Maandag 16 Desember 2013

Jaratkaru

CERITA SANG JARATKARU Epos Mahabharata dibagi menjadi delapan belas parwa, yang dikenal dengan Astadasaparwa. Parwa-parwa tersebut menurut Zoetmulder (1983: 80) merupakan prosa yang diadaptasi dari bagian epos-epos dalam bahasa Sanskerta dan juga menunjukkan ketergantungannya dengan kutipan-kutipan dari karya asli bahasa Sanskerta tersebut. Delapan belas parwa tersebut secara berurutan mulai dari: Adiparwa, Sabhapawra, Wanaparwa, Wirataparwa, Udyogaparwa, Bhismaparwa, Dronaparwa, Karnaparwa, Salyaparwa, Sauptikaparwa, Striparwa, Santhiparwa, Anusasanaparwa, Aswamedhikaparwa, ramaparwa, Mausalaparwa, Mahaprasthanikaparwa, dan Swargarohanaparwa. Delapan belas parwa tersebut, Adiparwa merupakan parwa pertama, di dalamnya mengandung berbagai cerita, salah satunya Carita Jaratkaru yang seringkali dipakai acuan dalam kehidupan masyarakat Bali. Carita Jaratkaru ini menjadi menarik, karena selain menjadi acuan dalam kehidupan masyarakat Bali, teks-teks parwa (prosa) semacam ini dibaca melalui sajian phalawakya, sebuah pembacaan teks dengan irama menarik (khusus), serta diikuti oleh terjemahan memakai bahasa Bali kepara (umum). Phalawakya sebagaimana diungkapkan Medera (1997: 31-32) adalah pembacaan teks-teks dalam bahasa Kawi (Jawa Kuno) yang berbentuk parwa (prosa) disertai dengan terjemahan. Pembacaan teks parwa semacam ini telah diwarisi sejak dahulu terutama dalam aktivitas keagamaan, yaitu untuk mengiringi upacara pitra yadnya yang disebut mamutru. Carita Jaratkaru secara gramatikal dapat dipilah ke dalam dua pemaknaan sebagai kata carita dan jaratkaru. Carita dalam konteks kehidupan masyarakat Bali sering juga disebut dongeng (satua), merupakan genre cerita prosa rakyat (Danandjaja, 1986: 50). Sedangkan Jaratkaru adalah tokoh yang unsur katanya secara etimologi dipilah menjadi jarat berarti kejatuhan/sengsara, dan karuna berarti perbuatan luhur, cinta kasih atau belas kasihan (Suhardana, 2006: 69). Dengan demikian Jaratkaru dapat diberikan arti lebih luas menunjuk kepada orang yang punya keluhuran budi sehingga peduli dan merasa belas kasihan kepada setiap orang yang sedang susah atau mengalami penderitaan. Tersebutlah seorang pertapa sakti yang baik budinya bernama Sang Jaratkaru. Setiap hari pekerjaannya mengambil biji butir-butir padi yang tersebar dijalan. Biji butir-butir padi itu dikumpulkannya dan dicucinya, kemudian ditanaknya dan dipergunakan untuk korban kepada para Dewa. Demikianlah hal yang ia kerjakan tiap hari. Ia tak memikirkan istri, malahan hanya bertapa dan memuja para Dewa yang ia lakukan. Karena rajin bertapa, ia pun menguasai berbagai macam mantra. Ia diperbolehkan masuk ke segala tempat yang ia kehendaki. Suatu hari, ia berziarah ke Ayatanasthana, tempat di antara surga dan neraka, dimana leluhurnya menunggu apakah ia akan naik ke surga atau masuk neraka. Ketika berziarah ke Ayatanasthana. Ia melihat leluhurnya tergantung pada sebuah buluh petung, mukanya tertelungkup, kakinya diikat, dibawahnya terdapat sebuah jurang dalam jalan ke neraka. Orang akan tepat masuk kedalamnya, kalau buluh tempat bergantung itu putus. Seekor tikus tinggal di dalam buluh ditepi jurang itu, setiap hari mengerat buku batang. Sang Jaratkaru, berlinang-linang air matanya melihat hal itu. Maka timbulah belas kasihannya. Sang Jaratkaru pun mendekati leluhurnya yang berpakaian sebagai seorang petapa, berambut tebal, berpakaian kulit kayu dan tiada makan selamanya. Sang Jaratkaru bertanya kepada leluhur itu, “Apakah sebabnya tuanku sekalian bergantung pada buluh yang hampir putus oleh gigitan tikus, sedang dibawahnya jurang yang tiada terduga dalamnya?” seru Sang Jaratkaru. Leluhur itu pun menjawab, “Keadaan saya seperti ini adalah karena keturunan kami ini putus. Itulah sebabnya saya pisah dengan dunia leluhur dan bergantung dibuluh petung ini, seakan-akan sudah masuk neraka.” “Ada seorang keturunanku bernama Jaratkaru, ia pergi berkeinginan melepaskan ikatan kesengsaraan orang, ia tidak beristri, karena menjadi seorang brahmacari dari kecil. Itulah yang menyebabkan saya berada dibuluh ini, karena brata semadhinya kepada asrama sang pertapa” kata sang leluhur itu. “Kalau engkau belas kasihan kepada saya, pintalah kepada Sang Jaratkaru supaya memiliki keturunan, supaya saya dapat pulang ke tempat para leluhur.” Sang Jaratkaru tersayat hatinya melihat leluhurnya menderita susah. “Saya inilah yang bernama Jaratkaru, seorang keturunanmu yang gemar bertapa dan bertekad menjadi brahmacari. Apapun kalau itu menjadi jalanmu untuk kembali ke sorga, janganlah khawatir, saya akan menghentikan kebrahmacarian saya dan mencari anak istri. Yang saya kehendaki istri yang namanya sama dengan nama saya supaya tiada bertentangan dalam perkawinan. Bila sudah mempunyai anak, akan menjadi brahmacari lagi, senanglah hatimu.” Demikianlah kata Sang Jaratkaru, pergilah ia mencari istri yang senama dengannya. Ia pergi ke semua penjuru, tetapi tidak menemukan istri yang senama dengannya. Karena tidak tahu harus berbuat apa lagi, ia pun mencari pertolongan kepada bapaknya supaya dapat menghindarkan dirinya dari sengsara. Masuklah ke hutan sunyi, menangislah ia sambil mengeluh kepada semua Dewata. Berkatalah ia pada semua makhluk, “Hai segala makhluk termasuk makhluk yang tidak bergerak, saya ini Jaratkaru seorang brahmana yang ingin beristri. Berilah saya istri yang senama dengan saya, biar saya mempunyai anak, supaya leluhur saya bisa pulang ke sorga.” Tangis Sang Jaratkaru itu terdengar oleh para naga. Sang Naga Basuki pun mencari Sang Jaratkaru dan memberikan adiknya Sang Naga. Sang Jaratkaru hanya berkenan memperistri perempuan yang ‘senama’ atau mempunyai kesamaan dengan dirinya, yaitu perempuan yang punya rasa belas kasih dan berbudi luhur sehingga memungkinkan terjadinya keseimbangan dan keselarasan hidup. Dari perkawinan inilah Sang Astika lahir menandai keberhasilan perkawinan Sang Jaratkaru dengan Nagini Jaratkaru yang dapat membebaskan kedua pihak leluhurnya. Yayawarabrata (ayahnya Jaratkaru) melayang lepas dari gantungan buluh petung, dan para ular (saudara-saudaranya Nagini Jaratkaru) terbebas dari upacara sarpha yadnya (korban ular). Carita Jaratkaru mengungkapkan persoalan dilematis, merujuk pilihan hidup brahmacari dari Sang Jaratkaru. Di satu sisi Sang Jaratkaru komitmen ingin melakukan sukla brahmacari sesuai dengan harapan dan cita-citanya dari kecil. Cita-cita brahmacari atau brāhmacarya sebagaimana dinyatakan Sharma (2007: 47) mempunyai misi suci dan mulia, yaitu membujang dengan pikiran terbebas dari pemikiran tentang seks atau hubungan fisik dengan lawan jenis. Pembebasan diri dari pemikiran tentang seks ini merupakan salah satu pengekangan indria, karena pikiran-pikiran yang membelenggu tentang kenikmatan jasmani menurutnya hanya menyisakan sedikit ruang bagi pikiran-pikiran mulia. Di sisi lain brahmacari sebagai pembujangan seumur hidup yang dilakukan Sang Jaratkaru berkonskuensi memutus tali hubungan antara leluhur dengan keturunannya. Ini berarti ia telah membuat kebuntuan proses reinkarnasi tempat (numitis) bagi leluhurnya yang telah disucikan/meninggal. Inilah yang menjadi inti persoalan Carita Jaratkaru sehingga setiap orang diharapkan berketurunan karena berkaitan dengan pemujaan leluhur. Sebutan anak di Bali sering disebut putra, dalam bahasa Sanskerta berarti penyelamat (Wiana, 2006: 197). Dengan demikian mempunyai anak menurut pandangan Hindu selain bertujuan untuk meneruskan keturunan juga menyelamatkan leluhur. Dalam Slokantara bahkan disebutkan yan hana wong agawe yadnya satus alah ikang dening anak suputra, artinya lebih utama mempunyai seorang anak yang pandai dan berbudi (suputra) daripada melakukan seratus kali yadnya/korban (Suprayitno, 1983: 7). Pentingnya berketurunan ini secara implisit disajikan melalui karya cerita yang kemudian dijadikan mitos pengukuhan bagi masyarakat Bali khususnya. Ketiadaan anak niscaya akan memutus lingkaran moral yang indah (Wiana, 2004: 4), bahwa hubungan kehidupan yang seharusnya tidak boleh terputus antara anak dengan leluhurnya. Esensi cerita ini sampai kini masih diterima oleh masyarakat Bali terutama berhubungan dengan pemujaan leluhur. Meskipun pemujaan kepada leluhur bukan merupakan pemujaan tertinggi dalam konsep pemujaan Hindu, namun menyembah leluhur menurut Wiana (2004: 16) akan memperkuat penyembahan kepada Dewa manifestasi Tuhan Yang Mahaesa. Kaler (2005: 20) menyebutnya pitra puja, yaitu penghormatan/pemujaan leluhur yang telah meninggal, yakni sesuai garis purusa yang distanakan pada tempat-tempat, seperti; sanggah/merajan, pura dadia, panti, paibon yang tergolong pura kawitan (pura leluhur). Pemujaan leluhur ini merupakan kepercayaan dan praktik berhubungan dengan pendewaan orang-orang yang sudah meninggal dalam suatu komunitas, khususnya dalam hubungan kekeluargaan. Bentuk teks Carita Jaratkaru disajikan dengan menggunakan bahasa Jawa Kuno, meskipun masih terlihat ketergantungannya dengan teks asli dalam bahasa Sanskerta. Munculnya kutipan bahasa Sanskerta ini dapat memperkuat/ mempertegas maksud sekaligus mendapat penjelasan lebih jauh dalam kalimat bahasa Jawa Kuno selanjutnya. Besarnya pengaruh bahasa Sanskerta terhadap bahasa Jawa Kuno banyak dipengaruhi oleh faktor kesamaan budaya antara corak budaya kerajaan di Jawa dengan corak budaya India yang berlatar Hindu. Tema cerita ini mengandung pemahaman tentang ruwatan, yaitu pembebasan seseorang dari penderitaan. Kemudian amanat yang ingin disampaikan oleh cerita ini adalah tuntunan prilaku bagi seorang anak agar senantiasa menjaga keselarasan dengan orang tua (leluhur). Selain itu ada suatu pesan yang hendak disampaikan dalam cerita ini mengenai Sukla Brahmacari. Jika seseorang belum siap untuk melakukan pengekangan terhadap indriya, jangan mencoba untuk nyukla brahmacari. Untuk itu tahapan-tahapan dalam Catur Asrama sangat penting untuk diperhatikan dan dilaksanakan. Mengenai Jaratkaru yang menginginkan istri yang senama dengannya jika dianalisis bahwasanya seseorang harus pandai memilih calon pendamping hidup dengan memperhitungkan bibit, bebet dan bobotnya. Sumber: Medera, Nengah, dkk. 1986. Terjemahan dan Kajian Nilai Astadasaparwa. Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Kebudayaan Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Bali (Baliologi) 1985/1986. Sharma, Pt. Kisanlal. 2007. Mengapa? Tradisi dan Upacara Hindu. Surabaya: Paramita. Suhardana, K. M. 2006. Memaknai Kesejagatan Agama Hindu. Denpasar: PT. Empat Warna Komunikasi. Wiana, I Ketut, 2006. Beragama Bukan Hanya di Pura, Agama Hindu Sebagai Tuntunan Hidup. Denpasar: Yayasan Dharma Naradha. Zoetmulder, P.J. 1983. Kalangwan Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang. Jakarta: Djambatan. http://varianwisatabudayasundakecil.blogspot.com/2011/07/bentuk-cerita-jaratkaru-dalam-tradisi.html   MYTHOLOGI UMBUL – UMBUL “Umbul-umbul” adalah sejenis bendera Hindu Bali dengan tinggi 5 sampai 10 meter, berlukiskan naga yang sangat dekoratif dan agung. Sering ditempatkan di area Pura-Pura atau digunakan sebagai sarana dalam parade prosesi Hindu Bali. Umbul-umbul adalah salah satu perangkat dalam sebuah tempat suci/Parhyangan. Dilihat dari bentuknya yang unik dan menarik memberikan inspirasi pada masyarakat untuk membuat padanannya sehingga dimungkinkan untuk digunakan dalam konteks yang bersifat profan. Secara kasat mata dengan dipancangkannya umbul-umbul lebih memberi kesan kemeriahan suasana. Inilah mungkin salah satu alasan diadopsinya umbul-umbul walau dalam bentuk dan aksesoris yang berbeda untuk kepentingan di luar kegiatan seremonial religius Hindu. Sepanjang tidak menyertakan idiom-idiom Hindu hal tersebut sah-sah saja dilakukan. Umbul-umbul dalam agama Hindu adalah benda yang suci dan disakralkan. Hal ini disebabkan oleh karena umbul-umbul mempunyai mythologinya sendiri yaitu yang tersurat dalam kitab Itihasa dalam epos besar Mahabharata, pada kisah Arjuna Pramada yaitu diceritakan Prabu Yudistira bermaksud membuat istana yang indah maka disuruhlah adik-adiknya mencari contoh istana yang bisa akan ditiru. Dalam persidangan Arjuna melaporkan bahwa konon istana yang sangat indah yaitu istana Alengka, tempat Dewi Sita ditawan oleh Rahwana. Keindahannya tak terlukiskan oleh kata-kata. Akhirnya Yudistira mengutus Arjuna untuk pergi ke sana, Arjuna meininta bantuan Sri Kresna untuk mengantarkannya dalam perjalanan menuju Alengka. Setelah sampai di tepi pantai menyeberang ke Alengka, maka dilihatlah jembatan yang dahulu dibuat oleh bala bantuan tentara kera dari Sri Rama. Setelah melihat jembatan itu. Sri Kresna terkenang pada penjelmaannya yang dahulu pada waktu beliau bereinkarnasi lahir sebagai Rama dan teringat serta rindu pada kesetiaan Hanoman, kerinduan ini menyebabkan Hanoman yang sedang bertapa tertarik oleh kerinduan Sri Kresna (reinkarnasi Wisnu) dan datang kehadapan Sri Kresna. Di lain pihak Arjuna berkata kepada Sri Kresna “Kanda saya tidak percaya pada kehebatan Hanoman dan para kera lainnya yang dikatakan begitu sakti, mengapa membuat jembatan seperti ini harus mengambil waktu beberapa hari. Saya dalam sekejap saja dapat membuatnya”. Kata-kata Arjuna ini didengar oleh Hanoman dan berkata “Ya Arjuna, bala tentara Sang Rama adalah banyak sekali, sebab itu kaini membuat jembatan yang kokoh”. Arjuna menjawab “Saya bisa membuat jembatan yang kokoh, barang siapa yang bisa mematahkan jembatan saya, saya akan sembah”. Kalau begitu cobalah kata Hanoman. Arjuna mengambil panah naganya dan begitu dilontarkan seketika menjadi jembatan yang kokoh sejajar dengan jembatan yang telah ada. Hanoman meloncat ke atas jembatan itu maka patahlah jembatan itu. Sri Kresna melihat kejadian itu, lalu melepaskan panahnya sehingga jembatan itu kembali sebagaimana semula dan Hanomanpun mencoba untuk mematahkan, tetapi tidak bisa. Sadarlah Hanoman yang dihadapinya itu adalah junjungannya Rama Dewa, yang lahir kembali menjadi Sri Kresna lalu mendekatinya mau menyembahnya. Sebaliknya Arjuna mendekati Hanoman untuk menyembahnya, karena jembatan yang dibuat Arjuna telah bisa dipatahkan oleh Hanoman, tetapi Hanoman menolak dengan mengatakan manusia tidak boleh menyembah binatang, karena dia masih berupa monyet. Arjuna berkeras untuk menyembah, dengan mengatakan “Saya adalah ksatria Pandawa, saya tidak boleh ingkar pada kata-kata saya”. Perdebatan ini akhirnya diketengahi oleh Sri Kresna dengan manasehatkan Arjuna bahwa jangan merasa diri sakti, karena tidak ada makhluk di dunia ini yang sakti, hanya Hyang Widhilah yang maha sakti, dan hanya Beliaulah yang patut disembah. Namun agar hutang sembah Arjuna bisa dilunasi, maka dikutuklah jembatan yang dibuat Arjuna itu menjadi umbul-umbul, dengan pesan agar manusia jangan takabur seperti Arjuna. Maka di manapun ada Parhyangan atau Pelinggih Dewa, maka dimukanya dipancangkan umbul-umbul dan kober (bendera) bergambar wanara. Dengan demikian, orang akan selalu ingat dengan peristiwa Arjuna dengan Hanoman, dan dengan menyembah di hadapan Parhyangan maka umbul-umbul dan bendera Hanomanpun ikut tersembah sebagai penebus janji bagi Arjuna. Untuk meyakinkan peristiwa itu, maka umbul-umbul itu dihiasai dengan gambar naga (panah naga dari Arjuna) dan gambar wanara yaitu gambar Hanoman. Pesan yang hendak disampaikan dalam mythologi ini adalah sebagai manusia hendaklah tidak hidup dalam kesombongan karena akan membawa dampak negatif dalam diri sendiri dan orang lain. http://www.parisada.org/index.php?option=com_content&task=view&id=1437&Itemid=120

Geen opmerkings nie:

Plaas 'n opmerking