Vrydag 20 Desember 2013

Siva Siddhanta-Individu (IV B)



Nama     : Ni Luh Putu Sri Musiartini Setiawati
Nim       : 10.1.1.1.1.3883.
Kelas     : PAH IV B
Mk         : Siva Siddhanta-Tugas Individu     

PEMBAHASAN

1.1 Cobalah divinisikan tentang atribut-atribut dari dewa Siva.
       Śiva adalah salah satu dari tiga dewa utama (Trimurti) dalam agama Hindu. Kedua dewa lainnya adalah Brahma dan Wisnu. Dalam ajaran agama Hindu, Dewa Śiva adalah dewa pelebur, bertugas melebur segala sesuatu yang sudah usang dan tidak layak berada di dunia fana lagi sehingga harus dikembalikan kepada asalnya.
       Dewa Śiva melambangkan aspek dari kenyataan yang Mutlak (Brahma dalam Upanisad) yang secara terus menerus menciptakan kembali, dalam siklus proses penciptaan, pemeliharaan dan peleburan dan penciptaan kembali. Ia menghilangkan kejahatan, menganugerahkan anugrah, memberikan berkah, menghancurkan ketidak perdulian, dan membangkitkan kebijaksanaan pada pemujaannya. Karena tugas dari dewa Śiva sangat banyak. Ia tidak dapat dilambangkan atau digambarkan dalam satu bentuk. Maka dari itu, akan dibahas filosofis nama Śiva serta atribut-atribut dari dewa Śiva.

shiva_tm
       Dalam Śiva Siddhanta, Kata Śiva berarti yang memberikan keberuntungan (kerahayuan), yang baik hati, ramah, suka memaafkan, menyenangkan, memberi banyak harapan, yang tenang, membahagiakan dan sejenisnya (Monier, 1990:1074). Sang Hyang Śiva di dalam menggerakkan hukum kemehakuasaan-Nya didukung oleh śakti-Nya Durgā atau Pārvatῑ (Gunawan, 2012:56). Śiva memiliki lima tahapan (pancanasa) atau kadang-kadang yang tampak hanya satu, namun selalu memiliki tiga mata yang dikatakan melambangkan ketiga phase waktu yaitu dulu, sekarang, dan masa yang akan datang.
       Selain itu tiga mata yang dimiliki Dewa Śiva disebut juga Trinetra yaitu Phalanetra, Agnilocana, Trilocana dan lain-lain, karena fakta-fakta tersebut di atas Śiva disebut yang dapat menghancurkan segala sesuatu yang berkaitan dengan Agni (Gunawan, 2012 : 60). Sumber lain menyatakan Dewa Śiva memiliki tiga mata. Dua matanya pada bagian kiri  dan kanan melambangkan pengetahuan (jnana), dan ini disebut dengan mata kebijaksanaan atau pengetahuan. Kekuatan pandangan mata ketiga Śiva menghancurkan kejahatan, dan ini adalah alasan mangapa orang berbuat kejahatan sangat takut dengan mata ketigaNya (Pandit, 2006:207).
       Kepala Dewa Śiva dihiasi oleh bulan sabit dan bukan menjadi bagian dari tubuhNya. Pembahasan dan pengecilan bulan melambangkan siklus waktu dimana penciptaan ada didalamnya dari awal sampai akhir dan kembali ke awal lagi. Bulan juga melambangkan sifat hati seperti cinta, kebaikan, dan kasih. Bulan sabit yang dekat dengan kepala dewa memiliki makna bahwa seorang pemuja harus menggambarkan sifat-sifat ini agar dapat lebih dekat dengan dewa (Pandit, 2006:208).
       Bulan sabit melambangkan ukuran waktu bulan sesuai dengan phase bulan. Ardhacandra (bulan sabit) bertengger pada kepalanya, oleh karena itu disebut juga Gangadhara dan Candracuda (Gunawan, 2012:60). Dalam Bab VI skanda VI Srimad Bhagavatam disebutkan bahwa Prajapati Daksa menikahkan dua puluh jujuh putrinya dengan Dewa Chandra, penguasa Bulan, kemudian Daksa mengutuk Chandra dengan penyakit parah sehingga membuat Chandra tidak mampu memperoleh anak-anak dari semua istrinya.
       Chandra, mempunyai dua puluh tujuh istri , dari semua istrinya ini, Rohini yang paling cantik dan bergairah sangat disayangi oleh Dewa Chandra. Karena cintanya kepada Rohini, Dewa Chandra melalaikan kewajibannya kepada istri-istrinya yang lain, kemudian para istri-istri Dewa Chandra yang lain tersebut yang juga putri-putri Daksa, mengeluh kepada sang ayah. Karena merasa ditelantarkan putri-putrinya, Daksa menjadi murka, dan mengutuk Chandra. Karena dikutuk, Dewa Chandra menderita penyakit paru-paru. Dari hari ke hari kekuatan dan cahaya Dewa Chandra berkurang. Akhirnya Dewa Chandra minta perlindungan kepada Dewa Śiva. Dewa Śiva yang penuh kasih melegakan hati Chandra yang menderita sakit paru-paru dan menaruh Bulan di kepala Nya. Dengan menumpang di kepala Dewa Śiva, Chandra/Bulan menjadi kekal dan bebas dari segala bahaya (Brahma-Vaivarta Purana Brahma-khanda 9.49-53).

Tam sivah sekhare krtva cabhavac chandrasekharah,
Nasti devesu lakesu sivac caharana-pancarah

Kemudian Dewa Śiva dikenal dengan nama Chandrasekhara, sebab beliau menaruh Bulan di kepalanya. Oh para Dewa, tidak ada seorangpun yang lebih berkasih sayang selain Dewa Śiva.
(sloka 59)
       Sedangkan ular yang melilit di leher melambangkan perputaran waktu yang tiada habisnya dan kekuatan penghancur Śiva. Kalung tengkorak yang melingkar itu melambangkan peleburan segala sesuatu yang tiada habisnya dan regenerasi yang tidak pernah berhenti pada manusia. Rambut Śiva diikat kemudian dililitkan di puncak kepalanya yang berwarna merah sehingga Siva dikenal dengan nama Kapardi (Gunawan, 2012:60), hingga membentuk sebuah tanduk. Di atas rambut, Śiva membawa sebuah personifikasi sungai Gangga yang alirannya diterima dari kaki Visnu di surga. Hingga muncullah sebutan Ganggadhara, karena Śiva membawa sungai Gangga.
       Śiva memiliki leher berwarna biru, karena terpaksa meminum racun berbahaya yang keluar dari proses pengadukan lautan susu untuk mendapatkan amerta, untuk menyelamatkan dunia dari efek buruk racun itu. Śiva mengendarai lembu putih bernama Nandini. Warna putih menunjukkan kekuasaan untuk mengawasi proses peleburan kembali (Gunawan, 2012:60). Śiva mengendarai sapi menandakan bahwa Śiva menghilangkan ketidakperdulian dan menganugrahkan kekuatan kebijaksanaan pada pemujanya.
       Sapi dalam bahasa Sanskrtanya Vṛṣa. Dalam bahasa Sanskrta, Vṛṣa juga berarti Dharma (kebenaran). Sehingga sapi disamping  Śiva melambangkan persahabatan  abadi dengan kebenaran. Nandini juga melambangkan kesadaran seseorang (sṛṣṭa puruṣa) atau manusia yang sempurna, yang terserap secara permanen dalam pandangan Kenyataan.
       Ketika seorang pemuja mengunjungi kuil, mereka mengaturkan penghormatan pada Nandi dahulu, sapi di depan sang dewa. Pemuja meletakkan jari tengah dan ibu jari di  tangan kanannya pada dua tanduknya, yang membentuk lingkaran penuh. Hal yang ssederhana ini memiliki arti filsafat yang sangat dalam. Jari tengah meggambarkan ego (jῑva) dan ibu jari melambangkan Kenyataan. Karena ego manusia duniawi biasanya jauh dari Kenyataan (yang dilambangkan dengan arah yang berlawanan dimana ibu jari dan jari tengah yang menunjukkan arah yang berlawanan), seorang individu itu tidak mengalami visi dari kenyataan (contoh visi dari dewa Śiva) dimana Tuhan berada di dalamnya.
       Dengan meletakkan jari dan jari tengah pada dua tanduk sapi, pemuja membuat kontak antara ego dan kenyataan yang menyebabkan kehancuran ego. Ketika ego dilebur, Kenyataan muncul, ibu jari dan tanduk sapi, yang melambangkan kebijaksanaan (viveka) dan pengasingan diri (vairāgya) (Pandit, 2006:209).
       Śiva duduk di atas kulit harimau yang melambangakan ia adalah sumber dari kekuatan yang pasti yang ia kendalikan sesuai dengan keinginanNya. Śiva memegang Triśula di tangan belakang. Dalam gambar lain sebuah Triśula diperlihatkan berdiri tegak disampingnya. Sebuah Triśula memiliki tiga ujung, yang menandakan tiga sifat alam : sattva (keaktifan), rajas (kegiatan), dan tamas (ketidakaktifan). Triśula melambangkan bahwa dewa jauh jangkauan ketiga sifat alam ini. Triśula juga melambangkan senjata yang digunakan Dewa untuk menghancurkan kejahatan dan ketidakperdulian di dunia (Pandit, 2006:208). Selain itu Triśula bermata tiga juga melambangkan Śiva memiliki tiga aspek yaitu pencipta, pemelihara dan sekaligus pelebur.
       Sebuah damaru (kendang kecil) yang menghasilkan suara yang bergetar. Seperti yang disebutkan dalam kitab Hindu suara yang bergetar dari suku kata Oṁ yang suci dipercaya sebagai sumber dari penciptaan. Sebuah damaru pada salah satu tangan mengandung makna bahwa ia menyangga seluruh ciptaan di tangannya, mengatur sesuai dengan keinginanya.
       Śiva digambarkan memiliki 2, 2, 8 dan 10 tangan. Di samping memegang Pināka, juga membawa tongkat yang dinamakan Khatvāṅga, busur bernama Ajagava, seekor menjangan, tasbih, tengkorak, damaru (gendang kecil) dan benda-benda lainnya (Gunawan, 2012:60).


1.2  Kristalisasi sekte-sekte yang ada diBali menjadi Siva Siddhanta dalam bentuk Panca Yadnya. Buktikan kebenarannya (Kaji dahulu sekte yang ada diBali kemudian kaitkan dengan Panca yadnya).

1.2.1. Sekte Waisnawa.
       Sekte Waisnawa adalah sekte yang lebih mengutamakan pemujaannya kepada dewa Wisnu. Dewa Wisnu digambarkan sebagai dewa yang memiliki tugas sebagai pemelihara dan pelindung ketertiban dunia. Untuk pemelihara dan pelindung ketertiban dunia, Dewa Wisnu menjelma sebagai awatara. Ada sepuluh awatara Dewa Wisnu yaitu:
1.    Matsya, Wisnu sebagai ikan.
2.    Kurma, Wisnu sebagai kura-kura.
3.    Wamana, Wisnu sebagai orang cebol.
4.    Parasurama, Wisnu sebagai Parasurama.
5.    Rama, Wisnu sebagai Rama.
6.    Krisna, Wisnu sebagai Krisna.
7.    Budha, Wisnu sebagai Budha
8.    Warana, Wisnu sebagai babi hitam.
9.    Narasima, Wisnu sebagai manusia singa.
10.  Kalki, Wisnu sebagai manusia menunggang kuda putih dengan membawa pedang
       terhunus (Soekmono, 1973:29-30).
       Selain itu adanya sekte Waisnawa di Bali dengan jelas diberikan petunjuk dalam konsepsi agama Hindu di Bali tentang pemujaan Dewi Sri. Dewi Sri dipandang sebagai pemberi rejeki, pemberi kebahagiaan dan kemakmuran. Di kalangan petani di Bali Dewi Sri dipandang sebagai Dewanya padi yang merupakan keperluan hidup yang utama (Gunawan, 2012:49).

1.2.2 Sekte Siwa.
       Sekte Siwa memiliki cabang yang banyak. Antara lain Pasupata, Kalamukha, Bhairawa, Linggayat dan Siwa Sidhanta yang paling besar pengikutnya. Kata Sidhanta berarti inti atau kesimpulan. Jadi Siwa Sidhanta berarti kesimpulan atau inti dari ajaran Siwaisme. Siwa Sidhanta ini mengutamakan pemujaan kehadapan Tri Purusha yaitu Parama Siwa, Sada Siwa dan Siwa. Brahma, Wisnu dan dewa-dewa lainnya tetap dipuja sesuai dengan tempat dan fungsinya karena semua dewa-dewa itu tidak lain dari manifestasi Siwa sesuai dengan fungsinya yang berbeda-beda. Siwa Sidhanta ini mula-mula berkembang di India Tengah (Madyapradesh) yang kemudian disebarkan ke India selatan dipimpin oleh Maharesi Agastya (Gunawan, 2012:48).
       Penganut Hindu dari sekte Siwa Siddhanta meyakini Tuhan adalah Siwa. Salah satu bentuk pemujaan Siwa yang dilakukan oleh pada Pendeta Siwa adalah dengan mengucapkan mantra yang disebut sebagai Mantra Catur Dasa Siwa, yakni empat belas wujud Siwa. Mantra ini digunakan untuk mendapat pengaruh ke-Tuhan-an yang kuat dan suci serta untuk mendapat kebahagian sekala-niskala, selain itu pemujaan Siva diBali adalah dengan cara Yadnya yaitu Panca Yadnya atas dasar catur marga dalam bentuk sesajen atau banten yang mana bentuk dan caranya disesuaikan dengan Drsta dan Sadacara (Gunawan, 2012:36)
       Ajaran Siwa Siddhanta di Bali terdiri dari tiga kerangka utama yaitu Tattwa, Susila dan Upacara keagamaan. Tatwa atau filosofi yang mendasarinya adalah ajaran Siwa Tattwa. Di dalan Siwa Tattwa, Sang Hyang Widhi adalah Ida Bhatara Siwa. Dalam lontar Jnana Siddhanta dinyatakan bahwa Ida Bhatara Siwa adalah Esa yang bermanifestasi beraneka menjadi Bhatara - Bhatari.

1.2.3 Sekte Pasupata.
       Sekte Pasupata juga merupakan sekte pemuja Siwa. Bedanya dengan Siwa Sidhanta adalah dalam cara pemujaannya. Cara pemujaan sekte Pasupata adalah dengan menggunakan lingga sebagai simbol tempat turunnya/berstananya Dewa Siwa. Jadi penyembahan Lingga sebagai lambang Siwa adalah merupakan ciri khas sekte Pasupata.
Perkembangannya sekte Pasupata di Bali adalah dengan adanya pemujaan Lingga. Di beberapa tempat terutama di beberapa pura yang tergolong kuno terdapat Lingga dalam jumlah besar. Ada yang dibuat berlandaskan konsepsi yang sempurna dan ada pula dibuat sangat sederhana sehingga merupakan Lingga semu (Gunawan, 2012:48). Pemujaan Lingga sebagai lambang Dewa Siwa adalah merupakan ciri-ciri khas aliran Pasupata.

1.2.4 Sekte Bodha atau Sogatha.
       Adanya sekte Bodha atau Sogatha di Bali dibuktikan dengan adanya penemuan mantra Bhuda tipe “yete mantra” dalam zeal meterai tanah liat yang tersimpan dalam stupika. Stupika seperti itu diketahui di Pejeng – Gianyar. Menurut penelitian Dr. W. F. Stutterheim mantra Budha aliran Mahayana yang diperkirakan sudah ada di Genuruan-Bedulu, arca Boddhisatwa Padmapani di Pura Galang Sanja-Pejeng, arca Boddha di Gua Gajah dan di tempat lainnya lagi (Gunawan, 2012:49)

1.2.5 Sekte Brahmana.
       Adanya sekte Brahmana menurut DR. R. Goris seluruhnya telah luluh dengan Siwa Sidhanta. Di India sekte Brahmana disebut Smarta tetapi sebutan Smarta tidak dikenal di Bali. Kitab-kitab Sasana, Adigama, Purwadigama, Manawa yang bersumberkan Manawa Dharmasastra merupakan produk dari sekte Brahmana (Gunawan, 2012:49)

1.2.6 Sekte Rsi.
       Mengenai sekte Rsi di Bali, Goris memberi suatu uraian yang sumir dengan petunjuk kepada suatu kenyataan bahwa di Bali Rsi adalah seorang Dwijati yang bukan berasal dari Wangsa Brahmana. Istilah Dewaresi atau Rajaresi pada orang Hindu adalah merupakan orang suci di antara Raja-raja dari Wangsa Ksatria (Gunawan, 2012:49)

1.2.7 Sekte Sora.
       Pemujaan terhadap Surya sebagai dewa utama dilakukan oleh sekte Sora suatu tanda adanya sekte Sora. Sistem pemujaan Dewa Matahari yang disebut Suryasewana dilakukan pada waktu matahari akan terbit dan matahari akan terbenam adalah ciri penganut sekte Sora. Pustaka Lontar yang membentangkan Suryasewana ini juga sekarang terdapat di Bali. Selain itu yang lebih jelas lagi adalah setiap upacara agama di Bali selalu dilakukan pemujaan terhadap Dewa Surya sebagai Dewa yang memberikan persaksian bahwa seseorang telah melakukan yadnya (Gunawan, 2012:49)

1.2.8 Sekte Ganapati atau Ganapatya.
       Sekte Ganapati atau Ganapatya adalah kelompok pemuja Dewa Ganesa sebagai Dewa tertnggi. Adanya sekte ini dahulu di Bali terbukti dengan banyaknya didapatkan arca Ganesa baik dalam wujud besar maupun kecil. Ada dibuat dari batu padas dan ada dibuat dari logam tersimpan dalam beberapa pura di Bali. Fungsi Arca Ganesa adalah sebagai Wigna, Wigna yaitu penghalang gangguan. Oleh karena itu pada dasarnya Ganesa diletakan pada tempat-tempat di mana dianggap bahaya.
       Misalnya dilereng gunung yang berbahaya, di lembah, laut, pada pertemuan sungai dan sebagainya. Setelah zaman Gelgel banyak patung-patung itu dipindahkan dari tempatnya yang terpencil ke dalam salah satu tempat pemujaan. Dengan demikian patung Ganesa itu tidak mendapat pemujaan secara khusus lagi melainkan dianggap sama dengan patung-patung Dewa yang lain (Gunawan, 2012:50).
       Umat Hindu dari segala sekte memulai persembahyangan maupun upacara keagamaan dengan terlebih dahulu memanggil Ganesa. Ganapatya ini merupakan salah satu dari lima sekte Hindu yang utama, sejalan dengan aliran Saiwisme, Saktisme, Waisnawisme, dan Smartisme yang mengikuti filsafat Adwaita. Meski sekte Ganapatya tidak sebesar empat sekte yang pertama, namun sekte itu telah memberikan pengaruh.
Ganapati juga dipuja sebagai sebuah bagian dari aliran Saiwisme sejak abad ke-5.
       Sekte ini sempat dipopulerkan oleh Sri Morya Gosavi. Sekte Ganapatya menjadi terkenal pada abad ke-17 dan 19 di wilayah Maharashtra di India Barat, berpusat di sekitar Cinchwad.

1.2.9 Sekte Bhairawa.
       Sekte Bhairawa adalah sekte yang memuja Dewi Durga sebagai dewa utama. Pemujaan terhadap Dewi Durga di Pura Dalem yang ada di tiap desa adat di Bali merupakan pengaruh dari sekta ini. Begitu juga pemujaan terhadap Ratu Ayu (Rangda) juga merupakan pengaruh dari sekta ini. Sekta ini merupakan salah satu sekta wacamara (sekte aliran kiri) yang mendambakan kekuatan magik yang bersifat untuk kekuasaan duniawi. Ajaran Sadcakra yaitu ajaran tentang enam lingkungan dalam badan dan ajaran mengenai Kundalini yang hidup dalam tubuh manusia juga bersumber dari sekte ini (Gunawan, 2012:50).
       Menurut ajaran sekte ini lingkaran Muladara dalam bagian perut bawah adalah bentuk lingga dan yang mengelilinginya dengan tiga setengah adalah Durga-Dewi. Dengan latihan-latihan khusus Durga ini dapat dibangunkan dari sikap tidurnya yang melingkar dan naik sampai ke lingkaran-lngkaran badan yang paling tinggi.
       Bhairawa adalah merupakan perkembangan lebih lanjut dari mazhab Tantrayana yang termasuk kedalam sekte Sakta atau Saktiisme, dari mazhab Siva (sivapaksa). Disebut saktiiame, karena yang dijadikan obyek penyembahannya adalah Sakti.
Masih menurut R. Goris, ada bentuk tertinggi dari kemoksaan atau kelepasan menurut sekte Bhairava dengan praktek yang disebut Panca Tattwa atau lazim disebut dengan istilah Panca-Ma(kara), yaitu Madya (alkohol), Mangsa/Mamsa(daging), Matsya( ikan), Mudra (sikap tangan), dan Maithuna (persetubuhan) yang pada penggunaan ritual menyebabkan ekstase yang tertinggi. Namun kini praktek keseluruhan ajaran ini tidak ditemukan lagi di Indonesia.

1.3  Ada beberapa bukti bahwa sekte-sekte yang ada di Bali berhubungan dengan Panca Yadnya, yaitu:

1.3.1      Dari sekte Waisnawe, bahwa sekte ini lebih mengutamakan pemujaannya kepada dewa Wisnu serta saktinya yaitu Dewi Sri. Ini sangat berkaitan dengan air dan beras, dimana dalam Panca Yadnya semua upacara menggunakan air dan beras baik itu uapacara Dewa Yadnya, Manusia Yadnya, Bhuta Yadnya, Resi Yadnya, Pitra Yadnya. Yang berguna sebagai pelengkap pada saat suatu upacara dilaksanakan seperti penggunaan Tirtha dan Bija. Tirtha itu berfungsi untuk membersihkan diri dari kekotoran maupun kecemaran pikiran dan Bija merupakan lambang kehidupan sebagai benih dari Tuhan. Maka dari itu sekte Waisnawe sangat erat hubungannya dengan Panca Yadnya .

1.3.2      Dari sekte Siwa yang sebagian besar menganut  Siwa Sidhanta. Siwa Sidhanta ini mengutamakan pemujaan kehadapan Tri Purusha yaitu Parama Siwa, Sada Siwa dan Siwa. Brahma, Wisnu dan dewa-dewa lainnya tetap dipuja sesuai dengan tempat dan fungsinya karena semua dewa-dewa itu tidak lain dari manifestasi Siwa sesuai dengan fungsinya yang berbeda-beda. Jika dikaitkan kedalam Panca Yadnya sangat erat kaitannya karena dalam sekte siwa khususnya Siwa Siddhanta dalam pemujaannya menggunakan mantra-mantra suci, serta pemujaan Siva diBali adalah dengan cara Yadnya yaitu Panca Yadnya atas dasar catur marga dalam bentuk sesajen atau banten yang mana bentuk dan caranya disesuaikan dengan Drsta dan Sadacara. Inilah yang menjadi bukti bahwa sekte Siwa sangat berkaitan dengan Panca Yadnya baik  itu Dewa Yadnya, Manusia Yadnya, Bhuta Yadnya, Resi Yadnya, Pitra Yadnya.

1.3.3      Dari sekte Pasupata, yang cara pemujaanya menggunakan lingga sebagai simbol tempat turunnya/berstananya Dewa Siwa. Jiak kita kaitkan dengan Panca Yadnya ialah setiap upacara khususnya Dewa Yadnya kita pasti melaksanakan upacara pada hari-hari suci tertentu , yang ditandai dengan mengaturkan Banten dimrajan maupun di sanggah Kemulan sebagai simbol turunya para Dewa, hal ini sama dengan cara sekte Pasupata yang pemujaannya memuja lingga sebagai simbol tempat turunya Dewa Siwa, untuk memohon penganugrahan keselamatan dan kerahayuan. Di Bali juga terdapat beberapa pura yang menggunakan Lingga sebagai simbol Pemujaan.

1.3.4      Dari sekte Bodha atau Sogatha tidak memiliki kaitan dengan Panca Yadnya.

1.3.5      Dari Sekte Brahmana, karena sekte ini telah luluh dengan Siwa Sidhanta jadi sebagaian besar pelaksanaan upacaranya sama dengan sekte Siva. Dimana dalam pelaksanaannya sangat berkaitan dengan Panca Yadnya yang pemujaannya menggunakan mantra-mantra suci, serta pemujaan Siva di Bali adalah dengan cara Yadnya yaitu Panca Yadnya atas dasar catur marga dalam bentuk sesajen atau banten yang mana bentuk dan caranya disesuaikan dengan Drsta dan Sadacara. Inilah yang menjadi bukti bahwa sekte Brahman sangat berkaitan dengan Panca Yadnya baik itu Dewa Yadnya, Manusia Yadnya, Bhuta Yadnya, Resi Yadnya, Pitra Yadnya.

1.3.6      Dari sekte Rsi, sekte ini memberi suatu uraian yang sumir dengan petunjuk kepada suatu kenyataan bahwa di Bali Rsi adalah seorang Dwijati yang bukan berasal dari Wangsa Brahmana. Jika dikaitkan dengan Panca Yadnya, maka hal ini sangat berhubungan. Semua pelaksanaan upacara besar (upacara ageng)  dari Panca Yadnya, baik itu Dewa Yadnya, Manusia Yadnya, Bhuta Yadnya, Resi Yadnya, Pitra Yadnya biasanya menggunakan Ratu Pedande atau Rsi Mpu untuk muput suatu upacara. Ini merupakan bukti bahwa sekte Rsi mempunyai hubungan dengan Panca Yadnya.

1.3.7      Dari sekte Sora yang sistem pemujaan kepada Dewa Matahari yang disebut Suryasewana dilakukan pada waktu matahari akan terbit dan matahari akan terbenam. Setiap upacara agama di Bali selalu dilakukan pemujaan terhadap Dewa Surya sebagai Dewa yang memberikan persaksian bahwa seseorang telah melakukan yadnya. Dari hal ini telah terlihat jelas bahwa sekte sora sangat erat kaitannya dengan Panca Yadnya. Dimana setiap suatu pelaksanaan dari setiap upacara yadnya selalu memberikan pemujaan kepada Dewa Surya sebagai saksi atas pelaksanaan setiap upacara yadnya.

1.3.8      Dari sekte Ganapati atau Ganapatya tidak ada hubungannya dengan Panca Yadnya.

1.3.9      Dari sekte Bhairawa, sekte ini jika dikaitkan dengan Panca Yadnya sangat erat kaitannya, khususnya untuk Bhuta Yadnya. Karena bentuk tertinggi dari kemoksaan atau kelepasan menurut sekte Bhairava dengan praktek yang disebut Panca Tattwa atau lazim disebut dengan istilah Panca-Ma (kara), yaitu Madya (alkohol), Mangsa/Mamsa(daging), Matsya( ikan), Mudra (sikap tangan), dan Maithuna (persetubuhan) yang pada penggunaan ritual menyebabkan ekstase yang tertinggi. Pada pelaksanaan upacara untuk Bhuta Yadnya banyak menggunakan “tetabuhan” yang menggunakan 5 jenis zat cair, yaitu tuak, arak, berem, dan air disertai dengan penggunaan darah. Dalam hal ini sering disebut “Sabuh-rah”, yang pelaksanaanya masing-masing zat cair itu akan dituangkan tiga kali, demikian pula halnya dengan “sabuh-rah” diusahakan agar darah itu terciprat tiga kali. Inilah yang menjadi bukti bahwa sekte Bhairawa sangat erat kaitannya dengan Panca Yadnya khususnya Bhuta Yadnya.

       Inilah yang menjadi bukti bahwa dari beberapa sekte-sekte yang ada di Bali, baik itu sekte Waisnawa, sekte Siwa, sekte Pasupata, Sekte Bodha atau Sogatha, sekte Brahmana, sekte Rsi, sekte sora, Sekte Ganapati atau Ganapatya, dan sekte Bhairawa merupakan kristalisasi dari Siva Siddhanta dan mempunyai hubungan yang erat dengan Panca Yadnya terutama dalam pelaksanaan upacara serta upakaranya.


Sumber :
Gunawan, I Ketut Pasek. 2012. Pengantar Bahan Ajar SIVA SIDDHANTA I. Denpasar:
                   IHDN.
Pandit, Bansi. 2006. Pemikiran Hindu Pokok-pokok pikiran Agama Hindu. Surabaya :
              Paramita.
(http://saradbali.com/edisi99/tatwa.htm)





      
  
      









             
             



Geen opmerkings nie:

Plaas 'n opmerking