TUGAS
SIVA SIDDHANTA II
“JNANA
SIDDHANTA”
Dosen
Pengampu: I Ketut Pasek Gunawan S. Pd. H
IHDN DENPASAR
Nama
Kelompok :
1. Ni
Nyoman Adi Handayani (10.1.1.1.1.3878)
2. I
Ketut Juli Sastrawan (10.1.1.1.1.3879)
3. Luh
Ari Liani (10.1.1.1.1.3880)
4. Luh
Widyaningsih (10.1.1.1.1.3881)
5. I
Kadek Sindhu Parwita Susanto (10.1.1.1.1.3882)
6. Ni
Luh Putu Sri Musiartini Setiawati (10.1.1.1.1.3883)
7. Komang
Trisna Sukratini (10.1.1.1.1.3884)
8. Luh
Evi Wiani (10.1.1.1.1.3885)
9. Kd
Suseka Mahadewi (10.1.1.1.1.3886)
10. Agus
Hari Kristiyasa Mandala (10.1.1.1.1.3888)
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA HINDU
FAKULTAS
DHARMA ACARYA
INSTITUT
HINDU DHARMA NEGERI DENPASAR
2012
BAB I
PENDAHULUAN
Agama Hindu adalah agama yang universal. Semua
Agama berawal dari sejarah. Namun sangat sulit di jaman sekarang menentukan
sesungguhnya sejak kapan agama itu di mulai. Awal permulaan dari Agama Hindu
khususnya Agama Hindu di Bali adalah adanya penyatuan seluruh sekte yang ada
menjadi sekte Siva Siddhanta. Penyatuan sekte Siva Siddhanta mengalami
perjalanan yang sangat panjang.
Dari semua sekte yang ada seperti sekte
Pasupata, Bhairawa, Siwa Shidanta, Waisnawa, Bodha, Brahma, Resi, Sora dan
Ganapatya. Diantara sekte-sekte tersebut, sekte Siwa Shiddhantalah yang
merupakan sekte paling dominan. Maka dari itu untuk mengetahui sejarah
perjalanan dan mengetahui hal-hal yang terdapat dalam Siva Siddhanta di
perlukannya bebagai sumber, baik itu sumber yang berupa cerita, seperti Itihasa
dll, atau berbagai sumber ajaran yang ada seperti lontar-lontar. Ada berbagai
sumber ajaran yang ada dalam Siva Siddhanta yaitu Bhuvanakosa, Jnana Siddhanta,
Vrhaspatitattva, Ganapattattva, Tattvajnana, Purvabhumikemulan, Sanghyang
Manahajnana.
Semua sumber-sumber ajaran ini berisikan
ajaran-ajaran yang berkaitan dengan Siva Siddhanta. Disetiap atau di
masing-masing sekte yang telah terkristalisasikan dalam Siva Siddhanta memuja
dewa-dewa yang menjadi kenyakinannya dalam masing-masing sekte dengan simbol
dan upacara yang berbeda-beda.
Maka dengan latar belakang ini, kelompok
kami membahas sumber-sumber ajaran Siva Siddhanta yaitu Jnana Siddhanta. Jnana
Siddhanta membahas tentang kemoksaan atau bersatunya atma dengan asalnya atau
brahma. Jnana siddhanta merupakan lontar yang amat
penting artinya dalam upaya untuk memahami ajaran Ketuhanan yang dianut oleh
umat Hindu khususnya yang di Bali. Keseluruhan dari Jnana Siddhanta terdiri
dari 27 Judul
BAB II
PEMBAHASAN
1.1 Jnana Siddhanta
Perkembangan Siva Sinddhanta khususnya di
Bali, bisa dikaji dari sumber-sumber ajaran yang ada seperti Bhuvanakosa, Jnana
Siddanta, Vrhaspatitattva, Ganapattattva, Tattvajnana, Purvabhumikemulan, dan
Sanghyang Manahajnana. Akan dijelaskan lebih rinci lagi tentang Jnana
Siddhanta.
Ajaran Jnanasiddhanta pada umumnya
mengandung ajaran Kelepesan atau Kemoksaan yaitu menyatunya Atma kepada sumber
asalnya (Sastra, 2008:213). Seperti yang kita ketahui bersama moksa ialah salah
satu sradha dalam Agama Hindu yang merupakan tujuan hidup tertinggi Agama
Hindu. Manusia hidup di dunia dengan tujuan utamanya yaitu mencapai moksa.
Dalam Jnanasiddhanta Tuhan disebut Betara
Siwa. Beliau Maha Esa (Sa eko,Ekatva),
Ia satu-satunya, tidak dua dan tidak pula tiga. Ia tidak jauh tidak juga dekat,
ia tidak ada pada permulaan, tengah dan akhir. Ia tidak dapat musnah, maha
sempurna. Tanpa tubuh,”nirajnanam”,
teramat keci, sukar ditangkap karena
sangat halus, tanpa batas, ia merupakan kekuatan tertinggi (Sastra, 2008:213).
IA yang Esa sering dipandang lebih dari
satu (Aneka), karena bercirikan empat
yaitu:
1. Sthula
,artinya IA dibayangkan tampak dalam Sabda Maya. Sabda-Maya artinya dituturkan dalam bentuk Mantra.
2. Suksma
,artinya IA dibayangkan menjelma dalam
Citta Maya,Citta –maya adalah dari pikiran yang terwujub dalam Pengetahuan.
3. Para, artinya IA
dibayangkan terjelma dalam Citta Wirahita.Citta-Wirahita artinya ditingalkan oleh Akal Bhudi.
4. Sunya,
artinya IA dipandang sebagai Citta
Rahitantya.Citta Rahitantya
artinya sama dengan tidak memiliki ciri
apapun (Sastra, 2008:213).
Ia (Tuhan) atau juga disebut Bhatara
Siwa, adalah sumber semua yang ada termasuk dewa-dewa dan manusia. Semua ini
diciptakan melalui pemecahan diri Sanghyang Mahawindu, menjadi “para” dan “apara” dengan sarana Saktinya yang terdiri atas Dasasakti,
Navasakti, Astasakti, Pancasakti, dan Trisakti. Tubuh manusia yang diciptakan
oleh Bhatara Siwa, digambarkan sebagai sebuah misteri karena sulit di pahami
dengan akal.Tubuh manusia adalah tiruan dunia yang besar atau juga disebut Bhuwana Agung, maka itu tubuh manusia
disebut Bhuwana Alit. Dikatakan sebagai
tiruan dunia yang besar karena apa yang ada disana (Bhuwana Agung) ada pula dalam tubuh manusia (Bhuwana Alit). Tubuh manusia di samping digambarkan sebagai tiruan
dunia yang besar, ia (tubuh manusia) juga dilukiskan sebagai lambang OM Kara.
Om-kara juga disebut Pula pranawa, visva, Ghosa,
ekaksara,Tumburutriaksarangga.Tubuh manusia juga ditempati oleh dewa-dewa,
sedangkan tenaga penggerak tubuh disebut ”Wayu”
(Sastra, 2008:213-214).
Menurut Jnanasiddhanta, tubuh tersebut
juga dipenuhi oleh nadi yang berfungsi sebagai jalan pendaki atma menuju
ubun-ubun, serta perjalanan prana dalam tubuh. Nadi yang ada dalam tubuh
manusia adalah lambang sungai yang ada di alam besar (Bhuana Agung). Itulah gambaran tentang rahasia diri manusia, yang
harus diketahui oleh orang-orang yang menginginkan Kelepasan. Menurut
Jnanasiddhanta bahwa dalam Kelepasan semua akan kembali kepada Bhatara Siwa (surud ri sira), karena Beliau adalah
pencipta semua yang ada (dadi sakeng
Bhatara Siwa ika) (Sastra, 2008:213-214).
Jnana siddhanta
merupakan lontar yang amat penting artinya dalam upaya untuk memahami ajaran
Ketuhanan yang dianut oleh umat Hindu khususnya yang di Bali. Dikatakan bahwa
lontar ini adalah sebuah kompilasi yang memuat ajaran Siva Siddhanta, oleh
karena ada beberapa bagian dalam lontar Jnana Siddhanta ini yang juga terdapat
pada lontar lain, misalnya ada pada Bhuwanakosa, Ganapatitatwa dan sebagainya.
Keseluruhan dari Jnana Siddhanta terdiri dari 27 Judul, yaitu:
1.1.1 Catur Viphala
Catur
Viphala ialah empat perbuatan yang tidak membuahkan
hasil. Dalam arti menuju moksa, dan semuanya akan dapat dicapai bila telah
melaksanakan diksavidhi-vidhana. Diksavidhi-vidhana yakni upacara penobatan
menjadi pandita (Gunawan, 2012:55).
Adapun beberapa rangkaian upacara diksa
yaitu :
1.1.1.1 Upacara awal
1) Upacara majauman
Sang calaon Diksita (suami istri)
berkunjung ke rumah calon nabe dengan membawa betapa mestinya (Tim Penyusun,
1995:144)
2) Sembah pamitan pada keluarga
Sang calon Diksita wajib menyembah
orang tua yang masih hidup atau yang patut disembah, mohon restunya demi
keselamatan pada saat dan sesudah didiksa. Calon Diksita juga minta ijin kepada
sanak saudaranya yang umurnya lebih muda. Sembah kepada orang tua merupakan
sembah terakhir, karena kemudiaanya seorang sulinggih tidak boleh menyembah
siapapun yang masih walaka (Tim Penyusun, 1995:145)
3) Upacara mapinton
Pertama ; ke segara gunung untuk
membersihkan diri asuci laksana. Dalam hal ini sekurang-kurangnya ke kahyangan
tiga. Kedua ; upacara mapinton ke merajan calon nabe yang langsung dipuput oleh
calon nabe sendiri. Disamping untuk memohon restu, upacara ini juga mengandung
makna sebagai perbekalan dan pernyataan ikatan secara resmi antara calon diksa
dengan guru nabe. Upacara ini dilaksanakan menurut drsta (Tim Penyusun,
1995:145)
1.1.1.2 Upacara puncak
1) Upacara mati raga atau penyekeban
Sebelum mati raga, calon Diksita
dilukat oleh nabe dimerajan calon diksita dilanjutkan dengan muspa. Selesai
upacara itu barulah calon diksita melakukan amati raga yaitu melakukan yoga.
Busana serba putih, sikap tangan ngregep dan ngranasika, monobrata, dan
upawasa. Upacara ini berlangsung sehari penuh yaitu sehari sebelum upacara
diksa (Tim Penyusun, 1995:145)
2) Upacara mandi
Upacara ini dilakukan pada dini
hari sekitar pukul 05.00 waktu setempat. Upacara ini dilakukan oleh guru saksi,
calon diksita pria dimandikan oleh guru saksi pria, sedangkan calon diksita
perempuan dimandikan oleh guru saksi perempuan, dibantu oleh sanak keluarga
calon diksita sendiri. Selesai mandi calon diksita berpakaiaan serba putih
(sarwa petak), diantar menuju merajan tempat calon diksita melakukan diksa (Tim
Penyusun, 1995:145-146)
1.1.1.3 Upacara Pokok
1. Padanda
nabe memuja atau ngarga.
2. Calon diksita ada dihadapan sanggar atau
melakukan upacara mabyakawon, kemudian dilanjutkan dengan muspa dituntun oleh
nabe, langsung luhur amari sudana (ganti nama).
3. Calon diksita menghadap kepada sang guru
nabe matepung tawar (atepung tawar) segawu.
4. Calon diksita membersihkan kaki kanan (wasa
ijeng ring tengen) nabe, digosok dengan kayu putih diasapi tiga kali, digosok
dengan minyak (dilisahi dening minyak), kaki tersebut ditaruhkan diatas
ubun-ubun.
5. Guru nabe memberikan kekuatan gaib kepada
sisya antara lain dengan anilat empuning pada tengen.
6. Anuhun pada guru nabe napak calon diksita.
7. Diatas ubun-ubun diisi bunga tunjung yang
dipotong delapan kali dengan gunting.
8. Sambutang kuta pangaras yaitu diambilkan
daun alang-alang diusapi badannya dan dikelilingi tiga kali (iderakna ring
sariranya ping tiga), dijilat dengan lidah tiga kali, digosokkan pada bahu
kanan tiga kali, pada tulang punggung (tengah gigirna pang tiga), kemudian daun
alang-alang ditaruh.
9. Pungu-pungu ring wuwunan ping tiga yaitu
suatu upacara untuk ubun-ubun.
10. Diambilkan pancakorsika (alang-alang) cincin
kalpika dan gunting diperciki tirtha.
11. Magunting : rambut calon diksita digunting 5
kali, yang diawali dengan rambut bagian depan (ring arep), rambut bagian kanan
(ring tengen), rambut bagian belakang (ring kuri), rambut samping kiri (ring
kiwa), dan rambut bagian tengah (ring pusehan).
12. Halap atmanya : jiwa sisya diambil.
13. Dinagdha malaning sariranya : tubuh beserta
kekotorannya dibakar (api gaib).
14. Api membakar dihentikan (pademi)
15. Merta Kramaning : sisya matirtha, Sanghyang
atma diturunkan kembali.
16. Guru nabe karasadhananing yaitu mengadakan
pemujaan, setelah itu sisya kekaduti sekar (disuntingkan bunga di dada).
17. Didadanya mohana
cecatu : “Wawisik dari guru nabe, dautang prastawa” : cincin sisya diambil
nabe, tutulakna dienjung ring siwadwaranya ping tiga : diusapi bunga tunjung
ubun-ubunnya tiga kali.
18. Pangpadhayadi : guru nabe memberikan bhasma,
sirowista, diperciki air suci siwamba, anecepi, maraup tiga kali.
19. Nuhun sekah : sisya menunjang sekah dewa-dewa
disertai peras dan sesarik.
20. Tetebus : sisya matebus.
21. Guru nabe nyiratang tirtha pada bebanten
sesayut, dana jerimpen, bebangkit.
22. Angayab sayut : sang sisya ngayab atau
nganteb sayut.
23. Masirat : sang sisya mendekat pada nabe
matirtha (matoya).
24. Majaya-jaya : sang sisya majaya-jaya oleh guru
nabe dengan prana bayu merti bhuwana.
25. Tatabi dupidipa : sisya ngayab atau natab dupa.
26. Sang sisya minum air suci siwamba.
27. Amet tetebus : diberikan tetebus sang sisya,
dicium 3 kali kemudian ditaruh di hulu hati (ring radaya).
28. Wehi wija : sisya diberi bija dimakan
(anguntal), ini berarti pawisik sasimpenan.
29. Wehi sekar : sisya diberi sekar (bunga).
30. Malaba padambel : sisya mapadambel.
31. Manyembah : terakhir sisya menyembah mapamit
pada kaki guru nabe (raris tamuita anikel ri pada nira dang guru panembaha),
lanjut menerima biseka dari nabe.
32. Demikianlah urutan upacara diksa telah berakhir
(Tim Penyusun, 1995:146-148)
1.1.2 Prayoga-sandhi
Prayogasandhi, yakni keadaan tidur
seroang pandita, tidak mimpi, tidak gelisah, ia mencapai Moksa dalam tidurnya
(Gunawan, 2012:55).
1.1.3 Sang Hyang Pranawa-Jnana Kamoksan
Sang Hyang Pranava-Jnana Kamoksan
menjelaskan berbagai nama Omkara seperti Pranava, Visvam, Ghosa, Ekaksara,
Tumburu-Tryaksraga, dan posisi dalam tubuh serta 12 Angula tingginya rambut di
kepala diikat (Gunawan, 2012:55).
1.1.4 Sang Hyang Prannava Tridevi
Sang Hyang Prannava Tridevi terdiri dari
Upmapati, Sri Devi dan Sarasvati (Gunawan, 2012:55).
1.1.5
Sang Hyang Kawuwusan Jati Wisesa
Sang Hyang Kawuwusan Jati Wisesa,
menjelaskan tentang 3 jalan menuju kematian: Nistha di ubun-ubun, Madha di
ujung hidung, dan Uttama di mulut(Gunawan, 2012:55). Ketiga jalan ini
menyebabkan tidak akan dilahirkan lagi sebagai manusia, karena sudah menyatu
dengan Sang Pencita (Sastra, 2008:216).
Sang Hyang Kawuwusan Jati Wisesa juga
menjelaskan tentang Sang Hyang Siva yang tinggal di pusat sukla (kesucian) .
1.1.6 Nirmala-jnana-sastra
Nirmala-jnana-sastra (ajaran tentang
kesucian pengetahuan) menjelaskan melenyapkan kotoran bathin (klesa).
Menyebutkan ajaran Catur Paramartha yaitu Adhisthana (kalepasan/moksa),
Pratissa atau Pratia adalah kamoksaan, Santi bernama kamuktan (kebebasan).
Santyatita berarti kanirbanan (pemusnahan) (Gunawan, 2012:55).
1.1.7
Panca Paramartha
Panca Paramartha (lima keutamaan) jalan
untuk menjelma kembali sebagai manusia, yakni tempat orang-orang bijaksana
mencapai kebebasan saat kematian terdiri dari 5 tempat bagi Parama Visesa,
yakni: pusar, hati, leher, bibir, dan ujung hidung, dan menjadi Sad Paramartha
bila ditambah kadali-puspa (bunga jantung pisang) (Gunawan, 2012:55).
1.1.8 Sang Hyang Naisthika-Jnana
Sang Hyang Naisthika-Jnana (Pengetahuan
Yang Sempurna) menjelaskan pengetahuan tentang Siva merupakan rahasia yang
sangat tinggi, dan Pengetahuan tentang Siva (Sivajnana) tanpa banding. Sangat
sulit mencarikan padanannya karena menyebabkan Moksa (Kebebasan). Dan lakukan
ini juga, sunya tapa bentuknya yang abadi disebut tanpa bentuk tinggalkan,
pengetahuan tentang subha-asubha tinggalkan, juga perbuatan tentang dharma dan
adharma tinggalkan (Gunawan, 2012:55-56).
1.1.9
Sang Hyang Mahavindu
Sang Hyang Mahavindu (Rahasya
Mahavindhu). Mahavindu dianggap Satu, terbagi menjadi dua para-apara, dan juga
sekala-niskala. Kembali vindu menjadi lima, mereka adalah pancasakti, yang Satu
adalah niskala-vindu, empat yang lainnya adalah sekala-vindu (Gunawan,
2012:55).
1.1.10
Sang Hyang Sapta Omkara
Sang Hyang Sapta Omkara. Saptatma adalah
Sang Yajamana (pelaksana yajna), tujuh suara Om adalah api upacara korban,
badan adalah kundagni, ia korbankan semua keinginannya (Gunawan, 2012:56).
Om-kara juga disebut Pula pranawa, visva, Ghosa, ekaksara,Tumburutriaksarangga
(Sastra, 2008:214)
1.1.11
Sang Hyang Pancavimsati
Sang Hyang Pancavimsati yaitu 25 yang
Suci, objek Suara Om. Suara A memiliki 10 mantra, U 10 mantra, MA 3 mantra, dan
2 sebagai kaki di angkasa (Gunawan, 2012:56).
1.1.12 Sang Hyang Dasatma Sang Hyang Vindu Prakriya
Sang
Hyang Dasatma Sang Hyang Vindu Prakriya yaitu 10 roh upacara Vindu. Aksara suci
Om memiliki 4 wujud, yaitu: Dvipana, Brahmanga, Sivanga, dan Amrta-kundalini
(Gunawan, 2012:56).
1.1.13
Pancatma
Pancatma (Lima Roh). Pancabayu dikenal
dengan Pancatma. Pancatma juga Pancaksara: prana, apana, samana, udana, dan
juga byana, atma, paratma, antaratma, dan niratma (dalam aksara suci)
VYO-MA-VYA-PI-NE (Gunawan,2012:56)
1.1.14
Sang Hyang Upadesa-samsha
Sang Hyang Upadesa-samsha (Semua Ajaran
Suci). Svasa, nihsasa dan samyoga disebut Tryatma, juga disebut Trisiva dan
Tripurusa, ekatma dan sunya (Gunawan,2012:56).
1.1.15 Sad-angga-yoga
Sad-anga-yoga yaitu Enam tingkatan Yoga
yang terdiri dari
1) Pratyahara
Pratyahara artinya mengotrol dan manarik
sesuatu indrya dari wilayah sasaran dan menempatkannya di bawah pengawasan
pikiran agar tidak lagi menginginkan lagi kenikmatannya masing-masing. Hal yang
penting dilakukan seorang murid yoga adalah mampu menghindarkan nafsu, melepaskan
semua alat indrya dalam hubungannya dengan nafsu-nafsu diupayakan agar sejajar
dengan aktivitas alam pikiran (citta)
ke dalam bentuk aslinya (swarupa),
bebas dari vritti (kegoncangan
pikiran). Pelaksanaan praktyasa dalam yoga ditunjukan kepada Tuhan agar Beliau
bersedia membimbingnya (Bahan ajar Darsana).
Indriyanindriyarthebhyo
Visayebhayah prayatatah,
Santena manasahrtya
Pratyaharo nigadyate
Pratyahara-yoga ngaranya, ikang
sarwendriya winatek haywa wineh ring wisayanya, kinempel ing cittha maho
malilang, enak pwa henangheningnya. Mari wisaya. Yeka pratyahara-yoga ngaranya
Artinya
:
Yang dinamakan pratyahara-yoga
ialah semua indra hendaknya ditarik dan tidak diserahkan pada kekuatan panca
indera. Indera itu hendaknya dipusatkan didalam batin yang hening, yang
kemurniannya menyenangkan, sedangkan indera-indera itu tidak aktif lagi. Itulah
yang dinamakan pratyahara-yoga (Tim Penyusun, 2000:77)
2) Dhyana
Dyana berarti aliran pikiran yang tenang
pada obyek tak tergoyahkan oleh gangguan sekelilingnya. Hal ini menyebabkan
orang memiliki gambaran yang jelas tentang bagian-bagian dan aspek obyek
renungan (Adiputra,1984:71).
Nirdvandvam nirvikaram ca
Nisaktam acalam tatha,
Yad dhruvam dhyayate nityam
Tad dhyanam iti kathyate
Dhyana ngaranya, ikang ambek tan
parwa-rwana, tan wikara, enak hening-heningnya, nircancala, umideng tan
kawaranam, ekacittanusmarana pinakalaksananya. Yeka dhyana-yoga ngaranya
Artinya :
Yang dinamakan dhyana-yoga ialah
batin hendaknya tak terbagikan, tak berubah, dalam kemurniannya menyenangkan,
tak dapat digerakkan, tetapi teguh, tak terhalang, sedangkan cirinya yang khas
yaitu dalam konsentrasinya ekacitta. Itulah yang dinamakan dhyana-yoga (Tim
Penyusun, 2000:77-78)
3) Pranayama
Pranayama artinya pengaturan nafas.
Pranayama ini terdiri dari : puraka yaitu pemasukan nafas, kumbhaka yaitu
menahan nafas dan recaka yaitu mengeluarkan nafas. Pengaturan nafas berguna
untuk mengawasi pemusatan pikiran sebab ia membantu menguatakan badan dan
meneguhkan pikiran (Adiputra,1984:70-71).
Pidhitva sarva-dvarani
Bayum vahyam prayacchati,
Murdhanam bayunodbhidya
Pranayamo nigadyate
Pranayama ngaranya : tutupana ng
dwara kabeh : mata, irung, kapo, tutuk. Nda ikang bayu rumuhun isep, wetwakena
ring wunwunan. Kunang yan tan dharaka, dadi wineh mahawana ring irung, pahalon
ikang bayu. Yeka pranayama ngaranya.
Artinya :
Inilah yang dinamakan pranayama,
tutuplah semua lubang mata, hidung, mulut dan telinga. Sesudahnya nafas harap
dihirup sebelum dikeluarkan lewatnubun-ubun. Tetapi apabila ini tidak dapat
ditahan, boleh juga nafas dikeluarkan lewat hidung perlahan-lahan. Inilah yang
dinamakan pranayama (Tim Penyusun, 2000:78)
4) Dharana
Dharana ialah memegang dan memusatkan
pikiran pada sasaran yang diingini. Sasaran yang diingini itu boleh
bagian-bagian tubuh sendiri seperti dahi, boleh juga obyek luar seperti bulan,
arca dan sebagainya. Kemampuan untuk memegang pikiran tetap terpusat pada suatu
obyek adalah ujian memasuki tingkatan yoga yang lebih tinggi (Adiputra,1984:71).
Omkaram hrdaye sthpya
Tato linam sivatmakam,
Sunyatma srutaye nasti
Dharanam iti kathyate
Dharana-yoga ngaranya : omkara
pranawa hana ring hrdaya. Ya teka dharanam. Yapwan hilang mari karengo ri kala
ning yoga, ya teka sunya siwatma kawak bhatara. Yeka dharana-yoga ngaranya.
Artinya :
Inilah yang dimaksud dengan
dharana-yoga, sukukata Om yang suci ditempatkan didalam jantung. Bhatin
hendaklah dipusatkan disana. Bila ia lenyap dan tak didengar lagi pada saat
yoga dilaksanakn, maka ia menjadi sunya, siwatma yang terwujud oleh bhatara.
Itulah yang dinamakan dharana-yoga (Tim Penyusun, 2000:79)
5) Tarka
Tarka menyatukan pikiran
(Sastra,2008:215)
Cittam akasavac chuddham
Nakasam eva tattvatah,
Paramarthat tu nihsabdam
Tarkayogo bhidhiyate
Tarka-yoga ngaranya : kady aksa
rakwa sang hyang paramartha. Nda tan aksa wih, apan tan hana sabda irinya. Yeka
kalingan ing paramartha, palenira sakeng awan-awan, tuhun papadanira ring malilang.
Yeka tarka-yoga ngaranya.
Artinya :
Yang dinamakan tarka-yoga ialah
memang sang hyang paramartha itu bagaikan langit, tetapi sebetulnya bukan
langit, karena tak terdapat suara didalamnya. Itulah arti paramartha, berbeda
dengan cakrawala, sekalipun terangnya sama. Itulah yang dinamakan tarka-yoga
(Tim Penyusun, 2000:79-80)
6) Samadhi.
Inilah tahap terakhir dalam pelaksanaan
ajaran yoga. Dalam Samadhi pikiran telah lebur menyatu dengan obyek renungan
dan tidak ada kesadaran akan dirinya sendiri. Dalam Dhyana antara gerak pikiran
dengan obyek renungan masih terpisah. Namun dalam Samadhi hal itu sudah tidak
ada. Maka yang ada hanyalah obyek renungan yang bercahaya dalam pikiran dan
orang sudah tidak menyadari lagia adanya proses pikiran. Dengan demikian
Samadhi bukan lagi pengendalian pikiran seperti tahap-tahap sebelumnya.
Tahap-tahap ini mendahului hanya sarana untuk meningkat pada tujuan akhir (Adiputra,1984:71-72).
Nirupaksam nihkalpanam
Niralambana-nihsprham,
Niravaranam mihsadhyam
Samadhis tu nigadyate
Samadhi-yoga ngaranya : ikang jnana
tan pangupeksa, tan pangalpan, tan panawak, tan hana kahyun iriya, tan hana
sadhyanira, malilang tan kawaranan. Yeka Samadhi-yoga ngaranya, ling bhatara.
Artinya :
Inilah yang dinamakan Samadhi-yoga,
batin tidak cemas, tidak mempunyai konsep-konsep, tidak memiliki sesuatu, tak
ada keinginan, tak ada obyek, jernih tanpa halangan. Itulah yang dinamakan
Samadhi-yoga, sabda Bhatara (Tim Penyusun, 2000:80)
Demikianlah yang dinamakan sadangga-yoga
dalam Jnana Siddhanta sebagai ajaran siwatattwa untuk menuju Tuhan.
1.1.16
Sang Hyang Atmalinga
Sang Hyang Atmalinga, Lingodbhava
(Rahasia Atmalinga dan penampilan Linga). Ujung bunga teratai adalah akar dari
hati, pahit dan hitam diikat, hal itu sangat pekat, Ia adalah raja alam
semesta, dan itulah sthana Sang Hyang Siva (Gunawan,2012:56)
Dalam melaksakan Yoga harus mewujudkan Atma Lingga dalam diri. Atma Lingga
adalah mewujudkan Sang Hyang Ongkara dan Tri Aksara dalam diri yang berstana
dalam batin (Sastra,2008:215).
1.1.17 Utpati-Sthiti-Pralina Sang Hyang Pranava
Utpati-Sthiti-Pralina Sang Hyang Pranava
(Kemunculan, Pemeliharaan, dan Kembalinya aksara suci Om). Dari yang Tidak
Berwujud (Niskala) muncul nada (resonansi), dari nada muncul vindu, dari vindu
muncul ardhacandra, dari ardhacandra muncul visva (suara Om) dan berulang
muncul kembali (Gunawan,2012:56).
1.1.18
Caturdasaksara-pinda, Utpati-Sthiti-Pralina
Caturdasaksara-pinda,
Utpati-Sthiti-Pralina (Wujud 14 Aksara suci, Kemunculan, Pemeliharaan, dan
Peleburan Kembali). Dari Siva muncul Atma, dari Atma muncul Prakerti, dari
Prakerti muncul matahari, dari matahari muncul api. Lebih jauh dijelaskan asal
dan kembalinya 14 aksara suci.
1.1.19
Sang Hyang Bhedajnana
Sang Hyang Bhedajnana, diajarkan tentang
rahasia ajaran bhedajnana, tinggi dan suci. Siapa yang memiliki pengetahuan
ini, menguasai dunia dan badannya dan akan mencapai Siva (Gunawan, 2012:57)
1.1.20
Sang Hyang Mahajnana
Sang Hyang Mahajnana (Pengetahuan Yang
Agung dan Suci) menjelaskan pengetahuan tentang sang Hyang Siva yang suci
(Gunawan, 2012:113).
Sanghyang mahajnana terdiri atas 87 pasal
menggunakan bahasa sanskerta dan bahasa jawa kuna. Bahasa sanskertanya disusun
dalam bentuk sloka dan bahasa jawa kunanya disusun dalam bentuk bebas
(gancaran) yang dimaksudkan sebagai terjemahan/penjelasan bahasa sanskertanya.
Sanghyang maha jnana mengandung ajaran yang bersifat Siwaistik tang pada
intinya mengajarkan mengenai cara untuk mencapai kelepasan, bersatu dengan sang
pencipta yaitu Bhatara Siwa. ajarannya disampaikan dalam bentuk dialog, Tanya
jawab (Gunawan, 2012:75)
1.1.21 Sang Hyang Benem Wunkal
Sang Hyang Benem Wunkal (Abu dan tulang
suci). Menjelaskan usaha pembebasan seperti cahaya nyala lampu, terang seperti
busur (pelangi) Dewa Indra, membebaskan diri dari keterikatan (Gunawan,
2012:113).
1.1.22 Pranayama, Samksipta-Puja
Pranayama, Samksipta-puja (Pengendalian
nafas, Pemujaan yang Singkat) menjelaskan tentang keutamaan pernafasan bagi
seorang yang tekun mengabdi Dharma, mengikuti semua perintah guru. Dijelaskan
pula jalannya nafas dari lubang hidung kiri, kanan dan sebagainya (Gunawan,
2012:113).
Dalam pelatihan yoga pernafasan perlu
diatur untuk membersihkan darah, mengawasi pemusatan pikiran, karena sangat
menguatkan badan-badab dan memeguhkan pikiran. Pranayama dilakukan dengan tiga cara yakni menarik nafas panjang dan dalam-dalam (puraka), menahan nafas (kumbaka), dan mengeluarkan nafas (caraka). Latihan prananyama dilakukan melalui tahap-tahap
(Bahan ajar Darsana).
1.1.23 Sang Hyang Kaka-Hamsa
Sang Hyang Kaka-Hamsa, menjelaskan tujuh
perbedaan karakter dari ajaran yang disebut Siddhanta(Gunawan,2012:113).
1.1.24 Sang Hyang Tirtha, Sapta Samudra, Sapta Patala
Sang Hyang Tirtha Sapta Samudra Sapta
Patala (tujuh Air Suci, Tujuh Samudra, dan Tujuh Neraka) menjelaskan
masing-masing tersebut dan posisinya dalam tubuh manusia(Gunawan,2012:113).
1.1.25
Sang Hyang Saiva Siddhanta
Sang Hyang Saiva Siddhanta merupakan
ajaran suci dianggap warnanya putih bagi mereka yang tidak ingin aneka warna.
Disebut meresapi segala, seperti halnya mentega cair yang jernih dari susu
(Gunawan,2012:114).
1.1.26
Utpatti-Sthiti-Pralinna Sang Hyang Vindu-Abhyasntara
Utpatti-Sthiti-Pralinna Sang Hyang
Vindu-Abhyasntara. Sang Hyang Siva menjelaskan rahasia ajaran Siddhanta kepada
Dewi Uma dan Kumara tentang hal tersebut diatas. Aksara suci perwujudan dewata
serta posisinya di alam semesta dan di tubuh manusia (Gunawan,2012:114).
1.1.27
Jnana Siddhanta
Jnana Siddhanta menjelaskan rahasia dan
siapa saja yang menguasai ilmu ini, apakah anak-anak, orang yang telah berumur,
dan bahkan para pertapa. Bila mempelajarinya dengan baik pada saatnya nanti
akan bersatu dengan Sang Hyang Siva (Gunawan,2012:114).
BAB III
PENUTUP
Simpulan
Dari materi yang telah
di uraikan, dapat kami simpulkan bahwa sumber-sumber dari ajaran Siva Siddhanta
sangat bermanfaat kita ketahui seperti salah satu sumber dari Siva Siddhanta
yaitu Jnana Siddhanta.
Ajaran Jnanasiddhanta pada umumnya
mengandung ajaran Kelepesan atau Kemoksaan yaitu menyatunya Atma kepada sumber
asalnya.
Lontar
ini merupakan lontar yang amat penting artinya dalam upaya untuk memahami
ajaran Ketuhanan yang dianut oleh umat Hindu khususnya yang di Bali. Dikatakan
bahwa lontar ini adalah sebuah kompilasi yang mernuat ajaran Saiwasiddhanta,
oleh karena ada beberapa bagian dalam lontar Jnanasiddhanta ini yang juga
terdapat pada lontar lain, misalnya ada pada Bhuwanakosa, Ganapatitatwa dan
sebagainya.
Isinya pada
prinsipnya adalah tentang "Kamoksaan" menurut ajaran Saiwasiddhanta.
Keseluruhan isinya terdiri dari 27 Judul, yaitu: Catur Viphala, Prayoga-sandhi,Sang
Hyang Pranawa-Jnana Kamoksan, Sang Hyang Branawa-Tridevi, Sang Hyang Kahuwusan
Jati-visesa, Nirmala-jnana-sastra, Panca Paramartha, Sang Hyang Naisthika-Jnana, Sang Hyang Maha Vindu, Sang
Hyang Saptongkara, Sang Hyang Pancavimsati , Sang Hyang Dasatma-Sang Hyang
Vindu-Prakriya, Pancatma, Sang Hyang
Upadesa-Samuha, Sad-angga-yoga, Sang Hyang Atma-lingga, Lingodbhava, Utpeti-sthiti-pralina,
Sang Hyang Pranava
Caturdasaksara-pindha, Utpati-sthiti Pralina, Sang Hyang Bhedajnana, Sang Hyang Mahajnana, Sang Hyang Benem Vungkal, Pranayama, Sangksipta-puja
Sang Hyang Kaka-Hamsa, Sang Hyang Tirtha, Sapta Samudra-Sapta-Patala
Sang Hyang Saivasiddhanta ,Utpati-Sthiti-Pralina Sang Hyang Vindu, Abhyantara , Jnanasiddhanta.
Caturdasaksara-pindha, Utpati-sthiti Pralina, Sang Hyang Bhedajnana, Sang Hyang Mahajnana, Sang Hyang Benem Vungkal, Pranayama, Sangksipta-puja
Sang Hyang Kaka-Hamsa, Sang Hyang Tirtha, Sapta Samudra-Sapta-Patala
Sang Hyang Saivasiddhanta ,Utpati-Sthiti-Pralina Sang Hyang Vindu, Abhyantara , Jnanasiddhanta.
Daftar
Pustaka
Adiputra, I Gede Rudia,1984. Tattwa Darsana. Jakarta : DEMPAG
Gunawan, I Ketut Pasek. 2012. Pengantar
Bahan Ajar Sivasiddhanta I. Denpasar
:IHDN.
Gunawan, I Ketut Pasek. 2012. Pengantar
Bahan Ajar Sivasiddhanta II.
Denpasar
:IHDN.
Sastra, Gde Sara, 2008. Hujangga Waisnawa dan Sang Trini. Denpasar
: Pustaka
Bali
Pos.
Tim Penyusun, 1995. Panca Yadnya. Denpasar : PHDI
Tim Penyusun, 2000. Siwatattwa. Denpasar : PHDI
--------------. Buku Ajar Darsana.
Singaraja : IHDN.
Geen opmerkings nie:
Plaas 'n opmerking