Donderdag 16 Januarie 2014

Tugas Kelompok Siva Siddhanta, Smstr V



TUGAS SIVA SIDDHANTA II
“JNANA SIDDHANTA”

Dosen Pengampu: I Ketut Pasek Gunawan S. Pd. H



 




IHDN DENPASAR

Nama Kelompok :
            1.       Ni Nyoman Adi Handayani                             (10.1.1.1.1.3878)
            2.       I Ketut Juli Sastrawan                                     (10.1.1.1.1.3879)
            3.       Luh Ari Liani                                                    (10.1.1.1.1.3880)
            4.       Luh Widyaningsih                                            (10.1.1.1.1.3881)
            5.       I Kadek Sindhu Parwita Susanto                   (10.1.1.1.1.3882)
            6.       Ni Luh Putu Sri Musiartini Setiawati             (10.1.1.1.1.3883)
            7.       Komang Trisna Sukratini                                (10.1.1.1.1.3884)
            8.       Luh Evi Wiani                                                  (10.1.1.1.1.3885)
            9.       Kd Suseka Mahadewi                                      (10.1.1.1.1.3886)
            10.     Agus Hari Kristiyasa Mandala                        (10.1.1.1.1.3888)


JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA HINDU
FAKULTAS DHARMA ACARYA
INSTITUT HINDU DHARMA NEGERI DENPASAR
2012


BAB I
PENDAHULUAN

       Agama Hindu adalah agama yang universal. Semua Agama berawal dari sejarah. Namun sangat sulit di jaman sekarang menentukan sesungguhnya sejak kapan agama itu di mulai. Awal permulaan dari Agama Hindu khususnya Agama Hindu di Bali adalah adanya penyatuan seluruh sekte yang ada menjadi sekte Siva Siddhanta. Penyatuan sekte Siva Siddhanta mengalami perjalanan yang sangat panjang.   
       Dari semua sekte yang ada seperti sekte Pasupata, Bhairawa, Siwa Shidanta, Waisnawa, Bodha, Brahma, Resi, Sora dan Ganapatya. Diantara sekte-sekte tersebut, sekte Siwa Shiddhantalah yang merupakan sekte paling dominan. Maka dari itu untuk mengetahui sejarah perjalanan dan mengetahui hal-hal yang terdapat dalam Siva Siddhanta di perlukannya bebagai sumber, baik itu sumber yang berupa cerita, seperti Itihasa dll, atau berbagai sumber ajaran yang ada seperti lontar-lontar. Ada berbagai sumber ajaran yang ada dalam Siva Siddhanta yaitu Bhuvanakosa, Jnana Siddhanta, Vrhaspatitattva, Ganapattattva, Tattvajnana, Purvabhumikemulan, Sanghyang Manahajnana.
       Semua sumber-sumber ajaran ini berisikan ajaran-ajaran yang berkaitan dengan Siva Siddhanta. Disetiap atau di masing-masing sekte yang telah terkristalisasikan dalam Siva Siddhanta memuja dewa-dewa yang menjadi kenyakinannya dalam masing-masing sekte dengan simbol dan upacara yang berbeda-beda.
       Maka dengan latar belakang ini, kelompok kami membahas sumber-sumber ajaran Siva Siddhanta yaitu Jnana Siddhanta. Jnana Siddhanta membahas tentang kemoksaan atau bersatunya atma dengan asalnya atau brahma. Jnana siddhanta merupakan lontar yang amat penting artinya dalam upaya untuk memahami ajaran Ketuhanan yang dianut oleh umat Hindu khususnya yang di Bali. Keseluruhan dari Jnana Siddhanta terdiri dari 27 Judul
      


BAB II
PEMBAHASAN

1.1  Jnana Siddhanta
       Perkembangan Siva Sinddhanta khususnya di Bali, bisa dikaji dari sumber-sumber ajaran yang ada seperti Bhuvanakosa, Jnana Siddanta, Vrhaspatitattva, Ganapattattva, Tattvajnana, Purvabhumikemulan, dan Sanghyang Manahajnana. Akan dijelaskan lebih rinci lagi tentang Jnana Siddhanta.
       Ajaran Jnanasiddhanta pada umumnya mengandung ajaran Kelepesan atau Kemoksaan yaitu menyatunya Atma kepada sumber asalnya (Sastra, 2008:213). Seperti yang kita ketahui bersama moksa ialah salah satu sradha dalam Agama Hindu yang merupakan tujuan hidup tertinggi Agama Hindu. Manusia hidup di dunia dengan tujuan utamanya yaitu mencapai moksa.
       Dalam Jnanasiddhanta Tuhan disebut Betara Siwa. Beliau Maha Esa (Sa eko,Ekatva), Ia satu-satunya, tidak dua dan tidak pula tiga. Ia tidak jauh tidak juga dekat, ia tidak ada pada permulaan, tengah dan akhir. Ia tidak dapat musnah, maha sempurna. Tanpa tubuh,”nirajnanam”, teramat keci, sukar ditangkap  karena sangat halus, tanpa batas, ia merupakan kekuatan tertinggi (Sastra, 2008:213).
       IA yang Esa sering dipandang lebih dari satu (Aneka), karena bercirikan empat yaitu:
1.   Sthula ,artinya IA  dibayangkan tampak dalam Sabda Maya. Sabda-Maya artinya dituturkan dalam bentuk  Mantra.
2.   Suksma ,artinya IA  dibayangkan menjelma dalam Citta Maya,Citta –maya adalah dari pikiran yang terwujub dalam Pengetahuan.
3.   Para, artinya IA dibayangkan terjelma dalam Citta Wirahita.Citta-Wirahita  artinya ditingalkan oleh Akal Bhudi.
4.   Sunya, artinya IA dipandang sebagai Citta Rahitantya.Citta Rahitantya artinya sama dengan tidak memiliki ciri apapun (Sastra, 2008:213).
       Ia (Tuhan) atau juga disebut Bhatara Siwa, adalah sumber semua yang ada termasuk dewa-dewa dan manusia. Semua ini diciptakan melalui pemecahan diri Sanghyang Mahawindu, menjadi “para” dan “apara” dengan sarana Saktinya yang terdiri atas Dasasakti, Navasakti, Astasakti, Pancasakti, dan Trisakti. Tubuh manusia yang diciptakan oleh Bhatara Siwa, digambarkan sebagai sebuah misteri karena sulit di pahami dengan akal.Tubuh manusia adalah tiruan dunia yang besar atau juga disebut Bhuwana Agung, maka itu tubuh manusia disebut Bhuwana Alit. Dikatakan sebagai tiruan dunia yang besar karena apa yang ada disana (Bhuwana Agung) ada pula dalam tubuh manusia (Bhuwana Alit). Tubuh manusia di samping digambarkan sebagai tiruan dunia yang besar, ia (tubuh manusia) juga dilukiskan sebagai lambang OM Kara. Om-kara juga disebut Pula pranawa, visva, Ghosa, ekaksara,Tumburutriaksarangga.Tubuh manusia juga ditempati oleh dewa-dewa, sedangkan tenaga penggerak tubuh disebut ”Wayu” (Sastra, 2008:213-214).
       Menurut Jnanasiddhanta, tubuh tersebut juga dipenuhi oleh nadi yang berfungsi sebagai jalan pendaki atma menuju ubun-ubun, serta perjalanan prana dalam tubuh. Nadi yang ada dalam tubuh manusia adalah lambang sungai yang ada di alam besar (Bhuana Agung). Itulah gambaran tentang rahasia diri manusia, yang harus diketahui oleh orang-orang yang menginginkan Kelepasan. Menurut Jnanasiddhanta bahwa dalam Kelepasan semua akan kembali kepada Bhatara Siwa (surud ri sira), karena Beliau adalah pencipta semua yang ada (dadi sakeng Bhatara Siwa ika) (Sastra, 2008:213-214).
       Jnana siddhanta merupakan lontar yang amat penting artinya dalam upaya untuk memahami ajaran Ketuhanan yang dianut oleh umat Hindu khususnya yang di Bali. Dikatakan bahwa lontar ini adalah sebuah kompilasi yang memuat ajaran Siva Siddhanta, oleh karena ada beberapa bagian dalam lontar Jnana Siddhanta ini yang juga terdapat pada lontar lain, misalnya ada pada Bhuwanakosa, Ganapatitatwa dan sebagainya. Keseluruhan dari Jnana Siddhanta terdiri dari 27 Judul, yaitu:

1.1.1    Catur Viphala
       Catur Viphala ialah empat perbuatan yang tidak membuahkan hasil. Dalam arti menuju moksa, dan semuanya akan dapat dicapai bila telah melaksanakan diksavidhi-vidhana. Diksavidhi-vidhana yakni upacara penobatan menjadi pandita (Gunawan, 2012:55).
      

       Adapun beberapa rangkaian upacara diksa yaitu :
1.1.1.1 Upacara awal
1)    Upacara majauman
Sang calaon Diksita (suami istri) berkunjung ke rumah calon nabe dengan membawa betapa mestinya (Tim Penyusun, 1995:144)
2)    Sembah pamitan pada keluarga
Sang calon Diksita wajib menyembah orang tua yang masih hidup atau yang patut disembah, mohon restunya demi keselamatan pada saat dan sesudah didiksa. Calon Diksita juga minta ijin kepada sanak saudaranya yang umurnya lebih muda. Sembah kepada orang tua merupakan sembah terakhir, karena kemudiaanya seorang sulinggih tidak boleh menyembah siapapun yang masih walaka (Tim Penyusun, 1995:145)
3)    Upacara mapinton
Pertama ; ke segara gunung untuk membersihkan diri asuci laksana. Dalam hal ini sekurang-kurangnya ke kahyangan tiga. Kedua ; upacara mapinton ke merajan calon nabe yang langsung dipuput oleh calon nabe sendiri. Disamping untuk memohon restu, upacara ini juga mengandung makna sebagai perbekalan dan pernyataan ikatan secara resmi antara calon diksa dengan guru nabe. Upacara ini dilaksanakan menurut drsta (Tim Penyusun, 1995:145)

1.1.1.2 Upacara puncak
1)    Upacara mati raga atau penyekeban
Sebelum mati raga, calon Diksita dilukat oleh nabe dimerajan calon diksita dilanjutkan dengan muspa. Selesai upacara itu barulah calon diksita melakukan amati raga yaitu melakukan yoga. Busana serba putih, sikap tangan ngregep dan ngranasika, monobrata, dan upawasa. Upacara ini berlangsung sehari penuh yaitu sehari sebelum upacara diksa (Tim Penyusun, 1995:145)
2)    Upacara mandi
Upacara ini dilakukan pada dini hari sekitar pukul 05.00 waktu setempat. Upacara ini dilakukan oleh guru saksi, calon diksita pria dimandikan oleh guru saksi pria, sedangkan calon diksita perempuan dimandikan oleh guru saksi perempuan, dibantu oleh sanak keluarga calon diksita sendiri. Selesai mandi calon diksita berpakaiaan serba putih (sarwa petak), diantar menuju merajan tempat calon diksita melakukan diksa (Tim Penyusun, 1995:145-146)

1.1.1.3 Upacara Pokok
1.   Padanda nabe memuja atau ngarga.
2.         Calon diksita ada dihadapan sanggar atau melakukan upacara mabyakawon, kemudian dilanjutkan dengan muspa dituntun oleh nabe, langsung luhur amari sudana (ganti nama).
3.    Calon diksita menghadap kepada sang guru nabe matepung tawar (atepung tawar) segawu.
4.    Calon diksita membersihkan kaki kanan (wasa ijeng ring tengen) nabe, digosok dengan kayu putih diasapi tiga kali, digosok dengan minyak (dilisahi dening minyak), kaki tersebut ditaruhkan diatas ubun-ubun.
5.    Guru nabe memberikan kekuatan gaib kepada sisya antara lain dengan anilat empuning pada tengen.
6.    Anuhun pada guru nabe napak calon diksita.
7.    Diatas ubun-ubun diisi bunga tunjung yang dipotong delapan kali dengan gunting.
8.    Sambutang kuta pangaras yaitu diambilkan daun alang-alang diusapi badannya dan dikelilingi tiga kali (iderakna ring sariranya ping tiga), dijilat dengan lidah tiga kali, digosokkan pada bahu kanan tiga kali, pada tulang punggung (tengah gigirna pang tiga), kemudian daun alang-alang ditaruh.
9.    Pungu-pungu ring wuwunan ping tiga yaitu suatu upacara untuk ubun-ubun.
10.  Diambilkan pancakorsika (alang-alang) cincin kalpika dan gunting diperciki tirtha.
11.  Magunting : rambut calon diksita digunting 5 kali, yang diawali dengan rambut bagian depan (ring arep), rambut bagian kanan (ring tengen), rambut bagian belakang (ring kuri), rambut samping kiri (ring kiwa), dan rambut bagian tengah (ring pusehan).
12.  Halap atmanya : jiwa sisya diambil.
13.  Dinagdha malaning sariranya : tubuh beserta kekotorannya dibakar (api gaib).
14.  Api membakar dihentikan (pademi)
15.  Merta Kramaning : sisya matirtha, Sanghyang atma diturunkan kembali.
16.       Guru nabe karasadhananing yaitu mengadakan pemujaan, setelah itu sisya kekaduti sekar (disuntingkan bunga di dada).
17. Didadanya mohana cecatu : “Wawisik dari guru nabe, dautang prastawa” : cincin sisya diambil nabe, tutulakna dienjung ring siwadwaranya ping tiga : diusapi bunga tunjung ubun-ubunnya tiga kali.
18.  Pangpadhayadi : guru nabe memberikan bhasma, sirowista, diperciki air suci siwamba, anecepi, maraup tiga kali.
19. Nuhun sekah : sisya menunjang sekah dewa-dewa disertai peras dan sesarik.
20. Tetebus : sisya matebus.
21.  Guru nabe nyiratang tirtha pada bebanten sesayut, dana jerimpen, bebangkit.
22.  Angayab sayut : sang sisya ngayab atau nganteb sayut.
23. Masirat : sang sisya mendekat pada nabe matirtha (matoya).
24. Majaya-jaya : sang sisya majaya-jaya oleh guru nabe dengan prana bayu merti bhuwana.
25. Tatabi dupidipa : sisya ngayab atau natab dupa.
26. Sang sisya minum air suci siwamba.
27. Amet tetebus : diberikan tetebus sang sisya, dicium 3 kali kemudian ditaruh di hulu hati (ring radaya).
28.       Wehi wija : sisya diberi bija dimakan (anguntal), ini berarti pawisik sasimpenan.
29. Wehi sekar : sisya diberi sekar (bunga).
30. Malaba padambel : sisya mapadambel.
31. Manyembah : terakhir sisya menyembah mapamit pada kaki guru nabe (raris tamuita anikel ri pada nira dang guru panembaha), lanjut menerima biseka dari nabe.
32. Demikianlah urutan upacara diksa telah berakhir (Tim Penyusun, 1995:146-148)

1.1.2    Prayoga-sandhi
       Prayogasandhi, yakni keadaan tidur seroang pandita, tidak mimpi, tidak gelisah, ia mencapai Moksa dalam tidurnya (Gunawan, 2012:55).

1.1.3    Sang Hyang Pranawa-Jnana Kamoksan
       Sang Hyang Pranava-Jnana Kamoksan menjelaskan berbagai nama Omkara seperti Pranava, Visvam, Ghosa, Ekaksara, Tumburu-Tryaksraga, dan posisi dalam tubuh serta 12 Angula tingginya rambut di kepala diikat (Gunawan, 2012:55).

1.1.4    Sang Hyang Prannava Tridevi
       Sang Hyang Prannava Tridevi terdiri dari Upmapati, Sri Devi dan Sarasvati (Gunawan, 2012:55).

1.1.5    Sang Hyang Kawuwusan Jati Wisesa        
       Sang Hyang Kawuwusan Jati Wisesa, menjelaskan tentang 3 jalan menuju kematian: Nistha di ubun-ubun, Madha di ujung hidung, dan Uttama di mulut(Gunawan, 2012:55). Ketiga jalan ini menyebabkan tidak akan dilahirkan lagi sebagai manusia, karena sudah menyatu dengan Sang Pencita (Sastra, 2008:216).
       Sang Hyang Kawuwusan Jati Wisesa juga menjelaskan tentang Sang Hyang Siva yang tinggal di pusat sukla (kesucian) .

1.1.6    Nirmala-jnana-sastra
       Nirmala-jnana-sastra (ajaran tentang kesucian pengetahuan) menjelaskan melenyapkan kotoran bathin (klesa). Menyebutkan ajaran Catur Paramartha yaitu Adhisthana (kalepasan/moksa), Pratissa atau Pratia adalah kamoksaan, Santi bernama kamuktan (kebebasan). Santyatita berarti kanirbanan (pemusnahan) (Gunawan, 2012:55).



1.1.7    Panca Paramartha   
       Panca Paramartha (lima keutamaan) jalan untuk menjelma kembali sebagai manusia, yakni tempat orang-orang bijaksana mencapai kebebasan saat kematian terdiri dari 5 tempat bagi Parama Visesa, yakni: pusar, hati, leher, bibir, dan ujung hidung, dan menjadi Sad Paramartha bila ditambah kadali-puspa (bunga jantung pisang) (Gunawan, 2012:55). 

1.1.8    Sang Hyang Naisthika-Jnana
       Sang Hyang Naisthika-Jnana (Pengetahuan Yang Sempurna) menjelaskan pengetahuan tentang Siva merupakan rahasia yang sangat tinggi, dan Pengetahuan tentang Siva (Sivajnana) tanpa banding. Sangat sulit mencarikan padanannya karena menyebabkan Moksa (Kebebasan). Dan lakukan ini juga, sunya tapa bentuknya yang abadi disebut tanpa bentuk tinggalkan, pengetahuan tentang subha-asubha tinggalkan, juga perbuatan tentang dharma dan adharma tinggalkan (Gunawan, 2012:55-56).

1.1.9    Sang Hyang Mahavindu      
       Sang Hyang Mahavindu (Rahasya Mahavindhu). Mahavindu dianggap Satu, terbagi menjadi dua para-apara, dan juga sekala-niskala. Kembali vindu menjadi lima, mereka adalah pancasakti, yang Satu adalah niskala-vindu, empat yang lainnya adalah sekala-vindu (Gunawan, 2012:55).

1.1.10 Sang Hyang Sapta Omkara
       Sang Hyang Sapta Omkara. Saptatma adalah Sang Yajamana (pelaksana yajna), tujuh suara Om adalah api upacara korban, badan adalah kundagni, ia korbankan semua keinginannya (Gunawan, 2012:56). Om-kara juga disebut Pula pranawa, visva, Ghosa, ekaksara,Tumburutriaksarangga (Sastra, 2008:214)

1.1.11 Sang Hyang Pancavimsati
       Sang Hyang Pancavimsati yaitu 25 yang Suci, objek Suara Om. Suara A memiliki 10 mantra, U 10 mantra, MA 3 mantra, dan 2 sebagai kaki di angkasa (Gunawan, 2012:56). 
1.1.12  Sang Hyang Dasatma Sang Hyang Vindu Prakriya
Sang Hyang Dasatma Sang Hyang Vindu Prakriya yaitu 10 roh upacara Vindu. Aksara suci Om memiliki 4 wujud, yaitu: Dvipana, Brahmanga, Sivanga, dan Amrta-kundalini (Gunawan, 2012:56).

1.1.13 Pancatma
       Pancatma (Lima Roh). Pancabayu dikenal dengan Pancatma. Pancatma juga Pancaksara: prana, apana, samana, udana, dan juga byana, atma, paratma, antaratma, dan niratma (dalam aksara suci) VYO-MA-VYA-PI-NE (Gunawan,2012:56)

1.1.14 Sang Hyang Upadesa-samsha         
       Sang Hyang Upadesa-samsha (Semua Ajaran Suci). Svasa, nihsasa dan samyoga disebut Tryatma, juga disebut Trisiva dan Tripurusa, ekatma dan sunya (Gunawan,2012:56).

1.1.15  Sad-angga-yoga
       Sad-anga-yoga yaitu Enam tingkatan Yoga yang terdiri dari
1)    Pratyahara
       Pratyahara artinya mengotrol dan manarik sesuatu indrya dari wilayah sasaran dan menempatkannya di bawah pengawasan pikiran agar tidak lagi menginginkan lagi kenikmatannya masing-masing. Hal yang penting dilakukan seorang murid yoga adalah mampu menghindarkan nafsu, melepaskan semua alat indrya dalam hubungannya dengan nafsu-nafsu diupayakan agar sejajar dengan aktivitas alam pikiran (citta) ke dalam bentuk aslinya (swarupa), bebas dari vritti (kegoncangan pikiran). Pelaksanaan praktyasa dalam yoga ditunjukan kepada Tuhan agar Beliau bersedia membimbingnya (Bahan ajar Darsana).

       Indriyanindriyarthebhyo
            Visayebhayah prayatatah,
       Santena manasahrtya
            Pratyaharo nigadyate 
Pratyahara-yoga ngaranya, ikang sarwendriya winatek haywa wineh ring wisayanya, kinempel ing cittha maho malilang, enak pwa henangheningnya. Mari wisaya. Yeka pratyahara-yoga ngaranya
Artinya :
Yang dinamakan pratyahara-yoga ialah semua indra hendaknya ditarik dan tidak diserahkan pada kekuatan panca indera. Indera itu hendaknya dipusatkan didalam batin yang hening, yang kemurniannya menyenangkan, sedangkan indera-indera itu tidak aktif lagi. Itulah yang dinamakan pratyahara-yoga (Tim Penyusun, 2000:77)
2)    Dhyana
       Dyana berarti aliran pikiran yang tenang pada obyek tak tergoyahkan oleh gangguan sekelilingnya. Hal ini menyebabkan orang memiliki gambaran yang jelas tentang bagian-bagian dan aspek obyek renungan (Adiputra,1984:71).

       Nirdvandvam nirvikaram ca
            Nisaktam acalam tatha,
       Yad dhruvam dhyayate nityam
            Tad dhyanam iti kathyate

Dhyana ngaranya, ikang ambek tan parwa-rwana, tan wikara, enak hening-heningnya, nircancala, umideng tan kawaranam, ekacittanusmarana pinakalaksananya. Yeka dhyana-yoga ngaranya
Artinya :
Yang dinamakan dhyana-yoga ialah batin hendaknya tak terbagikan, tak berubah, dalam kemurniannya menyenangkan, tak dapat digerakkan, tetapi teguh, tak terhalang, sedangkan cirinya yang khas yaitu dalam konsentrasinya ekacitta. Itulah yang dinamakan dhyana-yoga (Tim Penyusun, 2000:77-78)
3)    Pranayama
       Pranayama artinya pengaturan nafas. Pranayama ini terdiri dari : puraka yaitu pemasukan nafas, kumbhaka yaitu menahan nafas dan recaka yaitu mengeluarkan nafas. Pengaturan nafas berguna untuk mengawasi pemusatan pikiran sebab ia membantu menguatakan badan dan meneguhkan pikiran (Adiputra,1984:70-71).
       Pidhitva sarva-dvarani
            Bayum vahyam prayacchati,
       Murdhanam bayunodbhidya
            Pranayamo nigadyate

Pranayama ngaranya : tutupana ng dwara kabeh : mata, irung, kapo, tutuk. Nda ikang bayu rumuhun isep, wetwakena ring wunwunan. Kunang yan tan dharaka, dadi wineh mahawana ring irung, pahalon ikang bayu. Yeka pranayama ngaranya.
Artinya :
Inilah yang dinamakan pranayama, tutuplah semua lubang mata, hidung, mulut dan telinga. Sesudahnya nafas harap dihirup sebelum dikeluarkan lewatnubun-ubun. Tetapi apabila ini tidak dapat ditahan, boleh juga nafas dikeluarkan lewat hidung perlahan-lahan. Inilah yang dinamakan pranayama (Tim Penyusun, 2000:78)
4)    Dharana
       Dharana ialah memegang dan memusatkan pikiran pada sasaran yang diingini. Sasaran yang diingini itu boleh bagian-bagian tubuh sendiri seperti dahi, boleh juga obyek luar seperti bulan, arca dan sebagainya. Kemampuan untuk memegang pikiran tetap terpusat pada suatu obyek adalah ujian memasuki tingkatan yoga yang lebih tinggi (Adiputra,1984:71).

       Omkaram hrdaye sthpya
            Tato linam sivatmakam,
       Sunyatma srutaye nasti
            Dharanam iti kathyate

Dharana-yoga ngaranya : omkara pranawa hana ring hrdaya. Ya teka dharanam. Yapwan hilang mari karengo ri kala ning yoga, ya teka sunya siwatma kawak bhatara. Yeka dharana-yoga ngaranya.
       Artinya :
Inilah yang dimaksud dengan dharana-yoga, sukukata Om yang suci ditempatkan didalam jantung. Bhatin hendaklah dipusatkan disana. Bila ia lenyap dan tak didengar lagi pada saat yoga dilaksanakn, maka ia menjadi sunya, siwatma yang terwujud oleh bhatara. Itulah yang dinamakan dharana-yoga (Tim Penyusun, 2000:79)
5)    Tarka
       Tarka menyatukan pikiran (Sastra,2008:215)

       Cittam akasavac chuddham
            Nakasam eva tattvatah,
       Paramarthat tu nihsabdam
            Tarkayogo bhidhiyate

Tarka-yoga ngaranya : kady aksa rakwa sang hyang paramartha. Nda tan aksa wih, apan tan hana sabda irinya. Yeka kalingan ing paramartha, palenira sakeng awan-awan, tuhun papadanira ring malilang. Yeka tarka-yoga ngaranya.
Artinya :
Yang dinamakan tarka-yoga ialah memang sang hyang paramartha itu bagaikan langit, tetapi sebetulnya bukan langit, karena tak terdapat suara didalamnya. Itulah arti paramartha, berbeda dengan cakrawala, sekalipun terangnya sama. Itulah yang dinamakan tarka-yoga (Tim Penyusun, 2000:79-80)
6)    Samadhi.
       Inilah tahap terakhir dalam pelaksanaan ajaran yoga. Dalam Samadhi pikiran telah lebur menyatu dengan obyek renungan dan tidak ada kesadaran akan dirinya sendiri. Dalam Dhyana antara gerak pikiran dengan obyek renungan masih terpisah. Namun dalam Samadhi hal itu sudah tidak ada. Maka yang ada hanyalah obyek renungan yang bercahaya dalam pikiran dan orang sudah tidak menyadari lagia adanya proses pikiran. Dengan demikian Samadhi bukan lagi pengendalian pikiran seperti tahap-tahap sebelumnya. Tahap-tahap ini mendahului hanya sarana untuk meningkat pada tujuan akhir (Adiputra,1984:71-72).
       Nirupaksam nihkalpanam
            Niralambana-nihsprham,
       Niravaranam mihsadhyam
            Samadhis tu nigadyate

Samadhi-yoga ngaranya : ikang jnana tan pangupeksa, tan pangalpan, tan panawak, tan hana kahyun iriya, tan hana sadhyanira, malilang tan kawaranan. Yeka Samadhi-yoga ngaranya, ling bhatara.
       Artinya :
Inilah yang dinamakan Samadhi-yoga, batin tidak cemas, tidak mempunyai konsep-konsep, tidak memiliki sesuatu, tak ada keinginan, tak ada obyek, jernih tanpa halangan. Itulah yang dinamakan Samadhi-yoga, sabda Bhatara (Tim Penyusun, 2000:80)
       Demikianlah yang dinamakan sadangga-yoga dalam Jnana Siddhanta sebagai ajaran siwatattwa untuk menuju Tuhan.

1.1.16 Sang Hyang Atmalinga         
       Sang Hyang Atmalinga, Lingodbhava (Rahasia Atmalinga dan penampilan Linga). Ujung bunga teratai adalah akar dari hati, pahit dan hitam diikat, hal itu sangat pekat, Ia adalah raja alam semesta, dan itulah sthana Sang Hyang Siva (Gunawan,2012:56)
       Dalam melaksakan Yoga harus mewujudkan Atma Lingga dalam diri. Atma Lingga adalah mewujudkan Sang Hyang Ongkara dan Tri Aksara dalam diri yang berstana dalam batin (Sastra,2008:215).

1.1.17  Utpati-Sthiti-Pralina Sang Hyang Pranava
       Utpati-Sthiti-Pralina Sang Hyang Pranava (Kemunculan, Pemeliharaan, dan Kembalinya aksara suci Om). Dari yang Tidak Berwujud (Niskala) muncul nada (resonansi), dari nada muncul vindu, dari vindu muncul ardhacandra, dari ardhacandra muncul visva (suara Om) dan berulang muncul kembali (Gunawan,2012:56).

1.1.18 Caturdasaksara-pinda, Utpati-Sthiti-Pralina
       Caturdasaksara-pinda, Utpati-Sthiti-Pralina (Wujud 14 Aksara suci, Kemunculan, Pemeliharaan, dan Peleburan Kembali). Dari Siva muncul Atma, dari Atma muncul Prakerti, dari Prakerti muncul matahari, dari matahari muncul api. Lebih jauh dijelaskan asal dan kembalinya 14 aksara suci.

1.1.19 Sang Hyang Bhedajnana      
       Sang Hyang Bhedajnana, diajarkan tentang rahasia ajaran bhedajnana, tinggi dan suci. Siapa yang memiliki pengetahuan ini, menguasai dunia dan badannya dan akan mencapai Siva (Gunawan, 2012:57)

1.1.20 Sang Hyang Mahajnana
       Sang Hyang Mahajnana (Pengetahuan Yang Agung dan Suci) menjelaskan pengetahuan tentang sang Hyang Siva yang suci (Gunawan, 2012:113).
       Sanghyang mahajnana terdiri atas 87 pasal menggunakan bahasa sanskerta dan bahasa jawa kuna. Bahasa sanskertanya disusun dalam bentuk sloka dan bahasa jawa kunanya disusun dalam bentuk bebas (gancaran) yang dimaksudkan sebagai terjemahan/penjelasan bahasa sanskertanya. Sanghyang maha jnana mengandung ajaran yang bersifat Siwaistik tang pada intinya mengajarkan mengenai cara untuk mencapai kelepasan, bersatu dengan sang pencipta yaitu Bhatara Siwa. ajarannya disampaikan dalam bentuk dialog, Tanya jawab (Gunawan, 2012:75)

1.1.21  Sang Hyang Benem Wunkal
       Sang Hyang Benem Wunkal (Abu dan tulang suci). Menjelaskan usaha pembebasan seperti cahaya nyala lampu, terang seperti busur (pelangi) Dewa Indra, membebaskan diri dari keterikatan (Gunawan, 2012:113).

1.1.22  Pranayama, Samksipta-Puja
       Pranayama, Samksipta-puja (Pengendalian nafas, Pemujaan yang Singkat) menjelaskan tentang keutamaan pernafasan bagi seorang yang tekun mengabdi Dharma, mengikuti semua perintah guru. Dijelaskan pula jalannya nafas dari lubang hidung kiri, kanan dan sebagainya (Gunawan, 2012:113).
       Dalam pelatihan yoga pernafasan perlu diatur untuk membersihkan darah, mengawasi pemusatan pikiran, karena sangat menguatkan badan-badab dan memeguhkan pikiran. Pranayama dilakukan dengan tiga cara yakni menarik nafas panjang dan dalam-dalam (puraka), menahan nafas (kumbaka), dan mengeluarkan nafas (caraka). Latihan prananyama dilakukan melalui tahap-tahap (Bahan ajar Darsana).

1.1.23  Sang Hyang Kaka-Hamsa
       Sang Hyang Kaka-Hamsa, menjelaskan tujuh perbedaan karakter dari ajaran yang disebut Siddhanta(Gunawan,2012:113).

1.1.24  Sang Hyang Tirtha, Sapta Samudra, Sapta Patala
       Sang Hyang Tirtha Sapta Samudra Sapta Patala (tujuh Air Suci, Tujuh Samudra, dan Tujuh Neraka) menjelaskan masing-masing tersebut dan posisinya dalam tubuh manusia(Gunawan,2012:113).

1.1.25 Sang Hyang Saiva Siddhanta
       Sang Hyang Saiva Siddhanta merupakan ajaran suci dianggap warnanya putih bagi mereka yang tidak ingin aneka warna. Disebut meresapi segala, seperti halnya mentega cair yang jernih dari susu (Gunawan,2012:114).

1.1.26 Utpatti-Sthiti-Pralinna Sang Hyang Vindu-Abhyasntara 
       Utpatti-Sthiti-Pralinna Sang Hyang Vindu-Abhyasntara. Sang Hyang Siva menjelaskan rahasia ajaran Siddhanta kepada Dewi Uma dan Kumara tentang hal tersebut diatas. Aksara suci perwujudan dewata serta posisinya di alam semesta dan di tubuh manusia (Gunawan,2012:114).

1.1.27 Jnana Siddhanta
       Jnana Siddhanta menjelaskan rahasia dan siapa saja yang menguasai ilmu ini, apakah anak-anak, orang yang telah berumur, dan bahkan para pertapa. Bila mempelajarinya dengan baik pada saatnya nanti akan bersatu dengan Sang Hyang Siva (Gunawan,2012:114).


BAB III
PENUTUP
Simpulan
       Dari materi yang telah di uraikan, dapat kami simpulkan bahwa sumber-sumber dari ajaran Siva Siddhanta sangat bermanfaat kita ketahui seperti salah satu sumber dari Siva Siddhanta yaitu Jnana Siddhanta.
       Ajaran Jnanasiddhanta pada umumnya mengandung ajaran Kelepesan atau Kemoksaan yaitu menyatunya Atma kepada sumber asalnya.
       Lontar ini merupakan lontar yang amat penting artinya dalam upaya untuk memahami ajaran Ketuhanan yang dianut oleh umat Hindu khususnya yang di Bali. Dikatakan bahwa lontar ini adalah sebuah kompilasi yang mernuat ajaran Saiwasiddhanta, oleh karena ada beberapa bagian dalam lontar Jnanasiddhanta ini yang juga terdapat pada lontar lain, misalnya ada pada Bhuwanakosa, Ganapatitatwa dan sebagainya.
       Isinya pada prinsipnya adalah tentang "Kamoksaan" menurut ajaran Saiwasiddhanta. Keseluruhan isinya terdiri dari 27 Judul, yaitu: Catur Viphala, Prayoga-sandhi,Sang Hyang Pranawa-Jnana Kamoksan, Sang Hyang Branawa-Tridevi, Sang Hyang Kahuwusan Jati-visesa, Nirmala-jnana-sastra, Panca Paramartha, Sang Hyang Naisthika-Jnana, Sang Hyang Maha Vindu, Sang Hyang Saptongkara, Sang Hyang Pancavimsati , Sang Hyang Dasatma-Sang Hyang Vindu-Prakriya, Pancatma, Sang Hyang Upadesa-Samuha, Sad-angga-yoga, Sang Hyang Atma-lingga, Lingodbhava, Utpeti-sthiti-pralina, Sang Hyang Pranava
Caturdasaksara-pindha, Utpati-sthiti Pralina, Sang Hyang Bhedajnana, Sang Hyang Mahajnana, Sang Hyang Benem Vungkal, Pranayama, Sangksipta-puja
Sang Hyang Kaka-Hamsa, Sang Hyang Tirtha, Sapta Samudra-Sapta-Patala
Sang Hyang Saivasiddhanta ,Utpati-Sthiti-Pralina Sang Hyang Vindu, Abhyantara , Jnanasiddhanta.


Daftar Pustaka


Adiputra, I Gede Rudia,1984. Tattwa Darsana. Jakarta : DEMPAG
Gunawan, I Ketut Pasek.  2012. Pengantar Bahan Ajar Sivasiddhanta I. Denpasar
                 :IHDN.
Gunawan, I Ketut Pasek.  2012. Pengantar Bahan Ajar Sivasiddhanta II.
                 Denpasar :IHDN.
Sastra, Gde Sara, 2008. Hujangga Waisnawa dan Sang Trini. Denpasar : Pustaka
                 Bali Pos.
Tim Penyusun, 1995. Panca Yadnya. Denpasar : PHDI
Tim Penyusun, 2000. Siwatattwa. Denpasar : PHDI
--------------. Buku Ajar Darsana. Singaraja : IHDN.







Geen opmerkings nie:

Plaas 'n opmerking