sanggar”, arti sanggar menurut pengertian
lontar keagamaan di Bali adalah tempat memuja. Misalnya dalam lontar Sivagama
disebutkan “nista sapuluhing saduluk sanggar pratiwi wangun” (Rontal
Sivagama, lembar 328). Kamulan berasal dari kata “mula” (samkrit), yang
berarti; akar, umbi, dasar, permulaan, asal. Awalan ka-, dan akhiran –an
menunjukkan tempat pemujaan asal atau sumber. Sanggah Kamulan adalah tempat
pemujaan asal atau sumber. Dengan pengertian ini sebenarnya kita sudah dapat
menarik atau menyimpulkan bahwa yang dipuja pada Sanggah Kamulan itu tidak lain
yang merupakan sumber atau asal dari mana manusia itu ada.
b. Pelinggih
Tugu.
Pelinggih Tugu/Penunggun Karang/Mengkubumi yaitu tempat umat
menghubungkan dan mendekatkan diri kehadapan Sang Hyang Mengkubumi. Disimak
dari arti katanya dapat diartikan bahwa umat diharapkan agar menghormati yang
menjadi penunggu atau yang bertanggungjawab dari tempat dari suatu wilayah.
Dengan menghormatinya, berarti umat diharapkan sadar dengan batas-batas dirinya
di dalam mnjalankan kehidupan sehari-hari. Pelinggih Tugu biasanya didirikan di
halaman rumah yang menjadi hak milik dari pada umat yang mendirikannya. Dalam
pelinggih Tugu ini tidak ada kristalisasi dari Siva Siddhanta karena dalam
seluruh sekte yang menyatu dengan Siva Siddhanta tidak ada yang memuja Sang
Hyang Mengkubumi. Namun jika dilihat dari cara upacara yang pada umumnya
memakai banten/sesajen maka pelinggih tugu masuk dalam kristalisasi Siva
Siddhanta karena seluruh sekte yang menyatu dengan Siva Sddhanta menggunakan banten/sesajen
dalam pemujaannya.
c. Kawitan.
Kawitan itu berasal dari kata wit yang artinya asal mula.
Dari difinisi tersebut dapat dipahami bahwa kawitan merupakan asal usul dari
kelompok keluarga itu sendiri. Kawitan keluarga saya ada di Kabupaten Klungkung
gel-gel Pura Dalem Agung Dukuh Nyuh Aya. Namun dalam hal ini saya kurang bisa
menjelaskan apakah kawitan saya ada hubungannya dengan kristalisasi Siva
Siddhanta, karena tidak ada sumber yang
jelas mengatakan hal itu. Namun jikan dilihat dari asal Kawitan pada umumnya,
bahwa kita seluruh umat hindu di Bali merupakan keturunan dari Majapahit
(terkecuali Bali Aga), kita ketahui bahwa kerajaan Majapahit sebagaian besar
manganut paham Siva, yang cendrung untuk memuja Dewa Siva. Dalam Kristalisasi
seluruh sekte, seluruh sekte tersebut luluh pada Siva Siddhanta yang pemujaanya
cendrung fokus kepada Dewa Siva, ini bisa menandakan bahwa Sanggah Kawitan
masih berhubungan dengan Siva Siddhanta. Namun jika dilihat dari cara upacara
yang pada umumnya memakai banten/sesajen maka sanggah Kawitan masuk dalam
kristalisasi Siva Siddhanta karena seluruh sekte yang menyatu dengan Siva
Sddhanta menggunakan banten/sesajen dalam pemujaannya.
d. Sanggah
Surya.
Di dalam Masyarakat
Sanggah Surya juga disebut dengan Sanggah Agung. Sanggah ini digunakan pada setiap upacara keagamaan yang
merupakan stana pemujan kepada Sang Hyang Siwa Raditya.
Sanggah mengandung arti sumber, sedangkan Agung merupakan kewibawaan atau kharisma Sang Hyang Siwa Raditya atau Sang Hyang Surya yang menjadi saksi dari pelaksanaan upacara Umat Hindu. Sanggah Surya merupakan kristalisasi Siva Siddhanta dari sekte Sora. Kita ketahui sekte Sora yang sistem pemujaan kepada Dewa Matahari yang disebut Suryasewana dilakukan pada waktu matahari akan terbit dan matahari akan terbenam. Setiap upacara agama di Bali selalu dilakukan pemujaan terhadap Dewa Surya sebagai Dewa yang memberikan persaksian bahwa seseorang telah melakukan yadnya. Dari hal ini telah terlihat jelas bahwa sekte sora sangat erat kaitannya dengan Panca Yadnya. Dimana setiap suatu pelaksanaan dari setiap upacara yadnya selalu memberikan pemujaan kepada Dewa Surya sebagai saksi atas pelaksanaan setiap upacara yadnya. Disinilah menjadi bukti bahwa Sangah Surya merupakan hasil dari kristalisasi Siva Siddhanta khususnya dari sekte Sora.
Sanggah mengandung arti sumber, sedangkan Agung merupakan kewibawaan atau kharisma Sang Hyang Siwa Raditya atau Sang Hyang Surya yang menjadi saksi dari pelaksanaan upacara Umat Hindu. Sanggah Surya merupakan kristalisasi Siva Siddhanta dari sekte Sora. Kita ketahui sekte Sora yang sistem pemujaan kepada Dewa Matahari yang disebut Suryasewana dilakukan pada waktu matahari akan terbit dan matahari akan terbenam. Setiap upacara agama di Bali selalu dilakukan pemujaan terhadap Dewa Surya sebagai Dewa yang memberikan persaksian bahwa seseorang telah melakukan yadnya. Dari hal ini telah terlihat jelas bahwa sekte sora sangat erat kaitannya dengan Panca Yadnya. Dimana setiap suatu pelaksanaan dari setiap upacara yadnya selalu memberikan pemujaan kepada Dewa Surya sebagai saksi atas pelaksanaan setiap upacara yadnya. Disinilah menjadi bukti bahwa Sangah Surya merupakan hasil dari kristalisasi Siva Siddhanta khususnya dari sekte Sora.
e. Taksu
Agung.
Secara umum Taksu
terdapat di setiap merajan. Taksu
merupakan palinggih Dewi Saraswati, sakti (kekuatan) Dewa Brahma dengan Bhiseka
Hyang Taksu yang memberikan daya majik agar semua pekerjaan berhasil baik.
Namun dalam merajan saya terdapat juga Taksu Agung. Pelinggih Taksu Agung adalah tempat
untuk menghubungkan dan mendekatkan diri kehadapan Sang Hyang Taksu Agung. Kalau
dilihat dari katanya Taksu Agung artinya suatu sikap yang tulus ikhlas dan
bertanggung jawab yang dimuliakan , maka dapat disimpulkan bahwa Taksu Agung
merupakan lambang kekuatan Hukum Karma Phala, yang merupakan pedoman pada
setiap langkah yang harus dialami oleh umat. Di mana
suatau perbuatan pasti akan ada hasil yang ditimbulkannya. Pelingih ini terdiri dari 1 rong , lubang atau ruangan. Dalam Pelinggih Taksu Agung tidak ada kristalisasi dari Siva Sidhanta karena seluruh sekte yang menyatu dengan Siva Siddhanta tidak ada yang fokus memuja Dewi Saraswati ataupun Sang Hyang Taksu Agung.
suatau perbuatan pasti akan ada hasil yang ditimbulkannya. Pelingih ini terdiri dari 1 rong , lubang atau ruangan. Dalam Pelinggih Taksu Agung tidak ada kristalisasi dari Siva Sidhanta karena seluruh sekte yang menyatu dengan Siva Siddhanta tidak ada yang fokus memuja Dewi Saraswati ataupun Sang Hyang Taksu Agung.
f. Gedong.
Gedong
dalam merajan saya merupakan palinggih Bhatara Raja Dewata dengan Bhiseka Dewa
Hyang atau Hyang Kompiang, yaitu stana para leluhur di bawah Bethara Kawitan
yang sudah suci. Fungsi dari gedong hampir mirip dengan Pelinggih Kawitan. Sama
halnya dengan Pelinggih Kawitan, bahwa pelinggih Gedong pun tidak ada kaitannya
dengan kristalisasi dari Siva Siddhanta.
g. Rambut
Sedana.
Rambut Sedana merupakan
pelinggih untuk memuja Dewi
Sri dengan Bhiseka Sri Sdana atau Limascatu, yaitu sakti (kekuatan) dari Dewa
Wisnu sebagai pemberi kemakmuran kepada manusia. Peliinggih ini merupakan
kristalisasi Siva Siddhanta dari Sekte Waisnawa. Dalam konsepsi agama Hindu di
Bali tentang pemujaan Dewi Sri. Dewi Sri dipandang sebagai pemberi rejeki,
pemberi kebahagiaan dan kemakmuran. Di kalangan petani di Bali Dewi Sri
dipandang sebagai Dewanya padi yang merupakan keperluan hidup yang utama.
h. Persimpangan
Luhur Batu Karu.
Dalam merajan saya
terdapat pelinggih khusus yaitu Pelinggih Persimpangan Luhur Batu Karu,
pelinggih ini ada karena rumah saya di
Desa Penebel Kelod, Kec Penebel, Tabanaan dekat dengan Pura Luhur Batu Karu,
maka dibuatlah pelinggih Persimpangan Luhur Batu Karu, alasan dibuat pelinggih
ini jika pada saat ada odalan di Pura Luhur Batu Karu namun keluarga tidak bisa
nangkil maka bisa ngayat sesuunan Luhur Batu Karu dari Persimpangan Luhur Batu
Karu ini. Pelinggih ini tidak ada hubungannya dengan kristalisasi Siva
Siddhanta.
i. Menjangan
saluang.
Pelinggih ini merupakan
pelinggih untuk memuja
Dewa Rsi Mpu Kuturan dengan Bhiseka Limaspahit, mengingat jasa-jasa beliau yang
mengajegkan Hindu di Bali, penyebar dan penyempurna Agama Hindu di Bali, abad
ke-10 sampai abad ke-11 M. Pelinggih ini bisa dikatakan sebagai salah satu
kondep dari kristalisasi Siva Siddhanta. Kita lihat bagaimana sejarah Mpu
Kuturan berusaha untuk menyatukan seluruh sekte, yang pada awalnya semua sekte
yang ada di Bali masing-masing mempunyai dan memuja
Dewa-Dewa tertentu sebagai istadewatanya atau sebagai Dewa Utamanya dengan
Nyasa (simbol) tertentu serta berkenyakinan bahwa istadewatalah yang paling
utama sedangkan yang lainnya dianggap lebih rendah. Perbedaan-perbedaan itu
akhirnya menimbulakan pertentangan dan sengketa. Untuk mengantisipasi hal ini
makan Mpu kuturan membuat konsep kristalisasi Siva Siddhanta yang ada di Bali dengan
memperkenalkan konsep Trimurti dalam wujud simbol palinggih Kemulan Rong Tiga
di tiap perumahan. Jika dilihat dari hal ini maka pelinggih Manjangan Saluang
sangat besar kaitannya dengan kristalisasi Siva Siddhanta yang semua konsep
penyatuan yang ada di Bali berawal dari Mpu Kuturan.
j. Piasan.
Pelinggih Piasan melambangkan :
- Suatu tempat yang dipergunakan untuk melakukan pertemuan untuk
membahas suatu masalah dengan musyawarah mufakat.
- Tempat untuk menghias ( membuat keindahan hidup ).
- Tempat untuk mengucapkan Mantra/mepios ( menyampaikan pendapat ).
Dapat disimpulkan makna dari simbul piasan yaitu suatu cara
yang baik dan indah untuk menyampaikan pendapat sehingga mendapatkan musyawarah
dan mufakat yang sangat dibutuhkan dalam usaha menyelesaikan masalah di dalam
diri sendiri, keluarga, dan bahkan masyarakat pada umumnya, sehingga hidup
menjadi lebih bermakana,indah, dan bahagia. Pelinggih ini tidak ada hubungannya
dengan kristalisasi Siva Siddhanta.
k. Pelinggi
Lebuh.
Pelinggih Lebuh
merupakan pelinggih yang berfungsi untuk pemujaan Betara Sami artinya seluruh
betara (baik Batara Siva, Wisnu, Brahma dll) yang ada dalam merajan tersebut
pada saat datang dan pergi haruslan melapor terlebih dahulu ke Pelinggih Lebuh
ini, ini bisa di ibaratkan sebagai satpam dalam merajan dan pekarangan rumah
karena pelinggih ini mencangkup seluruh Batara yang berstana di merajan dan
juga sebagai pelindung wilayah rumah. Pelinggih lebuh mempunyai hubungan dengan
konsep kristalisasi Siva Siddhanta dari seluruh sekte yang ada, kenapa demikian
karena Pelinggih Lebuh mencangkup seluruh Betara-Betari baik itu Dewa Siwa,
Wisnu, Brahma dll. Seperti kita ketahui bahwa Dewa Siwa merupakan dewa yang
dipuja dalam sekte Siva, begitupun Dewa Wisnu yang dipuja dalam sekte Waisnawa,
begitupun Dewa Surya yang dipuja dalam sekte Sora.
5.
Pendapat
saya terhadap fenomena menyontek dalam ujian, korupsi,
teroris dalam Siva Sidantha ialah
semua hal ini merupakan bagian dari Rwa Bhineda Tattwa, yakni terdiri dari
Cetana dan Acetana. Kedua unsur atau element yang disebut Cetana dan Acetana
ini sifatnya seba gaib (suksma yang menjadi asal mula dari segala sesuatu. Oleh
karena itu keduanya tidak dapat terpisahkan. Cetana adalah unsur kesadaran,
kejiwaan atau spiritualitas yang mutlak tetap ingat, tidak pernah lupa, tiada
berawal dan tiada berakhir, kekal abadi serta menjadi sumber atau benih
kesadaran atau kejiwaan yang tertinggi dari alam semesta dan segala makhluk.
Sedangkan Acetana adalah unsur yang tanpa kesadaran atau tampa jiwa, tetap
bersifat lupa dan tiada pernah ingat, serta menjadi benih atau sumber asal mula
material dair pada alam semesta dengan segala isinya dan sebala mahkluk. Jika
kita kaitkan fenomena hal tersebut
kedalam konsep ini, bahwa sesungguhnya mahkluk hidup khususnya manusia yang
memiliki sabda, bayu, idep tidak terlepas dari kesadaran akan jiwanya maupun
lupa akan jiwanya (Cetana dan Acetana). Fenomena
menyontek dalam ujian, korupsi, teroris
yang di lakukan manusia tidak lepas dari ketidak sadarannya akan hal negatif
tersebut yang bisa merugika diri sendiri maupun orang lain. Karena masih
terpengaruh oleh awidya maka manusia tidak lepas dari Rwa Bhineda Tattwa, yakni
terdiri dari Cetana dan Acetana. Tetapi sekarang kita kembali lagi kepada jiwa
atau kesadaran seseorang dalam melakukan
sesuatu perbuatan yang baik maupun buruk.