“Sebagai Simbol
Aksara Suci Umat Hindu di Bali”
Ni Luh Putu Sri
Musiartini Setiawati
Nim :
10.1.1.1.1.3883
Abstrak
Pengembangan Kebudayaan Bali dalam sastra mempelajari
semua pustaka yang mengandung berbagai ajaran ke Tuhanan dan ke Duniaan yang
akan dapat memberikan kebahagiaan lahir-bathin kepada pendukungnya yaitu
masyarakat Bali Khususnya.
Dalam mencapai tujuan hidup beragama menurut ajaran agama
Hindu. Agama Hindu adalah yang kaya akan lambang
atau simbul. Sekecil apa pun simbul
itu mengandung makna yang sangat dalam. Selain itu aksara juga sangat besar
pengaruhnya dalan kehidupan beragama di Bali.
Selain itu, dalam buku Krakah Modre Aji Griguh (Kaler, v)
dijelaskan mengenai tiga macam aksara di atas, yaitu :
1. Wreçastra, yang
digunakan untuk menulis bahasa Bali lumbrah, misalnya Urak, Pipil,
Pangeling-eling dan sejenisnya.
2. Cwalalita, aksara untuk menuliskan Bahasa Kawi dan lainnya lagi.
3. Modre, adalah bagian kedyatmikan, misalnya : Japa Mantra,
Perlambang (simbul) dalam keagamaan, upacara dan yang berhubungan dengan dunia
kegaiban, doa-doa dan pengobatan.
Aksara Modre ini yaitu aksara mati
karena banyak dengan busana (pegangge). Aksara Modre inilah yang dimaksud
dengan Aksara Suci dalam Agama Hindu salah satunya adalah Dasa Aksara.
Menurut lontar atau buku Usada Tiwas
Punggung (Punggung Tiwas), Dasa Aksara ini terdiri atas 10 aksara suci atau Wijaksara, yaitu Sang, Bang, Tang, Ang, Ing,
Nang, Mang, Sing, Wang, Yang. Kesepuluh aksara ini berasal dari delapan buah
aksara wianjana (sa, ba, ta, na, ma,
si, wa, dan ya) dan dua buah aksara suara
(a dan i). Kalau sepuluh aksara ini dirangkai dalam kata-kata akan terbentuk
sebuah kalimat yang bunyinya sebagai berikut : sabatai nama siwaya.
Kalimat ini merupakan ungkapan doa untuk memuliakan Dewa Siwa (nama Siwa ya), karena Umat
Hindu di Bali atau Indonesia pada umumnya adalah penganut ajaran Siwaisme (Siwa
Siddhanta).
Dalam buku Pengantar Bahan Ajar Siva
Siddhanta 1 (Gunawan, 2012 : 38) menjelaskan pengertian Siva Siddhanta, berasal
dari Siddhanta artinya akhir dari sesuatu yang telah dicapai, yang maksudnya
adalah sebuah kesimpulan dari ajaran yang sudah mapan. Ajaran ini merupakan
hasil dari akulturasi dari banyak ajaran Agama Hindu
Dasa Aksara merupakan
aksara yang suci, karena suci itulah tidak sembarang orang bisa mempelajari
Dasa Aksara. Dalam buku Aksara Bali dalam Usada (Nala, 2006 : 107) menjelaskan
bahwa bagi mereka yang ingin mempelajari Dasa Aksara ini untuk memahami inti
ajarannya dengan benar dan mampu meresapkan ke dalam sanubarinya harus melalui
suatu upacara yang disebut Pawintenan Sastra Mautama (Maha Utama),
Masing-masing dari
aksara ini mempunyai linggih, genah, sthana (tempat, kedudukan) baik
di dalam badan manusia (bhuana alit,
mikrokosmos), maupun di alam raya (bhuana
agung, makrokosmos). Di tempat linggih,
kedudukan, letak atau sthana dari
tiap aksara ini bersemayam pula di tempat para Dewa, Sang Hyang atau Batara,
lengkap dengan lambing warna, senjata dan simbul perwujudannya (Nala, 2006 :
108).
Maka dari itu, karena ketinggian nilainya, maka Dasa
Aksara itu dituliskan pada alat-alat atau sarana yang dipakai dalam Dewa Yajna,
Rsi Yajna, Manusia Yajna, Pitra Yajna (Atma Wedana) dan pada sarana lain yang
diharapkan mempunyai jiwa dan makna yang penting dan suci bagi Umat Hindu.
Dasa Aksara terbagi atas dua buah kelompok yang disebut
Panca Brahma (agni, api) dan Panca Tirta (apah, air). Panca Brahma terdiri atas
aksara Sang, Bang, Tang, Ang, dan Inga tau Sa-ba-ta-a-i. Sedangkan Panca Tirta terdiri. Atas aksara Nang, Mang, Sing, Wang dan Yang, atau Na-ma-Si-wa-ya. Kelima
aksara suci yang membentuk baik Panca Brahma maupun Panca Tirta tidak disebut
sebagai Panca Aksara (Nala, 2006 : 110).
I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bali memiliki begitu banyak daya tarik, pada
umumnya Bali sangat menarik disebabkan oleh keindahan alamnya, terutama oleh
kesenian, sastra dari penduduknya.
Pengembangan Kebudayaan Bali dalam
sastra mempelajari semua pustaka yang mengandung berbagai ajaran ke Tuhanan dan
ke Duniaan yang akan dapat memberikan kebahagiaan lahir-bathin kepada
pendukungnya yaitu masyarakat Bali Khususnya.
Jalan yang dilaksanakan di Bali
terutama yang menganut agama Hindu, tidak dapat dibedakan dari jalan karma
dan jalan bhakti (karma marga dan bhakti
marga), dalam mencapai tujuan hidup beragama menurut ajaran agama Hindu.
Agama Hindu adalah yang kaya akan lambang
atau simbul. Sekecil apa pun simbul
itu mengandung makna yang sangat dalam. Selain itu aksara juga sangat besar
pengaruhnya dalan kehidupan beragama di Bali.
Alangkah indahnya dan magisnya agama
Hindu yang kita anut ini, yang mengandung penuh kehalusan seni
budaya,falsafah-falsafah keagungan budi, yang sesungguhnya senantiasan menempa
dan membesarkan jiwa kita.
Agama Hindu adalah agama yang kaya
akan lambang atau Simbul, sekecil apa pun simbul itu
mengandung arti yang sangat dalam. Dalam buku UPADESA Tentang Ajaran-ajaran
Agama Hindu menyebutkan bahwa Simbul-simbul prateka-prateka atau
pratima-pratima yang menyimbulkan manifestasi-manifestasi Hyang Widhi dalam
wujud yang kita bayangkan sendiri membawa pikiran kita kepada persatuan dengan
Hyang Widhi hal mana adalah perupakan penyucian yang utama.
Oleh karena itu memang sewajarnyalah
simbul-simbul itu dikeramatkan. Bahwa simbul-simbul itu adalah penolong yang
besar kearah penyatuan pikiran kepada Hyang Widhi. Demikian pula simbul-simbul
atau pratima-pratima itu bukanlah Hyang Widhi tetapi juga dapat menolong
menciptakan persatuan jiwa dengan Hyang Widhi dalam suasana kesucian.
Dalam buku Fungsi Dan Manfaat
Rerajahan (Jaman, 1999:iii) mmenjelaskan menurut prof. DR. Poerbacaraka Aksara yang
pertama-tama masuk ke Indonesia adalah Aksara
Palawa yaitu pada abad ke IV Masehi. Kemudian baru disusul oleh Aksara Devanagari. Dari Aksara Devanagari inilah timbul Aksara Kavi. Dari Aksara Kavi ini timbul Aksara
Kuna dan Bali Kuna. Dari proses
tersebut timbul Aksara Bali. Aksara Bali yang biasa ada dua jenis
yaitu Aksara Wreastra dengan 18 huruf
untuk menulis bahasa Bali lumrah atau
umum, dan Aksara Swalalita terdiri dari 47 huruf yaitu 14 huruf vokal dan 33
huruf konsonan. Aksara Swalalita digunakan
untuk menulis bahasa Kavi dan bahasa Sansekerta. Aksara Sakral dikenal dengan Aksara
MODRE untuk menulis hal-hal yang berisikan magis.
Aksara Modre inilah yang dimaksud
dengan Aksara Suci dalam Agama Hindu, salah satunya adalah Dasa Aksara yang terdiri dari sepuluh buah yaitu SA, BA, TA, A, I,
NA, MA, SI, WA, YA atau SANG, BANG, TANG, ANG, ING, NANG, MANG, SING, WANG,
YANG.
II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Dasa Aksara
Menurut Prof. Dr. Tjok Rai Sudharta
MA, (SARAD No.36/2003) perjalanan Agama Hindu sampai di Indonesia ternyata
tidak semua langsung datang atau dibawa dari India. Agama Hindu di India
sendiri menyentuh Nepal, sehingga bangunan Meru yang ada disana sama dengan
yang ada di Bali. Lalu meyentuh juga Tibet, sehingga sarana genta dan
petanganan mudra yang dipakai Sulinggih di Bali juga dipakai di Tibet. Kemudian
menuju Asia Tenggara, Cina, sampai menyeberang ke Kalimantan Timur (Kutai).
Oleh karena itu ada sarana uang kepeng atau jinah bolong, dupa dan uluntaga.
Itulah berbagai jenis simbul yang kini ditemukan dan dipergunakan di Bali.
(Suhardana, 2006 : 90)
Dalam buku Dasar-dasar Kepemangkuan
(Suhardana, 2006 : 90), menjelaskan mengenai simbul lain dalam bentuk huruf
atau aksara di Bali dikenal ada tiga macam aksara, yaitu :
1. Aksara Wrestra. Aksara ini digunakan dalam bahasa Bali lumrah
berdasarkan hanacaraka yang berjumlah
18 aksara.
2. Aksara Swalalita. Aksara ini digunakan dalam sastra Jawa Kuno,
berjumlah 35 aksara, hamper sama dengan aksara dalam bahasa Sanskerta.
3. Aksara Modre. Aksara ini digunakan untuk kadyatmikan seperti
untuk japa, mantra, lambang-lambang keagamaan, upacara yang berhubungan dengan
dunia kegaiban dan pengobatan (usada)
Selain itu, dalam buku Krakah Modre
Aji Griguh (Kaler, v) dijelaskan mengenai tiga macam aksara di atas, yaitu :
1. Wreçastra, yang digunakan untuk menulis
bahasa Bali lumbrah, misalnya Urak, Pipil, Pangeling-eling dan sejenisnya.
2. Cwalalita, aksara untuk menuliskan Bahasa
Kawi dan lainnya lagi.
3. Modre, adalah bagian kedyatmikan, misalnya :
Japa Mantra, Perlambang (simbul) dalam keagamaan, upacara dan yang berhubungan
dengan dunia kegaiban, doa-doa dan pengobatan.
Aksara Modre ini yaitu aksara mati
karena banyak dengan busana (pegangge). Aksara Modre inilah yang dimaksud
dengan Aksara Suci dalam Agama Hindu salah satunya adalah Dasa Aksara.
Menurut lontar atau buku Usada Tiwas
Punggung (Punggung Tiwas), Dasa Aksara ini terdiri atas 10 aksara suci atau Wijaksara, yaitu Sang,
Bang, Tang, Ang, Ing, Nang, Mang, Sing, Wang, Yang. Kesepuluh aksara ini
berasal dari delapan buah aksara wianjana
(sa, ba, ta, na, ma, si, wa, dan ya) dan dua buah aksara suara (a dan i). Kalau sepuluh aksara ini dirangkai dalam kata-kata
akan terbentuk sebuah kalimat yang bunyinya sebagai berikut : sabatai
nama siwaya. Kalimat ini merupakan ungkapan doa untuk memuliakan Dewa
Siwa (nama Siwa ya), di antara para
dewa, Sang Hyang Siwa paling dimuliakan oleh umat Hindu di Bali, karena
kebanyakan dari mereka menganut ajaran Siwa Siddhanta. Dewa-dewa yang lain
tetap dihormati, tetapi tidaklah semulia dewa Sang Hyang Siwa, karena dewa
tersebut merupakan perwujudan Dewa Siwa juga ketika sedang melaksanakan fungsi
atau tugasNya. (Nala, 2006 : 107)
Dalam kaitan dengan Aksara Suci ini,
selanjutnya dapat dijelaskan demikian, karena Umat Hindu di Bali atau Indonesia
pada umumnya adalah penganut ajaran Siwaisme (Siwa Siddhanta).
Dalam buku Pengantar Bahan Ajar Siva
Siddhanta 1 (Gunawan, 2012 : 38) menjelaskan pengertian Siva Siddhanta, berasal
dari Siddhanta artinya akhir dari sesuatu yang telah dicapai, yang maksudnya
adalah sebuah kesimpulan dari ajaran yang sudah mapan. Ajaran ini merupakan
hasil dari akulturasi dari banyak ajaran Agama Hindu, didalamnya kita temukan
ajaran Weda, Upanisad, Dharmasastra, Darsana (terutama Samkya Yoga), Purana dan
Tantra. Ajaran dari sumber-sumber tersebut berpadu dalam ajaran Tattwa yang
menjadi jiwa atau intisari Agama Hindu di Bali.
Karena sebagian besar masyarakat
menganut ajaran Siwa Siddhanta, maka
yang menonjol adalah aksara Modre yang dipergunakan oleh penganut ajaran ini.
Aksara Suci tersebut diantaranya adalah sepuluh aksara, yaitu SA, BA,
TA, A, I, NA, MA, SI, WA, YA atau SANG, BANG, TANG, ANG, ING, NANG, MANG, SING,
WANG, YANG, ke sepuluh aksara inilah yang dinamai “Dasa Aksara” yang dipandang
suci dan sakti.
2.2 Dasa Aksara sebagai Simbol
Aksara Suci Umat Hindu di Bali
Dasa
Aksara merupakan aksara yang suci, karena suci itulah tidak sembarang orang
bisa mempelajari Dasa Aksara. Dalam buku Aksara Bali dalam Usada (Nala, 2006 :
107) menjelaskan bahwa bagi mereka yang ingin mempelajari Dasa Aksara ini untuk
memahami inti ajarannya dengan benar dan mampu meresapkan ke dalam sanubarinya
harus melalui suatu upacara yang disebut Pawintenan Sastra Mautama (Maha
Utama), suatu upacara untuk penyucian diri, baik sthula sarira (jasmani) maupun suksma
sarira (rohani). Bila ini tidak dilaksanakan maka kemungkinan akan mendapat
halangan dalam proses pembelajarannya, sehingga tidak mencapai apa yang dituju,
sebagai Balian Usada.
Masing-masing
dari aksara ini mempunyai linggih, genah, sthana (tempat, kedudukan) baik
di dalam badan manusia (bhuana alit,
mikrokosmos), maupun di alam raya (bhuana
agung, makrokosmos). Di tempat linggih,
kedudukan, letak atau sthana dari
tiap aksara ini bersemayam pula di tempat para Dewa, Sang Hyang atau Batara,
lengkap dengan lambing warna, senjata dan simbul perwujudannya (Nala, 2006 :
108).
Aksara
Sang
di dalam badan manusia atau bhuana
alit malinggih di
jantung, di jagat raya atau bhuana agung
brada di arah timur (purwa), dengan dewanya Sang Hyang Iswara, serta lambang
warnanya putih. Aksara Bang di bhuana alit berada di hati,
di bhuana agung posisinya di arah
selatan (daksina), dengan Sang Hyang Brahma sebagai batara atau dewanya, serta lambang merah warnanya. Aksara Tang
di bhuana alit berada di
ungsilan atau buah pinggang, di bhuana
agung bersemayam di barat, dengan Sang Hyang Mahadewa sebagai dewanya dan
lambangnya berwarna kuning. Demikian penjelasan seterusnya untuk aksara ang, ing,
nang, mang, sing, wang, dan yang (Nala, 2006 : 109).
Aksara Ang, Ung, dan Mang disingkat
AUM atau OM dan dibaca ONG merupakan simbul Dewa Brahma, Dewa Wisnu, dan Dewa
Siwa (Trimurti atau Tri Sakti) yang kesaktiannya diakui baik oleh aliran Siwa
maupun Buddha. Aksara OM merupakan simbul dari Utpeti, Sthiti dan Pralina yaitu
lahir, hidup dan mati (Suhardana, 2006 : 91)
Aksara SA (SANG) adalah simbul Dewa
Iswara. Aksara BA (BANG) adalah simbul Dewa Brahma. Aksara TA (TANG) adalah
simbul Dewa Mahadewa. Aksara A (ANG) adalah simbul Dewa Brahman. Aksara I (ING)
adalah simbul Dewa Siwa. Sedangkan aksara NA (Nang) adalah simbul Dewa Mahesora.
Aksara MA (MANG) adalah simbul Dewa Rudra. Aksara SI (SING) adalah simbul Dewa
Sangkara. Aksara WA (WANG) adalah simbul Dewa Sambu. Kemudian aksara YA (YANG)
adalah simbul Bhatara Guru. Demikianlah Dasa Aksara mempunyai makna yang amat
penting karena merupakan simbul atau lambang dari para Dewa sebagai manifestasi
Ida Sang Hyang Widhi (Suhardana, 2006 : 91).
Maka dari itu, karena ketinggian
nilainya, maka Dasa Aksara itu dituliskan pada alat-alat atau sarana yang
dipakai dalam Dewa Yajna, Rsi Yajna, Manusia Yajna, Pitra Yajna (Atma Wedana)
dan pada sarana lain yang diharapkan mempunyai jiwa dan makna yang penting dan
suci bagi Umat Hindu.
2.3 Tabel Dasa Aksara
Berikut tabel dari Dasa Aksara yang
merupakan modifikasi dari isi lontar Krakah Modre, sebagai berikut :
No
|
Bunyi Wijaaksara
|
Linggih di Bhuana Alit
|
Linggih di Bhuana Agung
|
Dewa Batara
|
Warna
|
1
|
Sang
|
Papusuhan
Jantung (hrdaya)
|
Timur
(purwa) sang
|
Hyang
Iswara
|
Putih
|
2
|
Bang
|
Ati
Hati (yakrta)
|
Selatan
(daksina) Sang
|
Hyang
Brahma
|
Merah
|
3
|
Tang
|
Ungsilan
Buah pinggang (verkka)
|
Barat
(pascima)
|
Sang
Hyang Mahadewa
|
Kuning
|
4
|
Ang
|
Ampru
Empedu (tikta)
|
Utara
(uttara)
|
Sang
Hyang Wisnu
|
Hitam
|
5
|
Ing
|
Tengahing
ati Pertengahan hati (yakrt)
|
Tengah
(madya)
|
Sang
Hyang Siwa
|
Nila
|
6
|
Nang
|
Peparu
paru (puphusa)
|
Tenggara
(agneya)
|
Sang
Hyang Maheswara
|
Dadu
|
7
|
Mang
|
Usus
(srota)
|
Barat
daya (neriti)
|
Sang
Hyang Rudra
|
Jingga
|
8
|
Sing
|
Limpa
(phila)
|
Barat
laut (wayabya)
|
Sang
Hyang Sangkara
|
Hijau
|
9
|
Wang
|
Ineban
Kerongkongan (mahasrota)
|
Timur
laut (ersania)
|
Sang
Hyang Sambu
|
Biru
|
10
|
Yang
|
Susunan
rangkaian hati (yakrthrdaya)
|
Tengah
(madya)
|
Sang
Hyang Guru
|
Panca
Warna
|
Dasa Aksara terbagi atas dua buah
kelompok yang disebut Panca Brahma (agni, api) dan Panca Tirta (apah, air).
Panca Brahma terdiri atas aksara Sang, Bang, Tang, Ang, dan Inga tau
Sa-ba-ta-a-i. Sedangkan Panca Tirta terdiri.
Atas aksara Nang, Mang,
Sing, Wang dan Yang, atau Na-ma-Si-wa-ya. Kelima aksara suci yang membentuk
baik Panca Brahma maupun Panca Tirta tidak disebut sebagai Panca Aksara (Nala,
2006 : 110).
III PENUTUP
3.1 Simpulan
Dari materi yang telah di uraikan,
dapat disimpulkan bahwasanya Agama Hindu adalah agama yang kaya akan lambang atau Simbul, sekecil apa pun simbul itu mengandung arti yang sangat
dalam. Dalam buku Fungsi Dan Manfaat Rerajahan (Jaman, 1999:iii) mmenjelaskan
menurut prof. DR. Poerbacaraka Aksara
yang pertama-tama masuk ke Indonesia adalah Aksara
Palawa yaitu pada abad ke IV Masehi.
Kemudian baru disusul oleh Aksara Devanagari. Dari Aksara Devanagari inilah timbul Aksara Kavi. Dari Aksara Kavi ini timbul Aksara
Kuna dan Bali Kuna. Dari proses
tersebut timbul Aksara Bali. Aksara Bali yang biasa ada dua jenis
yaitu Aksara Wreastra dengan 18 huruf
untuk menulis bahasa Bali lumrah atau
umum, dan Aksara Swalalita terdiri dari 47 huruf yaitu 14 huruf vokal dan 33
huruf konsonan. Aksara Swalalita digunakan
untuk menulis bahasa Kavi dan bahasa Sansekerta. Aksara Sakral dikenal dengan Aksara
MODRE untuk menulis hal-hal yang berisikan magis.
Aksara Modre inilah yang dimaksud
dengan Aksara Suci dalam Agama Hindu, salah satunya adalah Dasa Aksara yang terdiri dari sepuluh buah yaitu SA, BA, TA, A, I,
NA, MA, SI, WA, YA atau SANG, BANG, TANG, ANG, ING, NANG, MANG, SING, WANG,
YANG. Masing-masing
dari aksara ini mempunyai linggih, genah, sthana (tempat, kedudukan) baik
di dalam badan manusia (bhuana alit,
mikrokosmos), maupun di alam raya (bhuana
agung, makrokosmos). Di tempat linggih,
kedudukan, letak atau sthana dari
tiap aksara ini bersemayam pula di tempat para Dewa, Sang Hyang atau Batara,
lengkap dengan lambing warna, senjata dan simbul perwujudannya
3.2 Saran
Saran dari pembaca sangat penulis harapkan demi penyempurnaan jurnal ini. Agar jurnal yang penulis buat bisa lebih sempurna dan bermanfaat bagi
pembaca.
Daftar
Pustaka
Gunawan,
I Ketut Pasek. 2012. Pengantar Bahan Ajar
Siva Siddhanta I. Singaraja
: IHDN.
Jaman, I
Gede. 1999. Fungsi dan Manfaat RERAJAHAN
DALAM KEHIDUPAN.
Surabaya : PARAMITA.
Nala,
Ngurah. 2006. Aksara Bali dalam USADA.
Surabaya : Paramita
Suhardana,
K.M. 2006. Dasar-dasar Kepemangkuan.
Surabaya : Paramita.
Geen opmerkings nie:
Plaas 'n opmerking