Sondag 29 Desember 2013

UTS Siva Siddhanta (Smtr IV)



Nama          : Ni Luh Putu Sri Musiartini Setiawati
Nim            : 10.1.1.1.1.3883
Jurusan       : Pendidikan Agama
Prodi/smt    : PAH B/ IV
Mk              : Siva Siddhanta  I

UTS SIVA SIDDHANTA
 Soal!

1.       Jelaskan tokoh-tokoh penyebar Siva Sidhanta dari India sampai ke Bali?
2.       Jelaskan kenapa kritalisasi semua sekte di Bali dengan mengatasnamakan
          Siwa sidantha?
3.       Jelaskan konsep kristalisasi yang di buat oleh mpu Kuturan!
4.       Jelaskan konsep penyatuan Siva Sidhanta atau sekte-sekte dalam Merajan
          anda sendiri!
5.       Bagaimana anda menyikapi terhadap fenomena menyontek dalam ujian,
          korupsi, teroris dalam Siva Sidantha?

Jawab!

1.       Tokoh-tokoh penyebar Siva Siddhanta di India ialah Maha Rsi Agastya di
          daerah Madyapradesh (India tengah) kemudian menyebar ke Indonesia. Di Indonesia seorang Maha Rsi pengembang sekte ini yang berasal dari pasraman Agastya Madyapradesh yang di kenal dengan berbagai nama. Disini bukan hanya satu orang Rsi saja yang menyebarkan atau memperkenalkan sekte Siva Siddhanta, namun banyak tetapi mengatas namakan Rsi Agastya. Jadi pada penyebaranya, sekte Siva Siddhanta di sebar atau diperkenalkan oleh anggota-anggota kelompok dari Rsi Agastya. Sedangkan tokoh-tokoh penyebar Siva Siddhanta di Bali ialah dua tokoh terkemuka yaitu Mpu Kuturan dan Mpu/Danghyang Nirartha, kedua tokoh ini lebih memantapkan  paham Siva Siddhanta yang ada di Bali. Pengawi dan ahli Weda I Gusti Bagus Sugriwa dalam bukunya: Dwijendra Tattwa, Upada Sastra, 1991 menyiratkan bahwa di Bali wahyu Hyang Widhi diterima setidak-tidaknya oleh enam  Maha Rsi. Wahyu-wahyu itu memantapkan pemahaman Siva Siddhanta meliputi tiga kerangka Agama Hindu yaitu Tattwa, Susila, dan Upacara. Wahyu-wahyu itu berupa pemikiran-pemikiran cemerlang dan wangsit yang diterima oleh orang-orang suci di Bali sekitar abad ke delapan sampai ke-empat belas yaitu :
          a.       Danghyang Markandeya
Pada abad ke-8 beliau mendapat wahyu di Gunung Di Hyang (Dieng, Jawa Timur), bahwa bangunan pelinggih di Tolangkir (Besakih) harus ditanami panca datu yang terdiri dari unsur-unsur emas, perak, tembaga, besi, dan permata mirah. Setelah menetap di Taro, Tegal Lalang-Gianyar, beliau memantapkan ajaran Siva Siddhanta kepada para pengikutnya dalam bentuk ritual : Surya Sewana, Bebali, (banten) dan Pecaruan. Karena semua ritual menggunakan banten atau bebali maka ketika itu agama ini dinamakan Agama Bali.
          b.       Mpu Sangkulputih
Setelah Danghyang Markandeya moksa, Mpu Sangkulputih meneruskan dan melengkapi ritual Bebali antara lain dengan membuat variasi dan dekorasi yang menarik untuk berbagai jenis banten dengan menambahkan unsur-unsur tetumbuhanlainnya seperti: daun sirih, daun pisang, daun janur, buah-buahan; pisang, kelapa dan biji-bijian: beras, injin, kacang komak. Bentuk banten yang diciptakan antara lain canang sari, canang tubugan, canang raka, daksina, peras, penyeneng, tehenan, segehan, lis, nasi panca warna, prayascita, durmenggala, pungu-pungu, beakala, ulap ngambe, dll. Di samping itu beliau juga mendidik para pengikutnya menjadi sulinggih dengan gelar Dukuh, Prawayah, dan Kayaban. Beliau juga pelopor pembuatan acra/pralingga dan patung-patung Dewa yang dibuat dari bahan batu, kayu, atau logam sebagai alat konsentrasi dalam pemujaan Hyang Widhi. Beliau juga mengenalkan tata cara pelaksanaan peringatan hari Piodalan di pura Besakih dan pura-pura lainnya, serta ritual-ritual hari raya seperti hari raya Galungan, Kuningan, dll.
         
          c.       Mpu Kuturan
Mpu Kuturan merupakan pencetus untuk mengembangkan konsep Trimurti dalam wujud simbol palinggih  Kemulan Rong Tiga di tiap perumahan, Pura Kahyanngan tiga di tiap Desa Adat, dan Pembangunan Pura-pura Kiduling Kreteg (Brahma), Batumadeg (Wisnu), dan Gelap (Siwa), serta Padma Tiga, di Besakih. Paham Trimurti adalah pemujaan manifestasi Hyang Widhi dalam posisi horizontal (pangider-ider). Beliau datang pada abad ke-11 dari majapahit sebagai seorang Brahmana Buddha yang mempunyai pemikiran cemerlang untuk menyatukan seluruh sekte yang ada di Bali.
          d.      Mpu Manik Angkeran
Setelah Mpu Sangkulputih moksa, tugas-tugas beliau digantikan oleh Mpu Manik Angkeran. Beliau adalah Brahmana dari Majapahit putra Danghyang Siddimantra. Dengan maksud agar putranya ini tidak kembali ke Jawa dan untuk melindungi Bali dari pengaruh luar, maka tanah genting yang menghubungkan Jawa dan Bali diputus dengan memakai kekuatan bathin Danghyang Siddimantra. Tanah genting yang putus itu disebut Segara Rupek.
          e.       Mpu Jiwaya
Beliau menyebarkan Agama Budha Mahayana aliran Tantri terutama pada kaum bangsawan di zaman Dinasti Warmadewa (abad ke-9). Sisa-sisa ajaran itu kini dijumpai dalam bentuk kepercayaan kekuatan mistik yang berkaitan dengan keangkeran (tenget) dan pemasupati untuk kesaktian senjata-senjata alat perang, topeng, barong, dll.
          f.       Danghyang Dwijendra
          Danghyang Dwijendra datang ke Bali pada abad ke-14 dari desa Keling di Jawa, beliau adalah keturunan Brahmana Buddha tetapi beralih menjadi Brahmana Siwa, ketika Kerajaan bali Dwipa dipimpin oleh Dalem Waturenggong. Beliau mendapat wahyu di Purancak, Jembrana bahwa di Bali perlu dikembangkan paham Tripurusa yakni pemujaan Hyang Widhi dalam manifestasi-Nya sebagai Siwa. Sadha Siwa, dan Parama Siwa. Bentuk bangunan pemujaan adalah Padmasari atau Padmasana.

2.       Kritalisasi semua sekte di Bali mengatasnamakan Siva Siddhanta, hal ini dikarenakan aliran Siva Siddhanta merupakan aliran yang menjadi wadah bagi sekte-sekte yang lain untuk mengkristalisasikan seluruh sekte-sekte yang ada di Bali. Sebenarnya Siva Siddhanta merupakan salah satu bagian dari sekte Siva yang paling besar pengikutnya diantara sekte-sekte yang lain. Dari ke sembilan sekte yang ada di Bali masing-masing mempunyai dan memuja Dewa-Dewa tertentu sebagai istadewatanya atau sebagai Dewa Utamanya dengan Nyasa (simbol) tertentu serta berkenyakinan bahwa istadewatalah yang paling utama sedangkan yang lainnya dianggap lebih rendah. Perbedaan-perbedaan itu akhirnya menimbulakan pertentangan dan sengketa, agar hal ini tidak berkelanjutan maka seluruh sekte tersebut di kristalisasikan menjadi Siva Siddhanta setelah melalui proses kesepakatan dari berbagai sekte yang ada. Inilah menjadi bukti bahwa Siva Siddhanta menjadi wadah yang mencangkup seluruh sekte yang ada di Bali.  

3.       Konsep kristalisasi yang di buat oleh Mpu Kuturan ialah pada awalnya konsep kristalisasi ini ada karena terjadinya keegoisan dalam setiap sekte yang ada, dimana dari ke sembilan sekte yang ada di Bali masing-masing mempunyai dan memuja Dewa-Dewa tertentu sebagai istadewatanya atau sebagai Dewa Utamanya dengan Nyasa (simbol) tertentu serta berkenyakinan bahwa istadewatalah yang paling utama sedangkan yang lainnya dianggap lebih rendah. Perbedaan-perbedaan itu akhirnya menimbulakan pertentangan dan sengketa. Karena hal inilah Mpu Kuturan membuat konsep kristalisasi untuk menyatukan seluruh umat Hindu agar tidak terjadi pertentangan dan sengketa. Pada abad ke-11 datanglah Mpu Kuturan dari majapahit yang berperan sangat besar pada kemajuan Agama Hindu di Bali. Pada saat itu beliau mampu menyatukan berbagaimacam aliran atau sekte yang berkembang di Bali. Atas wahyu Hyang widhi beliau mempunyai pemikiran yang cemerlang mengajak umat Hindu di Bali mengembangkan konsep Trimurti dalam wujud simbol palinggih  Kemulan Rong Tiga di tiap perumahan, Pura Kahyanngan tiga di tiap Desa Adat, dan Pembangunan Pura-pura Kiduling Kreteg (Brahma), Batumadeg (Wisnu), dan Gelap (Siwa), serta Padma Tiga, di Besakih. Paham Trimurti adalah pemujaan manifestasi Hyang Widhi dalam posisi horizontal (pangider-ider).

4.       Konsep penyatuan Siva Sidhanta atau sekte – sekte dalam merajan saya ialah, dalam merajan terdapat pelinggih sebagai berikut :
          a.       Sanggah Kamulan.
Dalam Sanggah Kamulan terdapat penyatuan Siva Siddhanta dari sekte Siva jika dilihat dari Dasar Hukum Pendirian Sanggah Kamulan. Dalam lontar Sivagama kita jumpai suatu uraian tentang pendirian Hyang Kamulan. Kutipannya sebagai berikut;
                     “……bhagawan manohari, Sivapaksa sira, kinwa kinon de Sri Gondarapati, umaryanang sadhayangan, manista madya motama, mamarirta swadarmaning wong kabeh. Lyan swadadyaning wang saduluking wang kawan dasa kinon magawe pangtikrama. Wwang setengah bhaga rwang puluhing saduluk, sanggarpratiwi wangunen ika mwang kamulan panunggalanya sowing……”

             Arti kutipan tersebut ;
 “….. Bhagawan Manohari pengikut Siva, beliau disuruh oleh Sri Gondarapati, untuk membangun Sad Khayangan Kecil, sedang maupun besar. Yang merupakan beban kewajiban orang semua. Lain kewajiban sekelompok orang untuk empat pulih keluarga harus membangun panti. Adapun setengah bagian dari itu yakni 20 keluarga, harus membangun ibu. Kecilnya 10 keluarga pratiwi harus dibangun, dan kamulan satu-satunya tempat pemujaan (yang harus dibangun) pada masing-masing pekarangan…..”

Dengan kutipan di atas jelaslah bagi kita, bahwa setiap keluarga yang menempati karang perumahan tersendiri wajib membangun Sanggah Kamulan. Jadi lontar Sivagama inilah yang merupakan dasar hukum bagi pendirian Sanggah Kamulan itu. Lontar Sivagama adalah merupakan Pustaka suci bagian Smrti dari Sekte Siva. Oleh karena itu ajaran Siva seperti yang tercantum pada lontar Sivagama itu wajib diikuti oleh pengikutnya. Secara etimologi kata, Sanggah Kamula terdiri dari dua buah kata yaitu Sanggah dan Kamulan. Sanggah adalah perubahan ucapan dari pada “sanggar”, arti sanggar menurut pengertian lontar keagamaan di Bali adalah tempat memuja. Misalnya dalam lontar Sivagama disebutkan “nista sapuluhing saduluk sanggar pratiwi wangun” (Rontal Sivagama, lembar 328). Kamulan berasal dari kata “mula” (samkrit), yang berarti; akar, umbi, dasar, permulaan, asal. Awalan ka-, dan akhiran –an menunjukkan tempat pemujaan asal atau sumber. Sanggah Kamulan adalah tempat pemujaan asal atau sumber. Dengan pengertian ini sebenarnya kita sudah dapat menarik atau menyimpulkan bahwa yang dipuja pada Sanggah Kamulan itu tidak lain yang merupakan sumber atau asal dari mana manusia itu ada. 
          b.       Pelinggih Tugu.
          Pelinggih Tugu/Penunggun Karang/Mengkubumi yaitu tempat umat menghubungkan dan mendekatkan diri kehadapan Sang Hyang Mengkubumi. Disimak dari arti katanya dapat diartikan bahwa umat diharapkan agar menghormati yang menjadi penunggu atau yang bertanggungjawab dari tempat dari suatu wilayah. Dengan menghormatinya, berarti umat diharapkan sadar dengan batas-batas dirinya di dalam mnjalankan kehidupan sehari-hari. Pelinggih Tugu biasanya didirikan di halaman rumah yang menjadi hak milik dari pada umat yang mendirikannya. Dalam pelinggih Tugu ini tidak ada kristalisasi dari Siva Siddhanta karena dalam seluruh sekte yang menyatu dengan Siva Siddhanta tidak ada yang memuja Sang Hyang Mengkubumi. Namun jika dilihat dari cara upacara yang pada umumnya memakai banten/sesajen maka pelinggih tugu masuk dalam kristalisasi Siva Siddhanta karena seluruh sekte yang menyatu dengan Siva Sddhanta menggunakan banten/sesajen dalam pemujaannya.
          c.       Kawitan.
Kawitan itu berasal dari kata wit yang artinya asal mula. Dari difinisi tersebut dapat dipahami bahwa kawitan merupakan asal usul dari kelompok keluarga itu sendiri. Kawitan keluarga saya ada di Kabupaten Klungkung gel-gel Pura Dalem Agung Dukuh Nyuh Aya. Namun dalam hal ini saya kurang bisa menjelaskan apakah kawitan saya ada hubungannya dengan kristalisasi Siva Siddhanta, karena tidak ada  sumber yang jelas mengatakan hal itu. Namun jikan dilihat dari asal Kawitan pada umumnya, bahwa kita seluruh umat hindu di Bali merupakan keturunan dari Majapahit (terkecuali Bali Aga), kita ketahui bahwa kerajaan Majapahit sebagaian besar manganut paham Siva, yang cendrung untuk memuja Dewa Siva. Dalam Kristalisasi seluruh sekte, seluruh sekte tersebut luluh pada Siva Siddhanta yang pemujaanya cendrung fokus kepada Dewa Siva, ini bisa menandakan bahwa Sanggah Kawitan masih berhubungan dengan Siva Siddhanta. Namun jika dilihat dari cara upacara yang pada umumnya memakai banten/sesajen maka sanggah Kawitan masuk dalam kristalisasi Siva Siddhanta karena seluruh sekte yang menyatu dengan Siva Sddhanta menggunakan banten/sesajen dalam pemujaannya.
          d.      Sanggah Surya.
Di dalam Masyarakat Sanggah Surya juga disebut dengan Sanggah Agung. Sanggah ini digunakan pada setiap upacara keagamaan yang merupakan stana pemujan kepada Sang Hyang Siwa Raditya.
Sanggah mengandung arti sumber, sedangkan Agung merupakan kewibawaan atau kharisma Sang Hyang Siwa Raditya atau Sang Hyang Surya yang menjadi saksi dari pelaksanaan upacara Umat Hindu. Sanggah Surya merupakan kristalisasi Siva Siddhanta dari sekte Sora.
Kita ketahui sekte Sora yang sistem pemujaan kepada Dewa Matahari yang disebut Suryasewana dilakukan pada waktu matahari akan terbit dan matahari akan terbenam. Setiap upacara agama di Bali selalu dilakukan pemujaan terhadap Dewa Surya sebagai Dewa yang memberikan persaksian bahwa seseorang telah melakukan yadnya. Dari hal ini telah terlihat jelas bahwa sekte sora sangat erat kaitannya dengan Panca Yadnya. Dimana setiap suatu pelaksanaan dari setiap upacara yadnya selalu memberikan pemujaan kepada Dewa Surya sebagai saksi atas pelaksanaan setiap upacara yadnya. Disinilah menjadi bukti bahwa Sangah Surya merupakan hasil dari kristalisasi Siva Siddhanta khususnya dari sekte Sora.
          e.       Taksu Agung.
Secara umum Taksu terdapat di setiap merajan. Taksu merupakan palinggih Dewi Saraswati, sakti (kekuatan) Dewa Brahma dengan Bhiseka Hyang Taksu yang memberikan daya majik agar semua pekerjaan berhasil baik. Namun dalam merajan saya terdapat juga Taksu Agung. Pelinggih Taksu Agung adalah tempat untuk menghubungkan dan mendekatkan diri kehadapan Sang Hyang Taksu Agung. Kalau dilihat dari katanya Taksu Agung artinya suatu sikap yang tulus ikhlas dan bertanggung jawab yang dimuliakan , maka dapat disimpulkan bahwa Taksu Agung merupakan lambang kekuatan Hukum Karma Phala, yang merupakan pedoman pada setiap langkah yang harus dialami oleh umat. Di mana
suatau perbuatan pasti akan ada hasil yang ditimbulkannya. Pelingih ini terdiri dari 1 rong , lubang atau ruangan. Dalam Pelinggih Taksu Agung tidak ada kristalisasi dari Siva Sidhanta karena seluruh sekte yang menyatu dengan Siva Siddhanta tidak ada yang fokus memuja Dewi Saraswati ataupun Sang Hyang Taksu Agung.
          f.       Gedong.
                   Gedong dalam merajan saya merupakan palinggih Bhatara Raja Dewata dengan Bhiseka Dewa Hyang atau Hyang Kompiang, yaitu stana para leluhur di bawah Bethara Kawitan yang sudah suci. Fungsi dari gedong hampir mirip dengan Pelinggih Kawitan. Sama halnya dengan Pelinggih Kawitan, bahwa pelinggih Gedong pun tidak ada kaitannya dengan kristalisasi dari Siva Siddhanta.
          g.       Rambut Sedana.
Rambut Sedana merupakan pelinggih untuk memuja Dewi Sri dengan Bhiseka Sri Sdana atau Limascatu, yaitu sakti (kekuatan) dari Dewa Wisnu sebagai pemberi kemakmuran kepada manusia. Peliinggih ini merupakan kristalisasi Siva Siddhanta dari Sekte Waisnawa. Dalam konsepsi agama Hindu di Bali tentang pemujaan Dewi Sri. Dewi Sri dipandang sebagai pemberi rejeki, pemberi kebahagiaan dan kemakmuran. Di kalangan petani di Bali Dewi Sri dipandang sebagai Dewanya padi yang merupakan keperluan hidup yang utama.
          h.       Persimpangan Luhur Batu Karu.
Dalam merajan saya terdapat pelinggih khusus yaitu Pelinggih Persimpangan Luhur Batu Karu, pelinggih ini ada karena rumah saya  di Desa Penebel Kelod, Kec Penebel, Tabanaan dekat dengan Pura Luhur Batu Karu, maka dibuatlah pelinggih Persimpangan Luhur Batu Karu, alasan dibuat pelinggih ini jika pada saat ada odalan di Pura Luhur Batu Karu namun keluarga tidak bisa nangkil maka bisa ngayat sesuunan Luhur Batu Karu dari Persimpangan Luhur Batu Karu ini. Pelinggih ini tidak ada hubungannya dengan kristalisasi Siva Siddhanta.
          i.        Menjangan saluang.
Pelinggih ini merupakan pelinggih untuk memuja Dewa Rsi Mpu Kuturan dengan Bhiseka Limaspahit, mengingat jasa-jasa beliau yang mengajegkan Hindu di Bali, penyebar dan penyempurna Agama Hindu di Bali, abad ke-10 sampai abad ke-11 M. Pelinggih ini bisa dikatakan sebagai salah satu kondep dari kristalisasi Siva Siddhanta. Kita lihat bagaimana sejarah Mpu Kuturan berusaha untuk menyatukan seluruh sekte, yang pada awalnya semua sekte yang ada di Bali masing-masing mempunyai dan memuja Dewa-Dewa tertentu sebagai istadewatanya atau sebagai Dewa Utamanya dengan Nyasa (simbol) tertentu serta berkenyakinan bahwa istadewatalah yang paling utama sedangkan yang lainnya dianggap lebih rendah. Perbedaan-perbedaan itu akhirnya menimbulakan pertentangan dan sengketa. Untuk mengantisipasi hal ini makan Mpu kuturan membuat konsep kristalisasi Siva Siddhanta yang ada di Bali dengan memperkenalkan konsep Trimurti dalam wujud simbol palinggih Kemulan Rong Tiga di tiap perumahan. Jika dilihat dari hal ini maka pelinggih Manjangan Saluang sangat besar kaitannya dengan kristalisasi Siva Siddhanta yang semua konsep penyatuan yang ada di Bali berawal dari Mpu Kuturan.
          j.        Piasan.
                   Pelinggih Piasan melambangkan :
                   -    Suatu tempat yang dipergunakan untuk melakukan pertemuan untuk membahas suatu masalah dengan musyawarah mufakat.
                   -    Tempat untuk menghias ( membuat keindahan hidup ).
                   -    Tempat untuk mengucapkan Mantra/mepios ( menyampaikan pendapat ).
Dapat disimpulkan makna dari simbul piasan yaitu suatu cara yang baik dan indah untuk menyampaikan pendapat sehingga mendapatkan musyawarah dan mufakat yang sangat dibutuhkan dalam usaha menyelesaikan masalah di dalam diri sendiri, keluarga, dan bahkan masyarakat pada umumnya, sehingga hidup menjadi lebih bermakana,indah, dan bahagia. Pelinggih ini tidak ada hubungannya dengan kristalisasi Siva Siddhanta.
          k.       Pelinggi Lebuh.
Pelinggih Lebuh merupakan pelinggih yang berfungsi untuk pemujaan Betara Sami artinya seluruh betara (baik Batara Siva, Wisnu, Brahma dll) yang ada dalam merajan tersebut pada saat datang dan pergi haruslan melapor terlebih dahulu ke Pelinggih Lebuh ini, ini bisa di ibaratkan sebagai satpam dalam merajan dan pekarangan rumah karena pelinggih ini mencangkup seluruh Batara yang berstana di merajan dan juga sebagai pelindung wilayah rumah. Pelinggih lebuh mempunyai hubungan dengan konsep kristalisasi Siva Siddhanta dari seluruh sekte yang ada, kenapa demikian karena Pelinggih Lebuh mencangkup seluruh Betara-Betari baik itu Dewa Siwa, Wisnu, Brahma dll. Seperti kita ketahui bahwa Dewa Siwa merupakan dewa yang dipuja dalam sekte Siva, begitupun Dewa Wisnu yang dipuja dalam sekte Waisnawa, begitupun Dewa Surya yang dipuja dalam sekte Sora.
5.       Pendapat saya terhadap fenomena menyontek dalam ujian, korupsi, teroris dalam Siva Sidantha ialah semua hal ini merupakan bagian dari Rwa Bhineda Tattwa, yakni terdiri dari Cetana dan Acetana. Kedua unsur atau element yang disebut Cetana dan Acetana ini sifatnya seba gaib (suksma yang menjadi asal mula dari segala sesuatu. Oleh karena itu keduanya tidak dapat terpisahkan. Cetana adalah unsur kesadaran, kejiwaan atau spiritualitas yang mutlak tetap ingat, tidak pernah lupa, tiada berawal dan tiada berakhir, kekal abadi serta menjadi sumber atau benih kesadaran atau kejiwaan yang tertinggi dari alam semesta dan segala makhluk. Sedangkan Acetana adalah unsur yang tanpa kesadaran atau tampa jiwa, tetap bersifat lupa dan tiada pernah ingat, serta menjadi benih atau sumber asal mula material dair pada alam semesta dengan segala isinya dan sebala mahkluk. Jika kita kaitkan fenomena  hal tersebut kedalam konsep ini, bahwa sesungguhnya mahkluk hidup khususnya manusia yang memiliki sabda, bayu, idep tidak terlepas dari kesadaran akan jiwanya maupun lupa akan jiwanya (Cetana dan Acetana). Fenomena menyontek dalam ujian, korupsi, teroris yang di lakukan manusia tidak lepas dari ketidak sadarannya akan hal negatif tersebut yang bisa merugika diri sendiri maupun orang lain. Karena masih terpengaruh oleh awidya maka manusia tidak lepas dari Rwa Bhineda Tattwa, yakni terdiri dari Cetana dan Acetana. Tetapi sekarang kita kembali lagi kepada jiwa atau kesadaran seseorang  dalam melakukan sesuatu perbuatan yang baik maupun buruk.
                  
         





Geen opmerkings nie:

Plaas 'n opmerking