Donderdag 16 Januarie 2014

Tugas Individu Smstr V Meneliti Merajan



TUGAS SIVA SIDDHANTA II

“PENELITIAN MERAJAN”

Dosen Pengampu: I Ketut Pasek Gunawan S. Pd. H



 



IHDN DENPASAR
 Ni Luh Putu Sri Musiartini Setiawati
10.1.1.1.1.3883
PAH/semester V





JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA HINDU
FAKULTAS DHARMA ACARYA
INSTITUT HINDU DHARMA NEGERI DENPASAR
2012




 




 
I      PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
       Alangkah indahnya dan magisnya agama Hindu yang kita anut ini, yang mengandung penuh kehalusan seni budaya,falsafah-falsafah keagungan budi, yang sesungguhnya senantiasan menempa dan membesarkan jiwa kita.
       Begitu pula dengan sejarah dari adanya keturunan-keturunan generasi penerus. Kita ketahui, bahwa kehidupan kita terikat dengan sejarah. Sejarah dapat diartikan sebagai gambaran tentang peristiwa-peristiwa atau kejadian masa lampau yang dialami manusia, disusun secara ilmiah, meliputi urutan waktu tertentu, diberi tafsiran dan analisa kritis sehingga mudah dimengerti dan dipahami.
       Masyarakat Hindu di Bali masih kental pemahamannya tentang garis satu-kesatuan keturunan yang dikenal dengan Catur Warna artinya empat golongan karya dalam masyarakat Hindu yaitu Brahmana, Ksatria, Wesya, Sudra. Selain itu masyarakat juga mengenal dengan garis keturunan yang biasa disebut dengan Warga, seperti Warga Brahmana, Ksatrya, Arya, Pasek, dll.
       Maka dari itu perlunya kita untuk mengetahui sejarah garis keturunan keluarga kita khususnya dari para Leluhur maupun Kawitan kita sendiri. Untuk mengetahui hal itu sangatlah perlu kita melihat kebelakang, dalam artian mengorek lagi lebih dalam tetang riwayat maupun garis keturunan kita. Hal ini sangatlah bersifat Abstrak, mungkin sangatlah susah jika kita kaji secara ilmiah, namun demikian hal ini tidak bisa anggap remeh. Karena akibat dari kelalaian kita melupakan Leluhur atau Kawitan sangat berdampak negatif dan bisa dirasakan ketidakseimbangan dalam kehidupan seperti selalu ada masalah dalam keluarga, diluar keluarga yang mungkin diluar jangkauan fikiran dan diri manusia tersebut.
       Sebenarnya untuk berbakti kepada Leluhur atau Kawitan, kita bisa melakukannya melalui yadnya. Berbakti kepada Sang Hyang Widhi tidak cukup dengan melakukan pemujaan dalam bentuk doa melainkan kita bisa berbakti ke pada Sang Hyang Widhi melalui Yadnya, yaitu suatu persembahan suci dengan tulus iklas. Dalam buku Panca Yadnya (1995:1) menjelaskan bahwa pelaksanaan Yadnya sebagian besar pengembalian Tri Rna karena Weda mengajarkan Sang Hyang Widhi menciptakan alam semesta ini berdasarkan Yadnya. Maka dari itu yag bermoral akan merasa mempunyai hutang kepada Sang Hyang Widhi. Sebab itu untuk menyampaikan rasa berhutang, Umat Hindu melakukan Yadnya.  Cara ini bisa dilakukan dengan Panca yadnya, yang terdiri dari Dewa yadnya, Rsi Yadnya, Pitra Yadnya, Manusia Yadnya, Bhuta Yadnya (Tinggen, 2001:14). Untuk sembah bakti kita terhadap Leluhur atau Kawitan, kita bisa melaksanakannya melalui Pitra Yadnya. Pitra Yadnya yaitu persembahan atau kurban suci, karena Leluhur atau Ibu Bapak telah berjasa kepada preti sentana atau keturunan, karena beliau telah melahirkan, mengasuh, memelihara dan membiayai pendidikan  dan lain sebagainya atas dasar kasih sayang yang mendalam da tidak ternilai harganya. Oleh karena itu preti sentana berhutang budi yang besar terhadap Leluhur atau Ibu bapak yang menurut  ajaran Agama Hindu hutang itu disebut Pitra Rna yang merupakan salah satu bagian dari Tri Rna (Soebandi, 1981:11).
       Sesudah selesainya upacara Pitra Yadnya yang dimulai dengan upacara Sawa Wedana yang dilanjutkan dengan upacara Atma Wedana, lalu arwah Leluhur itu dibuatkan suatu bangunan suci di Pura keluarga yang lazim disebut Sanggah atau Marajan yang kemudian didalam sejarah perjalanan dan perkembangan preti sentana lalu lazim disebut Paibon, Panti, Dadya, dan Dadya Agung atau Merajan dan Merajan Agung sesuai dengan status dan fungsinya masing-masing dan yang terakhir adalah Pura Kawitan sebagai tempat melakukan persembahan dan sujud bhakti serta mengadakan hubungan dengan Leluhur yang telah berada dialam Dewa-dewa dengan status Bhatara Bhatari yang biasa disebut Kawitan dengan parhyangannya diberi nama Pura Kawitan (Soebandi, 1981:11). Kewajiban preti santana untuk melakukan persembahan dan sujud bakti ini tidak boleh diabaikan, karena akan membawa akibat fatal bagi preti sentana. Di dalam sebuah Bisama atau Piteket disebutkan demikian : Away kita lali lipya ring panyiwianta, yan kita lali lipya moga kita tan wus apacingngilah ring apasanakan, tan wus rundah, hana kene hana keto, sugih gawe kurang pangan, satata dan anemu karahajengan ;…….. dan seterusnya, artinya : Janganlah hendaknya kamu melupakan penyiwianmu (tempat suci menyembah terhadap Leluhur), kalau engkau melupakannya mudah-mudahan kamu tidak henti-hentinya bersengketa didalam keluarga, tidak pernah merasakan tenang, ada yang begini dan ada yang begitu, walaupun sudah giat bekerja, namun kehidupanmu selalu dalam kekurangan, senantiasa tidak pernah merasakan ketenangan dan keselamatan didalam kehidupanmu........ dan seterusnya (Soebandi, 1981:12).
       Bagi umat Hindu Bali tempat sembahyang yaitu sujud bhakti kepada-Nya adalah suatu bangunan suci yang disebut Pura atau Kahyangan dan dari tempat inilah melakukan pemujaan terhadap-Nya.
       Maka dari itu penulis melalui tugas ini akan menjelaskan hasil penelitian penulis tentang merajan yang ada di keluarga penulis. Namun perlu diketahui juga ada beberapa Metode yang digunakan penulis dalam melaksanakan tugas ini, diantaranya :
1.2  Metode Penelitian
       Ada beberapa metode yang digunakan dalam penelitian ini antara lain :

1.2.1    Metode Pengumpulan Data
       Penelitian ini dilaksanakan di Merajan penulis sendiri yaitu di Desa Penebel kelod, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan. Penulis memilih Merajan sendiri karena merajan ini yang paling sering di gunakan untuk persembahyangan keluarga besar. Namun dalam tugas ini, penulis juga menceritakan sedikit sejarah tetang asal usul mengapa merajan ini ada, dan sejarah tentang kawitan keluarga besar.
       Dari teknik yang digunakan ini, penulis hanya mengumpulakn data melalui pencatatan dokumen, observasi, wawancara. Alat yang digunakan yaitu berupa camera digital, HP, kertas, pulpen.

1.2.1.1 Teknik Pencatatan Dokumen
       Dari teknik ini, lebih banyak menggunakan sumber-sumber, yaitu buku, majalah, makalah, artikel. Hasil yang didapat dari penggunaan teknik ini adalah sejarah berdirinya Merajan di desa penebel kelod, kec Penebel, sejarah pura kawitan,  gambar-gambar pelinggih, Mantra, Ulap-ulap Pelinggih, Atribut (Hiasan), banten disetiap Pelinggih pada Merajan yang Odalannya jatuh pada Purnama Kalima.
1.2.1.2      Teknik Observasi
       Dari kamus besar bahasa indonesia Observasi berarti pengamatan, peninjauan, penyelidikan (Al Barry, 1994:456). Penulis melakukan pengamatan selama 1 minggu di merajan, dengan di dampingi oleh keluarga besar. Dalam pengamatan yang dilakukan, penulis hanya mendapat sedikit informasi, informasi-informasi tersebut akan dijelaksan dalam pembuatan tugas ini.

1.2.1.3      Teknik Wawancara
       Teknik ini digunakan untuk mendapatkan informasi yang seakurat mungkin dari informan. Penulis menggunakan satu informan yang merupakan Pemangku dalam keluarga penulis. Diharapkan dengan penggunaan teknik ini, bisa melengkapi penelitian kecil yang di laksanakan penulis sebagai tugas mata kuliah Siva Siddhanta.

II    PEMBAHASAN
       Dalam mencari garis keturunan atau kawitan, penulis masih mengalami kesulitan, karena ada dua fersi yang berbeda didapat dari hasil observasi maupun wawancara kepada informan. Informan menjelaskan bahwa ada dua fersi mengenai kawitan penulis, dua fersi itu ialah dari fersi pertama bahwa keluarga penulis merupakan keturunan dari Sri Nararya Kresna Kepakisan yang pura kawitannya ada di Pura Sada Kapal, Kab Badung dan fersi kedua bahwa keluarga penulis merupakan keturunan dari Sri Nararya Kresna Kepakisan yang pura kawitannya ada di Pura Dalem Dukuh Gelgel, Kab Klungkung.
       Keluarga penulis mempunyai penyanggre kawitan di Desa Pandak Gede, dari hal ini lah terdapat kerancuan apakah penyanggre kawitan di Desa Pandak Gede itu merupakan penyanggre dari kawitan yang ada di Kapal atau merupakan penyanggre kawitan yang ada di Dukuh Gelgel. Namun informan mengatakan benang merah dari masalah di atas, bahwa ada keterkaitan antara kawitan yang ada di Kapal dengan yang ada di Dukuh Gelgel.

2.1  Sejarah Pari Sentana Sri Nararya Kresna Kepakisan
       Setelah Raja Bali yang bergelar Gajah Waktra di Bedahulu, atau disebut juga Sri Astha Sura Ratna Bhumi Banten dapat dikalahkan oleh Mahapatih Gajah Mada pada tahun 1343 M, maka Gajah Mada menempatkan para arya yang mengiringi beliau di Bali. Patih Kerajaan Bedahulu Ki Pasung Grigis tidak dibunuh dan sebagai imbalannya maka Ki Pasung Grigis diperintahkan untuk menyerang Raja Sumbawa, Dedela Natha. Keduanya terbunuh, karena keduanya mempunyai kesaktian yang seimbang (sri-nararya-kresna-kepakisan(arya nyuh aya).html).
       Setelah Bali ditaklukkan ternyata masih terjadi pemberontakan dimana-mana akibat ketidakpuasan dari penduduk Bali Aga terhadap pemerintahan para arya yang ditugaskan di Bali. Atas pemikiran Gajah Mada maka Arya Kepakisan  datang ke Bali pada 1352 M diutus oleh raja Majapahit  mengiringi Dalem Sri Kresna Kepakisan, untuk memadamkan pemberontakan di 39 desa Bali Aga. Satu persatu desa Bali Aga yang memberontak dapat ditaklukkan. Setelah berhasil beliau diangkat sebagai patih agung kerajaan,  mendampingi Dalem Sri Kresna Kepakisan, sebagai raja Samprangan I (sri-nararya-kresna-kepakisan(arya nyuh aya).html).
       Dalem Sri Kresna Kepakisan berstana (tempat tinggal) di Samprangan. Sedangkan Arya Kepakisan menuju tenggara dan tiba disebuah tempat. Di tempat itu Beliau menemukan sebuah Kelapa Besar (Nyuh Aya).  Di tempat itulah dipilih sebagai tempat tinggal  yang kemudian diberi nama dengan DESA NYUH AYA, untuk mengenang ditemukannya Kelapa Besar (Nyuh Aya). Tempat itupun diberi tanda/cihna/ciri dengan Taru Agung atau disebut juga Taru Rangsana, dimana di Jawa Timur dikenal dengan sebutan Pohon Pakis atau pohon angsana (Pterocarpus indicus).  Taru Agung tersebut  mempunyai keunikan karena getahnya berwarna Merah Darah, seperti darah manusia.  Karena keunikan itulah Taru Agung tersebut dipilih sebagai tanda/cihna/ciri, yang dibawa dari Desa Pakis asal Arya Kepakisan. Taru Agung atau disebut juga Taru Rangsana tersebut hingga kini masih bisa dijumpai dan tumbuh subur di Jaba Pura Kawitan Arya Kepakisan (Arya Nyuh Aya) (sri-nararya-kresna-kepakisan(arya nyuh aya).html).
       Ketentuan atau kewajiban di Pura Dalem Agung Pura Kawitan Sri Nararya Kresna Kepakisan di Banjar Dukuh Nyuh Aya, desa Gelgel, Kabupaten Kelungkung. Sebenarnya parisentana Sri Nararya Kresna Kepakisan, semuanya mempunyai tugas yang sama  untuk memelihara dan menegakan bisama leluhur. Sri Nararya Kresna Kepakisan yang datang dari Jawa ke Bali pada tahun Caka 1274, pemerintahan Dalem Sri Kresna Kepakisan di samprangan Ide Sri Nararya Kresna Kepakisan bersetana didesa Nyuh Aya.
       Parisentana atau keturunan Sri Nararya Kresna Kepakisan dapat digambarkan demikian. Beliau Sri Nararya Kresna Kepakisan mempunyai dua orang putra yakni: (Suhardana, 2005:55)

2.1.1    Kiyai Nyuhaya
       Kiyai Nyuhaya yang telah diangkat sebagai Patih Agung diberi Kiyai Agung Nyuhaya dan belakangan juga dinamakan I Gusti Agung Nyuhaya mempunyai 8 anak. Diantaranya 7 orang putra dan seorang putri dari isterinya yang pertama yaitu: Kiyai Petandakan, Kiyai Satra, Kiyai Pelangan, Kiyai Akah, Kiyai Keloping, Kiyai Cacaran, Kiyai Anggan, Kiyai Isteri Ayu Adi. Sedangkan dari isteri penawing, beliau menurunkan 3 orang putra, yaitu I Gusti Wayan Nyuhaya, I Gusti Nengah Nyuhaya, I Gusti Ketut Nyuhaya (Suhardana, 2005:55-56)
       Kiyai Agung Nyuhaya pindah dari samprangan ke Gelgel menjabat patih Agung Dalem Ketut Semara Kepakisan. Pada tahun saka 1329 Kiyai Agung Nyuhaya meninggal dunia di gelgel. Setelah itu Kiyai Agung Nyuhaya digantikan oleh putra sulungnya yang bernama Kiyai Petandakan sebagai Patih Agung Dalem Sri Aji Waturenggong yang memerintah dari tahun caka 1382-1480. Pada awal abad 14 masehi berdasarkan ajaran tri renam dibawah asuhan Dang Hyang Nirata. Kiyai Petandakan mendirikan sebuah Peryangan atau tempat memuja leluhur di pinggir tukad Unda yang kemudian disebut Pura Dalem Dukuh, mengapa disebut demikian karena tempatnya dipedukuhan.
       Di pura Dalem Dukuh yang di setanakan ialah Ide Sri Nararya Kresna Kepakisan, oleh karena itu Pura Dalem Dukuh adalah pura Kawitan dari perisentana Sri Nararya Kresna Kepakisan.
       Kiyai Petandakan mempunyai 4 orang putra yakni : I Gusti Bantanjeruk, I Gusti Bebengan, I Gusti Tusan, I Gusti Gunung Nangka. Setelah Kiyai Petandakan wafat, beliau digantikan oleh I Gusti Bantanjeruk dan menjabat sebagai Patih Agung.

2.1.2    Kiyai Made Asak
       Kiyai Made Asak menetap di desa Kapal bersama pangeran kapal atau Arya Delancang. Di desa Kapal Kiyai Made Asak menikah dengan putri Patih Tua atau Arya Delancang. Disana beliau mempunyai seorang putra yang bernama I Gusti Agung Diler dan setelah di Gelgel beliau dipanggil I Gusti Agung Manginte, mengapa dipanggil demikian karena I Gusti Agung Manginte selalu nginten Ide Dalem yang masih kecil disekitaran tahun caka 1478. Beliau lahir di Kapal.

2.2 Penyebaran Pari Sentana Sri Nararya Kresna Kepakisan
       Untuk penyebaran dari Pari Sentana Sri Nararya Kresna Kepakisan, khusunya di keluarga penulis belum jelas. Tetapi menurut informan dan panduan artikel keluarga menjelaskan kemungkinan karena pada tahun caka 1478 terjadi pelawanan I Gusti Agung Bantanjeruk terhadap Dalem yang mengakibatkan tewasnya I Gusti Bantanjeruk di Jungutan, desa Bungaya dan akhirnya I Gusti Manginten menggantikan kedudukan beliau sebagai patih. Karena I Gusti Manginten lahir di desa Kapal, dan beliau melakukan yoga semadi dan yoga samadi beliau ini lah maka beliau mendapat penugrahan dari Ide Batare Dalem Dukuh di Kapal. Sebagai rasa hormat beliau kehadapan Ide Betara Dalem Dukuh Kapal dan sebagai setana Ayah beliau Kiyai Made Asak, lalu beliau menyempurnakan pelinggih di Pura Dalem Dukuh Gelgel dan membangun lagi sebuah gedong. Setelah itu lahirlah seluruh keturunan Pari Sentana Sri Nararya Kresna Kepakisan dan menyebar diseluruh Bali.
       Maka dari itu dapat disimpulkan kenapa ada dua kawitan yang keluarga penulis sungsung, itu disebabkan karena keluarga penulis merupakan keturunan dari Pari Sentana Sri Nararya Kresna Kepakisan yang Pura kawitannya sudah ditetapkan di Pura Dalem Dukuh Gelgel, Kab Klungkung , namun untuk menghormati I Gusti Manginten yang lahir di Kapal dan sudah diberi penugrahan dari Ide Batare Dalem Dukuh di Kapal. Maka dari itu keluarga penulis juga mempunyai kawitan di kapal tepatnya di Pura Sada Kapal, Kab Badung.
       Pada saat seluruh Pari Sentana Sri Nararya Kresna Kepakisan dan menyebar diseluruh Bali. Dari puntungnya kisah I Gusti Manginten maka tidak diketahui lagi secara rinci keluarga penulis keturunan dari raja siapa. Setelah itu Leluhur dari keluarga penulis menetap di desa Pandak Gede, kec Kediri, Tabanan. Di desa Pandaklah dibuatkan penyanggre dari kedua kawitan yang telah disebutkan tadi dan Dalem Ketut Ngelesir yang dipendak di desa Pandak Gede pada tahun 1305. Setelah ngelesir ke Pandak, maka keturunan Pari Sentana Sri Nararya Kresna Kepakisan kesah lagi kec Penebel, Tuwak Ilang, Pekutatan, Kerambitan, Kab Tabanan. 
(Pura Kawitan Panda Gede)

Untuk keluarga penulis kesah ke desa Penebel Kelod, Kec Penebel, Tabanan. Di desa Penebel Kelod, Kec Penebel, Tabanan. Keluarga penulis membuat Merajan Besar yang sekarang di sungsung oleh 10 kepala keluarga. Dalam tugas Siva Siddhanta penulis akan memfokuskan menerangkan pelinggih-pelinggih Merajan yang ada di desa Penebel Kelod, Kec Penebel, Tabanan.
       Didalam merajan ada sebelas pelinggih yang disungsung oleh 10 kepala keluarga, sebelum penulis menerangkan fungsi, mantra, dll di setiap pelinggih. Perlu di ketahui denah dari merajan penulis.
2.3  Denah Merajan

2.3.1 Keterangan
1)    Kemulan
2)    Ibu
3)    Kawitan
4)    Surya
5)    Taksu Agung
6)    Pesaren
7)    Manik Galih
8)    Persimpangan Batu Karu
9)    Menjangan Seluang
10)  Piyasan
11) Candi Bentar
12)  Taksu Geginan
2.4  Penjelasan masing-masing Pelinggih yang ada di Merajan
2.4.1    Kemulan



 


(Kemulan)

       Bentuk bangunan Rong Tiga pada umumnya sama seperti gedong yakni empat persegi panjang. Bangunan ini terdiri dari tiga bagian, yaitu empat persegi panjang. Bangunan ini terdiri dari tiga bagian yaitu dasar pada umumnya terbuat dari batu padas (bahan lain yang keras), di atas dasar masih terdapat 4 atau 8 buah tiang sebagai kaki bangunan (bila 8 tiang, biasanya tiang bagian depan ditengah-tengah adalah tiang semu sebanyak 2 buah), badan bangunan agak ke atas sama halnya seperti tiang tersebut dari kayu dengan tiga buah ruangan menghadap ke depan (rong tiga/ruang tiga), sedangkan bagian atasnya terbuat dari kontruksi kayu dengan atap ijuk, alang-alang atau bahan yang lain, yang bentuknya seperti bangunan rumah (Titib, 2003:109-110).
       Fungsi kemulan yaitu sebagai parhyangan Sanghyang Widi Wasa di dalam berbagai prabawa atau perwujudan (manifestasi)-nya, disamping sebagai stana dari para arwah leluhur yang sudah disucikan yang dianggap sudah tunggal dengan Sanghyang Widi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) dan berada didalam Dewa-Dewa (Soebandi,1981:103). Dalam buku Dasar-dasar Kepemangkuan (Suhardana, 2006:123-124) menjelaskan bahwa menurut Prif. Dr. Tjok Rai Sudharta MA (SARAD No. 41/2003), menjelaskan isi beberapa Lontar mengenai sanggah Kemulan, yaitu
1)    Lontar Usana Dewa yang menyatakan sbb :
       Yang berstana pada Sanggah Kemulan adalah Sang Hyang Atma. Di Kemulan rong kanan adalah Para Atma yaitu bapak. Di Kemulan rong kiri adalah Siwa Atma yaitu ibu. Di Kemulan rong tengah adalah wujudnya Brahma, yaitu ibu bapak yang sudah berwujud Sang Hyang Tuduh
2)    Lontar Gong Besi menyatakan sbb :
       “….. pada Kemulan rong kanan sebagi bapak adalah para Atma. Pada Kemulan rong kiri sebagai ibu namanya Siwa Atman. Pada Kemulan rong tengah wujudnya sebagai Susuna Atma atau Leluhur seterusnya, yaitu ibu bapak dalam wujudnya pulang kepada Yang Kuasa yaitu Sanghyang Tunggal, mempersatukan wujud…..
3)    Lontar Purwa Bumi Kemulan menyatakan sbb :
       Yang berstana di Sanggah Kemulan adalah Atman sebagai Bhatara yang guru (Suhardana, 2006:124).
4)    Lontar Siwa Gama Kemulan menyatakan sbb :
       Yang berstana di Sanggah Kemulan adalah Sang Pitara dengan menyebutkan “:…… Kramangta Sang Pitara muliheng batur Kamulannya nguni”
       Pelinggih Rong Tiga dalam lingkungan keluarga tiada lain agar kita selalu ingat dan memuja kebesaran Sang Hyang Widhi dalam kaitannya dengan hutang yang disebut dengan Tri Rnam (Gunawan, 2012:20). Tri Rnam adalah Tiga Hutang. Tiga Hutang yang dimaksud adalah hutang kepada Sang Hyang Widhi, hutang kepada Leluhur dan hutang kepada Rsi. Maka dengan alasan itu, pembuatan Pelinggih Rong Tiga bermaksudkan agar lingkungan keluarga sebagai anggota terkecil selalu ingat kepada Tri Rnam.
       Sejarah adanya Pelinggih Kemulan dimulai pada abad ke-11 sejak kedatangan seorang Brahmana Bhuddha dari Majapahit bernama Mpu Kuturan.  Mpu Kuturan berhasil menyatukan seluruh sekte yang ada di Bali. Beliau mempunyai ide atau konsep yang mengajak masyarakat Bali untuk menyatukan Tri Murti kedalam simbol Palinggih Kemulan Rong Tiga.
           
2.4.2    Ibu



 


       Menurut informan Pelinggih Ibu yang terdapat dalam Merajan penulis merupakan simbolis dari pemujaan para parisentana kepada Leluhur atau kawitan dari pihak Ibu. Setiap pihak wanita yang menikah kekeluarga kami, pastinya pihak wanita mempunyai kawitannya terdahulu atau kawitan sewaktu dia masih singgle (bajang). Dengan adanya pelinggih ini di merajan, maka pihak wanita tidak akan lupa akan kawitannya terdahulu.

2.4.3    Kawitan
Sanggah Kawitan yang ada di Merajan penulis berfungsi untuk memuja para Leluhur yang telah menjadi Deva-Devi. Agar semua parisentana tidak lupa akan Leluhur dan memudahkan untuk mengadakan hubungan dengan Leluhur. Dalam buku Ktut Soebandi (1981:11) dijelaskan bahwa Pura/pPelinggih Kawitan merupakan tempat melakukan persembahan dan sujud bakti serta mengadakan hubungan dengan Leluhur yang telah berada dialam Deva-Devi dengan status Bhatara-Bhatari.
       Maka dari itu dengan di buatnya Pelinggih Kawitan ini, diharapkan keturunan atau parisentana melakukan kewajibannya untuk melakukan persembahan dan sujud bakti kepada para Leluhur. Jika hal itu sampai dilupakan, maka hal tersebut bisa membawa Dampang Negatif bagi seluruh parisentananya.

2.4.4    Surya
Pelinggih Surya merupakan pelinggih yang befungsi sebagai simbolis untuk memuja Sang Hyang Surya Raditya sebagai saksi segala kegiatan manusia khususnya ritual yadnya. Dalam Lontar Siwagama gelar Surya Raditya adalah gelar dari Dewa Surya atas anugrah dari Dang Guru (Dewa Siwa) karena bhakti dan kepandaian belaiau. Hyang Surya diberikan anugrah juga sebagai Upa Saksi segala kegiatan manusia dan pemberi cahaya, pemusnah segala kegelapan (Gunawan, 2012:22).

2.4.5    Taksu Agung
       Pelingih ini terdiri dari 1 rong , lubang atau ruangan. Kita ketahui bersama dalam buku I Ketut Pasek Gunawan (Bahan Ajar Siva Siddhanta II,2012:21), menjelaskan bahwa Taksu itu berarti daya Magic atau sakti. Sakti emrupakan simbol dari bala atau Kekuatan. Secara umum fungsi dari tempat suci ini adalah  untuk memohon kekuatan gaib untuk pekerjaan yang digeluti bagi siapa yang mendirikan pelinggih tersebut, pelinggih Taksu juga berfungsi sebagai ‘transit’ Ida Bhatara ketika diadakan piodalan dan Juga sebagai “pecalang” yang khusus menerima, mengatur dan menetapkan para dewa yang dianggap sebagai tamu yang turut menyaksikan jalannya upacara pujawali.
       Disamping hal tersebut, Taksu Agung berfungsi sebagai tempat untuk menghubungkan dan mendekatkan diri kehadapan Sang Hyang Taksu Agung. Kalau dilihat dari katanya Taksu Agung artinya suatu sikap yang tulus ikhlas dan bertanggung jawab yang dimuliakan, maka dapat disimpulkan bahwa Taksu Agung merupakan lambang kekuatan Hukum Karma Phala, yang merupakan pedoman pada setiap langkah yang harus dialami oleh umat. Di mana
suatau perbuatan pasti akan ada hasil yang ditimbulkannya,
(http://niwayansari.blogspot.com/2011/12/tempatku-memujamu-sanggah-atau.html).

2.4.6    Pesaren

Dapat penulis asumsikan kata pesaren berarti ‘Istirahat’, berarti Pelinggih Pesaren di buat berfungsi sebagai tempat peristirahatan para Bhatara-Bhatari pada saat mengunjungi atau mengadiri suatu upacara. Ibaratakan kita hubungkan dalam keseharian Hyang / Bhetara didekatkan dengan kehidupan kita sehari hari, perlu pesaren ( tempat peristirahatan ) maka dibuatkanlah Pelinggih Pesaren.

2.4.7    Manik Galih
Pelinggih Manik Galih pada umumnya berupa gedong beratap atau malimas, memakai ruang dua (kembar) yang disebut Manik Galih, Rambut Sadhana, Sri Sedhana. Manik Galih berfungsi sebagai sthana dewata, yang berperan dalam pemberian kehidupan  yang kekal atau yang menghidupkan, yang diwujudkan dalam bentuk sandang, pangan dan kekayaan berupa uang (Suandra, Himpunan Ulap-ulap Palinggih:31).
2.4.8    Persimpangan Luhur Batukaru
Dalam merajan penulis terdapat pelinggih khusus yaitu Pelinggih Persimpangan Luhur Batukaru, pelinggih ini ada karena rumah penulis  di Desa Penebel Kelod, Kec Penebel, Tabanaan dekat dengan Pura Luhur Batukaru, maka dibuatlah pelinggih Persimpangan Luhur Batukaru, alasan dibuat pelinggih ini jika pada saat ada odalan di Pura Luhur Batukaru namun keluarga tidak bisa nangkil maka bisa ngayat sesuunan Luhur Batukaru dari Persimpangan Luhur Batukaru ini. Pura Luhur Batukaru melupakan salah satu bagian dari Pura Sad Kahyangan.
       Pura Luhur Batukaru sebagai tempat memuja Tuhan sebagai Dewa Mahadewa. Karena fungsinya untuk memuja Tuhan sebagai Dewa yang menumbuhkan tumbuh-tumbuhan dengan mempergunakan air secara benar, maka di Pura Luhur Batukaru ini disebut sebagai pemujaan Tuhan sebagai Ratu Hyang Tumuwuh. Ratu Hyang Tumuwuh sebutan Tuhan sebagai yang menumbuhkan.
2.4.9    Menjangan Seluang
Bangunan suci Menjangan Seluang dibuat untuk menghormati jasa tokoh spiritual yang juga sekaligus sebagai seorang Perdana Mentri pada masa pemerintahan raja Dharma Udayana Warmadewa yang sangat populer di Bali pada abad ke-11. Tokoh tersebut adalah Mpu Rajakrta yang datang ke Bali dan diberi jabatan Mahasenapati I Kuturan, kemudian beliau lebih populer dikenal dengan nama Mpu Kuturan. Mpu Kuturan seperti halnya para rsi agung lainnya di Bali dihormati oleh semua lapisan masyarakat, oleh karenannya hampir semua jenis pura keluarga besar, selalu terdapat bangunan Menjangan Seluang (Titib, 2003:108-109). Karena jasa Mpu Kuturan yang sangat besar untuk mempersatukan seluruh sekte yang ada di Bali maka didirikanlah Pelinggih ini.
       Menjangan Saluang yang bentuknya panjang (lantang) terdiri dari 3 rong besar, dimana sebuah rong besar terbagi lagi dalam 6 rong kecil-kecil, sehingga secara keseluruhan menjadi rong 9. Bentuk seperti ini dimaksudkan untuk menunjukan 3 kelompok besar masyarakat, dimana salah satu diantaranya terdiri dari 6 Sub Sekte Agama (Suhardana, 2006:121).
       Dalam buku Drs. K.M. Suhardana (Dasar-dasar Kepemangkuan, 2006:122) dijelaskan bentuk Menjangan Seluang sebagai penggambaran ke 3 unsur masyarakat dan 6 Sub Sekte ialah :
1)    Dilihat dari depan, rong paling kanan, mewakili unsur masyarakat yag berasal dari Jawa dan beragama Siwa.
2)`   Rong sebelah kirinya, dengan lambang kepala menjangan, mewakili golongan masyarakat pengikut Mpu Kuturan yang beragama Budhha Mahayana.
3)    Rong paling kiri masih dilihat dari depan yang terbagi lagi dalam 6 ruang-ruang kecil, mewakili 6 Sekte Agama dari unsur Bali Aga.
       Adapun sejarah dari Pelinggih Menjanga Seluang adalah pada tahun 1001 M, Mpu Kuturan datang ke Bali, beliau melihat adanya 9 Sekte Agama, yang diperkirakan dapat memecah belah persatuan umat. Karena itu, beliau berhusaha untuk mempersatukan 3 kelompok besar dengan 6 Sub Sekte Agama itu, dengan cara mengadakan pertemuan atau Pesamuhan Agung di desa Bedulu (Samuan Tiga). Pesamuan Agung tersebut dihadiri oleh seluruh unsur masyarakat Bali, yaitu :
1)    Unsur masyarakat yang berasal dari Jawa dan beragama Siwa.
2)    Unsur masyarakat yang beragama Buddha Mahayana (Mpu Kuturan dan para pengikutnya).
3)    Unsur masyarakat Bali Aga yang mewakili 6 Sub Sekte Agama yaitu : Sambu, Brahma, Indra, Wisnu, Bayu, Kala (Suhardana, 2006:121).
       Namun ada beberapa pendapat lain mengenai Sekte-sekte yang ada yaitu : menurut I Nyoman Satrya Atmanadi (Dasar Kepemangkuan) sekte-sekte tersebut adalah Mahadewa, Iswara, Indra, Sambu, Wisnu, Sangkara, dan Maheswara sedangkan menurut R. Goris (Sekte-sekte di Bali) sekte-sekte itu ada 9 yaitu : Bairawa, Buddha Sogata, Brahmana, Ganapati, Rsi, Pasupati, Sora (Surya), Siwa Siddhanta dan Waisnawa. Apapun nama sekte-sekte tersebut, yang terpenting adalah adanya kesepakatan bahwa ke 6 batang Sekte/Sub Sekte tersebut telah mempersatukan dirinya kedalam satu paham yang dinamakan Tri Murti, yaitu bahwa Tuhan itu hanya satu. paham tersebut sekarang dikenal dengan Agama Hindu (Suhardana, 2006:122).
           
2.4.10  Piyasan 
       Piasan yang disebut juga pahyasan, ialah suatu bale suci yang berfungsi untuk tempat menata gegaluhan (menghiasi pratima-pratima) dan kadang-kadang ngubeng menghayat dewa samudhaya (dewa-dewi semua) yang sering disubut dewa pratista (mrnghadirkan para dewa) (Suandra, Himpunan Ulap-ulap Pelinggih:28)
         Didalam Pelinggih Piyasan bersemayamnya niyasa Hyang Widhi ketika hari piodalan, di mana diletakkan juga sesajen (banten) yang dihaturkan.

2.4.11  Candi Bentar

       Kata candi berasal dari salah satu sebutan dari Durga, yaitu “Candika” yang diartikan Dewa Maut. Candi itu erat hubungannya deangan keagamaan, jadi bersifat suci. Candi itu merupakan bangunan tempat penyimpan abu jenazah para raja atau orang-orang terkemuka lainnya zaman Kerajaan Hindu yang secara simbolis berupa puspa sarira (puspalingga). Setelah proses melalui upasara Sradha. Candi-candi yang demikian tidak kita dapati di Bali. Yang kita dapat di Bali ialah bangunan candi bentar yang merupakan peninggalan Kerajaan Majapahit (Suandra, Himpunan Ulap-ulap Pelinggih:6)
       Bentuk Candi Bentar bentuk paduraksa yang dibelah dua.para bijaksana berkenyakinan demikian berdasarkan atas adanya huruf (aksara) ardhacandra pada kedua bangunan tersebut yang sejiwa. Adapun kedua bagian (kiri dan kanan) bangunan itu sebagai simbol rwa bhmeda dalam kehidupan, yakni sifat positif dan negatif yang manadi dalam aksara dengan aksara Ang dan Ah. Biasanya di muka candi sebelah kiri dan kanan terdapat apit lawang terkadang berwujud palinggih. Namun ada juga yang berbentuk bedogol, raksasa yang disebut Nadiswara (di kanan) dan Mahakala (di kiri). Bangunan candi bentar berpedagingan pada dasar dan puncak. Candi bentar berfungsi sebagai lawang pada saat keluar masuk pura. (Suandra, Himpunan Ulap-ulap Pelinggih:7). Namun dalam merajan penulis tidak terdapat apit lawang.
      
2.4.12  Taksu Geginan
       Pelinggih Taksu Geginan yaitu tempat umat menghubungkan dan mendekatkan diri kehadapan Sang Hyang Taksu Pradnyan. Dalam keseharian umat menstanakan Sang Hyang Taksu yang merupakan kelebihan dari kemampuannya yang dipergunakan sebagai sumber dari penghidupannya sehari-hari. Disimak dari arti kata Taksu Geginan yaitu kegiatan yang dilakukan sehari-hari yang dilaksanakan dengan tulus iklas dan bertanggung jawab.
2.5 Mantra dan Ulap-ulap di setiap Pelinggih
       Pada masing-masing pelinggih yand ada pastinya dilengkapi dengan ayat-ayat mantra pemujaan, sebagai mahawakya yang memuat tafsiran tentang pokok-pokok pikiran dan konsep padangan hidup menurut ajaran agama Hindu (Hindu Darsana). Dengan mengucapkan mantra-mantra pujaan yang mengandung makna bersifat rahasia pada suatu pelinggih, diharapkan dapat memotifasi orang yang memuja untuk mengembangkan pengertian secara konsepsional dari pengamatan terhadap pelinggih, sebagai simbol gejala-gejala alam (bhuwana) dan merupakan sarana peragaan pemahaman  yang paling nyata. Ada mantra yang dipilih dari  Upanisad, Weda Parikrama, dan disesuaikan menurut karakter palinggih dan ritual (Suandra, Himpunan Ulap-ulap Palinggih:25-26).
       Menurut informan, Mantra yang digunakan di setiap pelinggih adalah Mantra secara umum seperti Kramaning Sembah lalu di ikuti dengan Mantra khusus , dalam buku I Wayan Seregeg (Kidung Panca Yadnya,2003: 1-3), menjelaskan runtutan dari Kramaning Sembah sebagai berikut :
Sebelum melakukan Kramaning Sembah, diawali dengan Puja Tri Sandhya.
Kramaning Sembah :
1)    Membersihkan sekar atau kawangen
       Mantra :
       Om Puspa Danta Ya Namah Swaha
2)    Ngastawa
       (1)             Sembah Puyung
                 Mantra :
                 Om Atma Tatwatma Sudhamam Swaha
       (2)             Ngastawa Ida Sang Hyang Siwa Raditya
                 Sarana : Sekar mawarna putih
                 Mantra :
                 Om Adityasya Paranjyotih
                 Rakta Tejo Namo Stute
                 Sweta Pangkaja Madhyastam
                 Bhaskara Ya Namah Swaha
       (3)             Ngastawa Ida Bhatara Samodaya
                 Sarana : Kuwangen utawi sekar warna-warni
                 Mantra :
                 Om Namo Dewa Adhi Sthanaya
                 Sarwa Wyapi Way Siwaya
                 Padmasana Eka Prastisthaya
                 Ardha Nareswari Ya Namo Namah Swaha
       (4)             Kalanturang antuk ngastawa Ista Dewata, manut genah ngastawa,
                 Sarana : manggeh
                 Mantra : kaambil silih sinunggil saking mantra ista Dewata sane manut
       (5)             Ngastawa Nglungsur Panugrahan
                 Sarana : Kawangen utawi sekar mewarna-warni
                 Mantra :
                 Om Anugraha Manoharam
                 Dewa Data Nugrahakam
                 Arcanam Sarwa Pujanam
                 Namah Sarwa Nugrahakam
                 Om Dewa Dewi Maha Sidhi
                 Yadnyangga Nirmalatmaka
                 Laksi Sidhisca Dhirgayuh
                 Niwignam Suka Wrdhitah
       (6)             Sembah Puyung
                 Mantra :
                 Om Dewa Suksma Paramacintya
                 Ya Namo Namah Swaha
3)    Nunas wasuh padan Ida Bhatara miwah Bija, karuntutin antuk Kidung.
4)    Maka pamuput nguncarang Parama Shanti
       Mantra :
       Om Shantih, Shantih, Shantih, Om
       Namun demikian, tidak menutup kemungkinan bagi mereka yang memuja pada suatu palinggih menggunakan mantra-mantra yang lain yang dipandang lerevan baginya. Hal ini perlu diketengahkan karena sampai pada saat ini ucapan-ucapan secara tradisional  mengenai puja masih berlaku pada umat Hindu. Seperti halnya saa-saa, sesontengan, bahkan juga menggunakan bahasa yang digunakan sehari-hari. Kadang-kadang para sulinggih, manakala menghadapi upakara dalam suatu yadnya, walaupun sudah mengucapkan beberapa mantra dari isi weda, namun lanjut juga dilanjutkan dengan menggunakan ucapan-ucapan saa, demikian juga  sonteng, yang notabena menambahkan mantap kenyakinan yajamana itu sendiri. Hal ini tidak bertentangan dengan ajaran umum di dalam Weda (mantra), maka jelaslah bahwa peranan komentar, ulasan-ulasan yang dikaitkan ucapan Weda melalui ucapan sontengan, saa, sangat penting artinya, sebab Weda, saa, sonteng akan tersebar luas serta menjadi populer melalui Dharmagita, yakni nyanyian keagamaan seperti : kidang, kekawin, phalawakya, sloka, dan sejenisnya yang disampaikan memlaui yadnya (Suandra, Himpunan Ulap-ulap Palinggih:25-26).
       Selain Mantra yang tak kalah penting dalam pendirian suatu Pelinggih adalah Ulap-ulap. Sesuatu bangunan suci atau palinggih baru dapat difungsikan secara agama setelah (diupacarai) betapa mestinya. Salah satu syarat yang tidak dapat diabaikan dalam mengupacarai palinggih ialah adanya Ulap-ulap. Ulap-ulap yang bahannya dari kain putih dengan ukuran tertentu dan di dalamnya tergambar atau rekha terdiri atas sejumlah aksara Nyasa Pranawa, yaitu aksara dalam bentuk simbol, yang mengandung sifat rahasia (kadyatmikan), yang sering disebut “sastra Modre”. Kata ulap-ulap berasal dari kata ulap (bahasa Bali) yang berarti silau. Kata ulap itu kadwi linggayang (diulang), yang artinya sesuatu yang menimbulkan kesilauan mata. Pada umumnya yang menimbulkan kesilauan mata adalah adanya cahaya atau sinar. Ajaran filsafat (tattwa) ketuhanan dalam ajaran Hindu menyebutkan bahwa Sang Hyang Widhi Wasa adalah sumber dari segala sinar (sahasra sumar), (Suandra, Himpunan Ulap-ulap Palinggih:17-18)
       Dewa diciptakan oleh Hyang Widhi, sebagaimana Ia menciptakan alam semesta untuk mengendalikan alam semesta beserta isinya. Dewa-dewa juga disebut sakti dari Hyang Widhi yang dimanifestasikan dalam suatu aspek tertentu dari keajaiban alam semesta dan segala isinya, yang tidak terpisah dari Hyang Widhi sebagaimana halnya swami dan istri.Dari penjelasan diatas, dapat disimpulkan, bahwa sakti (nur) Hyang Widhilah yang diwujudkan sebagai Niyasa, yang dipakai dalam berbagai jenis bangunan, termasuk bangunan palinggih, dalam bentuk ulap-ulap (Suandra, dalam Himpunan Ulap-ulap Palinggih :19). Adapun Mantra dan Ulap-ulap di setiap pelinggih, yaitu :

2.5.1    Kemulan
       Mantra ngastawayang yang di gunakan dalam pelinggih Kemulan adalah Kramaning Sembah seperti yang sudah kita ketahui.
       Mantra khusus untuk Pelinggih Kemulan adalah
Mantra :
Om Brahma Wisnu Iswara Dewam
Jiwatmanam Trilokanam
Sarwa Jagat Prastistanam
Sudha Klesa Winasanam
Om Guru Paduka Ya Nama


Ulap-ulap Kemulan
 










2.5.2    Ibu
       Mantra ngastawayang yang di gunakan dalam Pelinggih Ibu adalah Kramaning Sembah seperti yang sudah kita ketahui. Namun untuk mantra khusu dam pelinggih Ibu tidak di ketahui, karena informan menjelaskan bahwa mantra yang digunakan dalam Pelinggih Ibu bisa berupa saa atau sesontengan, yang dinyakini oleh semua Parisentananya. Untuk ulap-ulap belum bisa diterangkan.

2.5.3    Kawitan
       Mantra ngastawayang yang di gunakan dalam Pelinggih Kawitan adalah Kramaning Sembah seperti yang sudah kita ketahui.
Mantra khusus untuk Pelinggih Kawitan sama dengan Mantra yang digunakan pada Pelinggih Kemulan.
Mantra :
Om Brahma Wisnu Iswara Dewam
Jiwatmanam Trilokanam
Sarwa Jagat Prastistanam
Sudha Klesa Winasanam
Om Guru Paduka Ya Nama
Untuk Ulap-ulap di Pelinggih Kawitan belum dapat di terangkan.

2.5.4    Surya
       Mantra ngastawayang yang di gunakan dalam Pelinggih Surya adalah Kramaning Sembah seperti yang sudah kita ketahui. Karena dalam Pelinggih Surya merupakan stana dari Sang Hyang Siwa Raditya, maka dalam kramaning sembah sudah terdapat mantra untuk memuja Sang Hyang Siwa Raditya, yaitu
Ngastawa Ida Sang Hyang Siwa Raditya
Sarana : Sekar mawarna putih
Mantra :
Om Adityasya Paranjyotih
Rakta Tejo Namo Stute
Sweta Pangkaja Madhyastam
Bhaskara Ya Namah Swaha


(Ulap-ulap pelinggih Surya)

 







2.5.5    Taksu Agung
       Mantra ngastawayang yang di gunakan dalam Pelinggih Taksu Agung adalah Kramaning Sembah seperti yang sudah kita ketahui. Untuk Mantra khusu di Pelinggih Taksu Agung, karena Pelinggih Taksu Agung merupakan Pelinggih sebagai simbolis untuk memohon kekuatan dan panugrahan untuk melakukan sesuatu tindakan atau pekerjaan, maka Mantra yang digunakan untuk ngastawayang adalah Mantra ngastawayang nglungsur Panugrahan :
Sarana : Kawangen utawi sekar mewarna-warni
Mantra :
Om Anugraha Manoharam
Dewa Data Nugrahakam
Arcanam Sarwa Pujanam
Namah Sarwa Nugrahakam
Om Dewa Dewi Maha Sidhi
Yadnyangga Nirmalatmaka
Laksi Sidhisca Dhirgayuh
Niwignam Suka Wrdhitah
Untuk ulap-ulap belum bisa diterangkan.

2.5.6    Pesaren
       Mantra ngastawayang yang di gunakan dalam Pelinggih Pasaren adalah Kramaning Sembah seperti yang sudah kita ketahui. Dalam buku Ajaran Agama Hindu Manifestasi Sang Hyang Widhi (Sudarsana,1998:84) menjelaskan mantra khusus untuk Pelinggih Pesaren ialah

Mantra :
Ong Ang Brahma Atma Yenamah
Ong Ung Wisnu Antaratma  Yenemah
Ong Mang Sri Prajapati
Yenamah Swaha
Untuk ulap-ulap belum bisa diterangkan.

2.5.7    Manik Galih
       Mantra ngastawayang yang digunakan dalam Pelinggih Manik Galih adalah Kramaning Sembah seperti yang sudah kita ketahui.
Mantra khusus untuk di Pelinggih Manik Galih.

Mantra :
       Om hram hrim sah parama Siwa Amretaya namah.
Artinya :
       Ya Hyang Widhi, hamba sujud kepada Hram Hrim Sah, Amreta Yang Maha Suci dan Utama (Suandra, Himpunan Ulap-Ulap Palinggih:31-32).


(Ulap-ulap Pelinggih Manik Galih)
 









2.5.8    Persimpangan Luhur Batukaru
       Mantra ngastawayang yang digunakan dalam Pelinggih Persimpangan Luhur Batukaru adalah Kramaning Sembah seperti yang sudah kita ketahui. Namun untuk mantra khusu dam pelinggih Taksu Agung tidak di ketahui, karena informan menjelaskan bahwa mantra yang digunakan dalam Pelinggih Ibu bisa berupa saa atau sesontengan, yang dinyakini oleh semua Parisentananya. Untuk ulap-ulap belum bisa diterangkan.

2.5.9    Menjangan Seluang
       Mantra ngastawayang yang di gunakan dalam Pelinggih Manjangan Saluang adalah Kramaning Sembah seperti yang sudah kita ketahui.
Mantra khusus untuk Pelinggih Menjangan Seluang adalah

Mantra :
       Om Im Iswara pratisthajnyana Lila ya namah swaha.
Artinya :
       Ya Hyang Widhi hamba sujud kepada Im (Iswara), ekspresi bentuk ilmu pengetahuan swaha (Suandra, Himpunan Ulap-ulap Pelinggih:31).


(Ulap-ulap Pelinggih Menjangan Seluang)
 










2.5.10  Piyasan
       Mantra ngastawayang yang di gunakan dalam Pelinggih Piyasan adalah Kramaning Sembah seperti yang sudah kita ketahui.
Mantra khusus untuk di Pelinggih Piyasan adalah
Mantra :
       Om Om dewa pratistha ya namah.
Artinya :
       Ya Hyang Widhi, hamba sujud pada Hyang Widhi, hadirnya para dewa/bhatara-bhatara (Suandra, Himpunan Ulap-ulap Pelinggih: 28-29)


(Ulap-ulap Pelinggih Piyasan)
 










2.5.11 Candi Bentar
       Mantra ngastawayang yang di gunakan dalam Candi Bentar tidak ada, karena Candi Bentar tidak termasuk ke dalam Pelinggih persembahan melainkan sebagai pelengkap dalam suatu merajan besar. Namun untuk Ulap-ulap bisa diterangkan sebagai berikut :
(Ulap-ulap pelinggih Candi Bentar)
2.5.12  Taksu Geginan
       Mantra ngastawayang yang di gunakan dalam Pelinggih Taksu Geginan adalah Kramaning Sembah seperti yang sudah kita ketahui. Dalam buku Ajaran Agama Hindu Manifestasi Sang Hyang Widhi (Sudarsana,1998:84) menjelaskan mantra khusus untuk Pelinggih Taksu Geginan ialah
Mantra :
Ong, Ang, Ang, Ang Sang Kala Raja
Bionamah Swaha
Ong Kling, Kling Kling Sang Butha Raja Bionamah Swaha
Untuk ulap-ulap belum bisa diterangkan.

2.6  Makna Atribut-atribut yang digunakan di setiap Pelinggih
       Setiap Pelinggih yang telah diterangkan tadi, semua Pelinggih menggunakan atributnya (Hiasannya) masing-masing. Jika kita cermati dengan seksama semua atribut yang digunakan hampir sama seperti wastra putih kuning yang dikenakan pada Pelinggih Kemulan, Kawitan, Surya, Taksu Agung, Pesaren, Manik Galih, Piyasan, Menjangan Seluang, Taksu Geginan. Wastra poleng (warna hitam-putih) yang dikenakan pada Palinggih Ibu dan Persimpangan Luhur Batukaru, selanjutnya terdapat Lemak, Tamiang, Tedung, Gantung-gantung yang ada di setipa pelinggih. Adapun penjelasan dari masing-masing atribut atau hiasan pelingguh tersebut, sebagai berikut :

2.6.1    Wastra Putih-Kuning dan Poleng (hitam-putih)










 












       Pemilihan warna wastra pada dasarnya adalah memilih warna yang dapat memberikan kesan kesucian dan kekeramatan (sakral) pada suatu pelinggih atau bangunan suci, disamping juga memperhatikan unsur keindahan. Pada Pelinggih Kemulan, Kawitan, Surya, Taksu Agung, Pesaren, Manik Galih, Piyasan, Menjangan Seluang, Taksu Geginan umumnya menggunakan wastra putih kuning karena menonjolkan unsur kesucian.
       Sedangkan pada Palinggih Ibu dan Persimpangan Luhur Batukaru  warna poleng (hitam-putih) karena yang ditonjolkan adalah kesan kekeramatan. Perbedaan wastra pelinggih berdasarkan fungsi dari pelinggih tersebut serta ista dewata yang distanakan di sana. Jika pada Pelinggih dan bhatara guru difungsikan sebagai sumber memohon pencerahan dan tuntunan, maka pada Pelinggih Ibu difungsikan sebagai pemberi keselamatan.
2.6.2    Lamak
Lamak berasal dari kata "lamakaning" yang artinya "semoga menjadi" lamak dipasang di pelinggih sebagai simbolis bahwa apa yang kita yakini, apa yang kita sembah akan menjadi seperti itu yang kita peroleh. Jika kita memuja beliau sebagai sesuatu yang angker maka kita akanmemperoleh anugerah yang angker pula, begitu juga bila kita menyembah beliau dalam wujud cinta kasih dan kedamaian maka anugerah seperti itulah yang akan kita terima. Jadi penyebab (lamak) anugerah adalah apa yang kita sembah, jadi itu disimboliskan dengan lamak.

2.6.3    Tamiang
Tamiang (no 2) kata Wakil Ketua I PHDI Bali Drs. I Gusti Ngurah Sudiana, M.Si. berasal dari kata tameng yang berarti alat penangkis senjata. Sebagai alat penangkis, tamiang memiliki lambang perlindungan. Di samping itu tameng juga sebagai lambang Dewata Nawa Sanga, karena menunjuk sembilan arah mata angin. Tamiang juga melambangkan perputaran roda alam cakraning panggilingan. Lambang itu mengingatkan manusia pada hukum alam. Jika masyarakat tak mampu menyesuaikan diri dengan alam, atau tak taat dengan hukum alam, risikonya akan tergilas oleh roda alam.

2.6.4    Tedung
Tedung adalah berbentuk seperti payung sebagai salah satu jenis perangkat upacara yadnya keagamaan yang khususnya digunakan di Bali memiliki beberapa bentuk, ukuran, warna, fungsi dan istilah yang beragam. Bentuk atau form dalam dunia seni rupa harus dilihat secara keseluruhan atau sebagai satu kesatuan yang utuh. Kesatuan bentuk tersebut dapat terbentuk lewat teknik pengerjaan, material yang digunakan, proporsi ukuran maupun komposisi yang tersusun sesuai dengan bentuk, tinggi dan lebar ukuran tedung yang ada maupun dibuat para perajin/undagi dibeberapa pura tempat/daerah yang masih bervariasi.
       Tedung adalah salah satu sarana upacara yang mengacu pada kerangka dasar agama hindu, yaitu tatwa, etika, dan upacara. Tedung adalah perlambangan etika bahwa saat ida bhatara tedun maka harus ditedungi, hal ini juga bermahkan bahwa ida bhatara / Ida Sang Hyang Widhi adalah tedung jagat yang akan memberikan kesejukan kepada seluruh umat. Begitu pula halnya dengan manusia, hendaknyalah bisa menjadi pengayom yang bisa memberi keteduhan kepada sesama, kepada mahluk lain dan kepada lingkungan. Begitu pula dengan saput saka dan ider ider yang berfungsi sebagai hiasan pelinggih dalam kaitanya dengan etika menyambut datangnya ida bhatara.
2.6.5    Gantung-gantung/Sampian gantung
Sampian gantung yang memiliki makna penolak bala. Sampian gantung itu ditempatkan di samping pintu, dan sebilang bucu bangunan pelinggih.

2.6.7    Tombak
       Dalam hal kehidupan dapat penulis asumsikan bahwa tombak itu melambangkan ketajaman pikiran manusia. Dalam menjalani kehidupan, ketajaman pikiran manusia sangat di pelrukan dalam berbagai hal, namun ketajaman pikiran yang bijaksana adalah ketajaman pikiran yang harus bisa manusia gunakan untuk kebijaksanaan, baik dalam berbagai hal, baik itu diri sendiri maupun orang lain.

2.7 Banten yang digunakan di setiap Pelinggih
       Baik Tatwa, Susila maupun Upakara dan Upacara haruslah mendapat porsi yang seimbang, skema Kerangka Dasar Agama Hindu tersebut telah mencangkup berbagai kegiatan yadnya. Dalam buku Drs. K.M. Suhardana (Dasar-dasar Kepemangkuan, 2006:54) menjelaskan bahwa yadnya berarti pengorbanan suci yang tulus iklas. Sedangkan Upakara berasal dari dua kata “upa” dan “kara”. Upa artinya “berhubungan dengan” sedangkan kara berarti “pekerjaan atau perbuatan”. Dengan demikian upakara berarti “segala sesuatu yang berhubungan dengan pekerjaan atau perbuatan”. Dalam hal ini berhubungan dengan perbuatan manusia untuk melaukan persembahan atau pengorbanan suci kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam bentuk materi berupa banten atau sesajen.
       Banten sesungguhnya adalah persembahan suci kepada Ida Sang Hyang Widhi. Dalam hal ini banten menjadi simbul berserah diri kepada kebesaran Nya. Dengan kata lain, banten adalah media untuk menyatakan sraddha dan bhakti umat kepada Nya. Sebagai persembahan suci, banten itu mempunyai berbagai arti positis (Suhardana, 2006:54). Adapun nilai positif dari Banten tersebut, yaitu :
1)    Upakara Bebantenan merupakan pelajaran atau alat konsentrasi pikiran untuk memuja Ida Sang Hyang Widhi beserta manifestasi-Nya. Misalnya bagi seseorang yang sedang membuat banten maka dengan tidak sengaja dia telah membayangkan kehadapan siapa atau ke pura mana banten tersebut akan dipersembahkan (Surayin, 2002:9).
2)    Pembuatan banten akan menuntut penyusuaian diri dengan kemampuan, sehingga mengurangi egoisme. Yang merasa mampu akan membuat banten dalam tingkat yang lebih tinggi, sedangkan yang kurang mampu akan membuat banten dalam tingkatan yang lebih rendah.
3)    Pembuatan banten akan mendorong pertumbuhan ekonomi rakyat. Dibuatnya banten tingkat utama oleh mereka yang mampu, akan memberi kesempatan bagi golongan kurang mampu untuk menyediakan bahan-bahannya. Hal ini dapat meningkatkan kemampuan golongan masyarakat bawah, sehingga pendapatan merekapun akan menjadi semakin meningkat.
       Pada saat odalan di Merajan yang jatuh pada Purnama Kelima menggunakan beberapa jenis banten yang di unggahkan ke semua pelinggih, diantaranya ialah :
2.7.1    Daksina
Menurut artinya daksina adalah tapakan dari Ida Sang Hyang Widhi dalam berbagai manifestasi-Nya dan juga merupakan perwujudanNya. Lain daripada itu daksina juga merupakan buah daripada yadnya (Surayin, 2002:68)
       Kalau kita lihat fungsi daksina yang diberikan kepada yang muotu karya (Pedanda atau Pemangku), sepertinya daksina tersebut sebagai ucapan tanda “terima kasih” kepada sekala-niskala. Begitu pula kalau daksina itu kita haturkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi sebagai pelengkap aturan kita dan sembah sujud kita atas semua karunia-Nya (Surayin, 2002:68-69).
       Isi tetandingan Daksina diurut dari isi terbawah hingga diatas yaitu:
1)    Alas bedogan/srembeng/wakul/katung; terbuat dari janur/slepan yang bentuknya bulat dan sedikit panjang serta ada batas pinggirnya. Alas Bedogan ini lambang pertiwi unsur yang dapat dilihat dengan jelas.
2)    Bedogan/ srembeng/wakul/katung/ srobong daksina; terbuat dari janur/slepan yang dibuta melinkar dan tinggi, seukuran dengan alas wakul. Bedogan bagian tengah ini adalah lambang Akasa yang tanpa tepi. Srembeng daksina juga merupakan lambang dari hukum Rta ( Hukum Abadi tuhan ).
3)   Tampak; dibuat dari dua potongan janur lalu dijahit sehinga membentuk tanda tambah. Tampak adalah lambang keseimbangan baik makrokosmos maupun mikrokosmos. tampak juga melambangkan swastika, yang artinya semoga dalam keadaan baik.
4)   Beras; yang merupakan makanan pokok melambang dari hasil bumi yang menjadi sumber penghidupan manusia di dunia ini. Hyang Tri Murti (Brahma, Visnu, Siva).
5)   Sirih temple / Porosan; terbuat dari daun sirih (hijau – wisnu), kapur (putih – siwa) dan pinang (merah – brahma) diikat sedemikian rupa sehingga menjadi satu, porosan adalah lambang pemujaan.
6)   Kelapa; adalah buah serbaguna, yang juga simbol Pawitra (air keabadian/amertha) atau lambang alam semesta yang terdiri dari tujuh lapisan (sapta loka dan sapta patala) karena ternyata kelapa memiliki tujuh lapisan ke dalam dan tujuh lapisan ke luar. Air sebagai lambang Mahatala, Isi lembutnya lambang Talatala, isinya lambang tala, lapisan pada isinya lambang Antala, lapisan isi yang keras lambang sutala, lapisan tipis paling dalam lambang Nitala, batoknya lambang Patala. Sedangkan lambang Sapta Loka pada kelapa yaitu: Bulu batok kelapa sebagai lambang Bhur loka, Serat saluran sebagailambang Bhuvah loka, Serat serabut basah lambang svah loka, Serabut basah lambanag Maha loka, serabut kering lambang Jnana loka, kulit serat kering lambang Tapa loka, Kulit kering sebagai lamanag Satya loka Kelapa dikupas dibersihkan hingga kelihatan batoknya dengan maksud karena Bhuana Agung sthana Hyang Widhi tentunya harus bersih dari unsur-unsur gejolak indria yang mengikat dan serabut kelapa adalah lambang pe ngikat indria.
7)   Telor Itik; dibungkus dengan ketupat telor, adalah lambang awal kehidupan/ getar-getar kehidupan , lambang Bhuana Alit yang menghuni bumi ini, karena pada telor terdiri dari tiga lapisan, yaitu Kuning Telor/Sari lambang Antah karana sarira, Putih Telor lambang Suksma Sarira, dan Kulit telor adalah lambang Sthula sarira. dipakai telur itik karena itik dianggap suci, bisa memilih makanan, sangat rukun dan dapat menyesuaikan hidupnya (di darat, air dan bahkan terbang bila perlu).
8)   Pisang, Tebu dan Kojong; adalah simbol manusia yang menghuni bumi sebagai bagian dari ala mini. Idialnya manusia penghuni bumi ini hidup dengan Tri kaya Parisudhanya. Dalam tetandingan Pisang melambangkan jari, Tebu belambangkan tulang.
9)   Buah Kemiri; adalah sibol Purusa / Kejiwaan / Laki-laki, dari segi warna putih (ketulusan).
10) Buah kluwek/Pangi; lambang pradhana / kebendaan / perempuan, dari segi warna merah (kekuatan). Dalam tetandingan melambangkan dagu.
11) Gegantusan; merupakan perpaduan dari isi daratan dan lautan, yang terbuat dari kacang-kacangan, bumbu-bumbuan, garam dan ikan teri yang dibungkus dengan kraras/daun pisang tua adalah lambang sad rasa dan lambang kemakmuran.
12) Papeselan yang terbuat dari lima jenis dedaunan yang diikat menjadi satu adalah lambang Panca Devata; daun duku lambang Isvara, daun manggis lambang Brahma, daun durian / langsat / ceroring lambang Mahadeva, daun salak / mangga lambang Visnu, daun nangka atau timbul lamban Siva. Papeselan juga merupakan lambang kerjasama (Tri Hita Karana).
13) Bija ratus adalah campuran dari 5 jenis biji-bijian, diantaranya; godem (hitam – wisnu), Jawa (putih – iswara), Jagung Nasi (merah – brahma), Jagung Biasa (kuning – mahadewa) dan Jali-jali (Brumbun – siwa). kesemuanya itu dibungkus dengan kraras (daun pisang tua).
14) Benang Tukelan; adalah alat pengikat simbol dari naga Anantabhoga dan naga Basuki dan naga Taksaka dalam proses pemutaran Mandara Giri di Kserarnava untuk mendapatkan Tirtha Amertha dan juga simbolis dari penghubung antara Jivatman yang tidak akan berakhir sampai terjadinya Pralina. Sebelum Pralina Atman yang berasal dari Paramatman akan terus menerus mengalami penjelmaan yang berulang-ulang sebelum mencapai Moksa. Dan semuanya akan kembali pada Hyang Widhi kalau sudah Pralina. dalam tetandingan dipergunakan sebagai lambing usus/perut.
15) Uang Kepeng; adalah alat penebus segala kekurangan sebagai sarining manah. uang juga lambang dari Deva Brahma yang merupakan inti kekuatan untuk menciptakan hidup dan sumber kehidupan.
16) Sesari; sebagai labang saripati dari karma atau pekerjaan (Dana Paramitha).
17) Sampyan Payasan; terbuat dari janur dibuat menyerupai segi tiga, lambang dari Tri Kona; Utpeti, Sthiti dan Pralina.
18) Sampyan pusung; terbuat dari janur dibentuk sehingga menyerupai pusungan rambut, sesunggunya tujuan akhir manusia adalah Brahman dan pusungan itu simbol pengerucutan dari indria-indria.

2.7.2    Canang Sari
Canang Sari merupakan sarana yang terpenting, karena canang ini merupakan uapakara yang akan dipakai sarana persembahan kepada  Tuhan atau Bhatara Bhatari leluhur yang sering kita gunakan dalah sehari-hari. Disetiap banten apapun yang kita akan persembahkan ke pada Bhatara-Bhatari selalu diisi Canang Sari, karena Canang Sari merupakan komponen inti dari suatu Banten.
       Canang Sari merupakan ciptaan dari Mpu Sangkulputih yang menjadi sulinggih menggantikan Danghyang Rsi Markandeya di Pura Besakih. Canang berasal dari kata "Can" yang berarti indah, sedangkan "Nang" berarti tujuan atau maksud (bhs. Kawi/Jawa Kuno), Sari berarti inti atau sumber. Dengan demikian Canang Sari bermakna untuk memohon kekuatan Widya kehadapan Sang Hyang Widhi beserta Prabhawa (manifestasi) Nya secara skala maupun niskala. Dalam dokumen tersebut juga dijelaskan mengenai bentuk dan fungsi canang menurut pandangan Hindu Bali ada beberapa macam sesuai dengan kegiatan upakara yang dilaksanakan.
       Adapun perlengkapan daripada Canang itu antara lain sebagai alasnya dipakai Ceper, atau daun pisang yang berbentuk segi empat. Di atasnya berturut-turut di susun perlengkapan yang lain seperti : Pelawa, Porosan ysng terdiri dari salah satu atau dua potong sirih, di dalamnya diisi kapur dan pinang, lalu dijepit dengan sepotong janur di atasnya diisi dengan tangkih atau kojong dari janur yang bentuknya bundar disebut Urassari dapat pula ditambahkan dengan pandan harum yang diisi dengan wangi-wangian (Rai Sudharta, dkk, 1992:6)
       Unsur-unsur pokok dari Canang Sari adalah :
1)    Canang memakai alas berupa "ceper" (berbentuk segi empat) adalah simbol kekuatan "Ardha Candra" (bulan).

2)    Porosan
       Porosan terdiri dari pinang, kapur dibungkus dengan sirih. Dalam lontar Yadnya Prakerti disebutkan : pinang, kapur dan sirih adalah lambang pemujaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, dalam manifestasi sebagai Sang Hyang Tri Murti. Pinang lambang pemujaan kepada Dewa Brahma, Sirih lambang pemujaan kepada Dewa Wisnu, Kapur lambang pemujaan kepada Dewa Siwa. Tiga manifestasi inilah yang amat terkait dengan kehidupan umat manusia dalam sehari-hari (Rai Sudharta, dkk, 1992:6)

3)    Plawa
       Dalam Lontar Yadnya Prakerti disebutkan bahwa Plawa adalah lambang tumbuhnya pikiran yang hening dan suci. Jadi dalam memuja Tuhan sesuai dengan manifestasinya sebagai Tri Murti, harus dengan usaha menumbuhkan pikiran yang suci hening(Rai Sudharta, dkk, 1992:8)
       Karenan pikiran yang tumbuh dari kesucian dan keheningan itulah yang akan dapat menangkal pengaruh-pengaruh buruk dari bafsu duniawi. Pikiran yang suci dan hening inilah yang dapat menarik atau menurunkan karunia Tuhan (Rai Sudharta, dkk, 1992:8)

4)    Jejahitan, reringgitan dan tetuasan
       Jejahitan, reringgitan dan tetuasan adalah lambang ketetapan dan kelanggengan pikiran (Rai Sudharta, dkk, 1992:9)

5)    Urassari
       Letak Urassari dalam canang adalah di atas Plawa, Porosan, Tebu kekiping, Pisang dan lain-lainnya, yang dihiasi dengan ceper. Di atas Urassari ini diisi bunga-bungaan. Adapun dari pada Urassari tersebut kalau kita amati, berbentuk garis silang yang menyerupai tampak dara yaitu bentuk sederhana daripada Swastika, sehingga menjadi bentuk lingkaran Cakra setelah dihiasi (Rai Sudharta, dkk, 1992:10)
       Urassari yang tersusun dengan jejahitan, reringgitan dan tetuasan itu akan kelihatan berbentuk lingkaran “Padma Astadala”. Padma Astadala adalah lambang stana Ida Sang Hyang Widhi Wasa dengan delapan penjuru anginnya (Rai Sudharta, dkk, 1992:10)

6)    Bunga
       Bunga merupakan lambang keiklasan. Memuja tuhan tidak boleh ragu-ragu, harus didasarkan pada keiklasan yang benar-benar tulus datang dari lubuk hati yang paling dalam dan suci. Keiklasan merupakan kebutuhan dari pertumbuhan jiwa yang sehat. Dalam hidup kita harus mampu mengiklaskan  diri dari berbagai ikatan duniawi(Rai Sudharta, dkk, 1992:8). Penataan bunga berdasarkan warnanya di atas Sampian Urasari diatur dengan etika dan tattwa, harus sesuai dengan pengider-ideran (tempat) Panca Dewata. Urutan meletakkan Bunga sesuai dengan Purwa/Murwa Daksina yaitu diawali dari arah Timur ke Selatan.
       Bunga berwarna Putih (jika sulit dicari, dapat diganti dengan warna merah muda) disusun untuk menghadap arah Timur, adalah sebagai simbol memohon diutusnya Widyadari (Bidadari) Gagar Mayang oleh Prabhawa Nya dalam kekuatan Sang Hyang Iswara agar memercikkan Tirtha Sanjiwani untuk menganugerahi kekuatan kesucian skala niskala.
       Bunga berwarna Merah disusun untuk menghadap arah Selatan, adalah sebagai simbol memohon diutusnya Widyadari Saraswati oleh Prabhawa Nya dalam kekuatan Sang Hyang Brahma agar memercikkan Tirtha Kamandalu untuk menganugerahi kekuatan Kepradnyanan dan Kewibawaan.
       Bunga berwarna Kuning disusun untuk menghadap arah Barat, adalah sebagai simbol memohon diutusnya Widyadari Ken Sulasih oleh Prabhawa Nya dalam kekuatan Sang Hyang Mahadewa agar memercikkan Tirtha Kundalini untuk menganugerahi kekuatan intuisi.
       Bunga berwarna Hitam (jika sulit dicari, dapat diganti dengan warna biru, hijau atau ungu) disusun untuk menghadap arah Utara, adalah sebagai simbol memohon diutusnya Widyadari Nilotama oleh Prabhawa Nya dalam kekuatan Sang Hyang Wisnu agar memercikkan Tirtha Pawitra untuk menganugerahi kekuatan peleburan segala bentuk kekotoran jiwa dan raga.
       Bunga Rampe (irisan pandan arum) disusun di tengah-tengah, adalah sebagai simbol memohon diutusnya Widyadari Supraba oleh Prabhawa Nya dalam kekuatan Sang Hyang Siwa agar memercikkan Tirtha Maha mertha untuk menganugerahi kekuatan pembebasan (Moksa).

2.7.3    Rarapan
Jika dalam bahasa Indonesia rarapan itu berarti oleh-oleh, dari hal ini, dapat penulis asumsikan bahwa banten Rarapan merupakan banten yang dipersembahkan kepada Ida Sang Hyang Widhi sebagai rasa syukur kepada Beliau, karena Beliau telah memberikan keselamatan dan kerahayauan bagi umatnya.

2.7.4    Rayunan Putih-Kuning
Ranyunan Putih-Kuning (sodan) dipergunakan tersendiri sebagai persembahan ataupun melengkapi daksina suci dan lain-lain. Dalam buku Panca Yadnya (1995:101) dijelaskan beberapa jenis upacara tertentu penek atas untek tersebut diberi kunir sehingga sering disebut Rayunan Putih Kuning (sodan).
      Unsur yang terdapat dalam Rayunan Putih-Kuning adalah Bantal tape, jae uli putih, merah, kuning, jaja gina, jaja sirat, kacang-kacang.

2.7.5    Sampian Bungkulan



     
2.7.6    Jit Nasi
       Konsep penyatuan Siva Siddhanta pun ada dalam banten yang telah digunakan dalam setiap pelinggih yang sudah diterangkan diatas. Seperti Canag sari, Daksina, Rarapan, Rayunan Putih-Kuning, Sampian Bungkulan, Jit Nasi. Bahwa seluruh banten tersebut memberi makna bagaimana seluruh sekte yang ada di Bali seperti sekte Pasupata, Bhairawa, Siva Siddhanta, Waisnawa, Bidha, Brahma, Resi, Sora dan Ganapatya menyatu menjadi satu dalam sekte Siva Sinddhanta. Hal ini sama halnya seperti banten-banten tersebut, seluruh unsur yang digunakan telah dirangkai menjadi satu dalam bentuk banten.
2.8  Konsep penyatuan Siva Siddhanta di setiap Pelinggih
2.8.1    Kemulan
       Konsep penyatuan Siva Siddhanta di dalam Pelinggih kemulan adalah menyatunya sekte Brahma, Siwa dan Waisnawa yang berhasil disatukan oleh Mpu Kuturan dengan konsep Tri Murti kedalam simbol Pelinggih Kemulan.

2.8.2    Ibu
       Konsep penyatuan Siva Siddhanta pada Pelinggih Ibu tidak diketahui, karena fungsi Pelinggih Ibu yang terdapat dalam Merajan penulis merupakan simbolis dari pemujaan para parisentana kepada Leluhur atau kawitan dari pihak Ibu. Setiap pihak wanita yang menikah kekeluarga kami, pastinya pihak wanita mempunyai kawitannya terdahulu atau kawitan sewaktu dia masih singgle (bajang). Dengan adanya pelinggih ini di merajan, maka pihak wanita tidak akan lupa akan kawitannya terdahulu. Maka tidak diketahui konsep penyatuan Siva Siddhanta.

2.8.3    Kawitan
       Konsep penyatuan Siva Siddhanta yang ada didalam Pelinggih Kawitan, diawali dengan pengertian Kawitan tersebut, bahwa Pelinggih Kawitan disimboliskan berfungsi untuk memuja para Leluhur yang telah menjadi Deva-Devi. Agar semua parisentana tidak lupa akan Leluhur dan memudahkan untuk mengadakan hubungan dengan Leluhur. Jika kita kaji dari Mantra yang digunakan dalam Pelinggih Kawitan, sebagai berikut :
Mantra khusus untuk Pelinggih Kawitan adalah
Mantra :
Om Brahma Wisnu Iswara Dewam
Jiwatmanam Trilokanam
Sarwa Jagat Prastistanam
Sudha Klesa Winasanam
Om Guru Paduka Ya Nama
       Dalam Mantram ini menjelaskan pemujaan kepada Brahma, Wisnu dan Iswara (Siva), kita ketahui pemujaan ketiga dewa tersebut merupakan perwakilan dari sekte Brahma, Waisnawa, Siva yang menyatu dengan sekte Siva Siddhanta.

2.8.4    Surya
       Konsep penyatuan Siva Siddhanta yang ada didalam Pelinggih Surya dibuktikan dengan pemujaan terhadap Dewa Utama yang dilakukan oleh sekte Sora. Sekte sora memuja Hyang Surya. Dalam buku I Ketut Pasek Gunawan (Bahan Ajar Siva Siddhanta 1, 2012:49) menjelaskan bahwa pemujaan terhadap Surya sebagai Dewa Utama yang dilakukan sekte Sora, merupakan satu bukti sekte Sora ada. Sistem pemujaan Dewa Matahari yang disebut  Suryasewana dilakukan pada waktu matahari terbit dan matahari terbenam menjadi siri penganut sekte Sora. Pustaka Lontar yang membentangkan Suryasewana ini juga terdapat sekarang di Bali. Hal ini membuktikan bahwa Pelinggih Surya merupakan simbolis dari sekte Sora yang telah luluh menjadi satu dengan Sekte Siva siddhanta.

2.8.5    Taksu Agung
       Konsep penyatuan Siva Siddhanta yang ada didalam Pelinggih Taksu Agung belum dapat diterangkan atau di analisis oleh penulis, namun dalam buku Bahan Ajar Siva Siddhanta II (Gunawa, 2012:21) di jelaskan bahwa fungsi dari Pelinggih Taksu dengan Ista Dewata dari sekte Sakta di India hampir mirip. Tapi menurut DR. Goris dan Lontar Purana Bali Dwipa, tidak menyebutkan adanya sekte Sakta di Bali.

2.8.6    Pesaren
       Konsep penyatuan Siva Siddhanta yang ada didalam Pelinggih Pesaren kita cermati dari kata pesaren berarti ‘Istirahat’, berarti Pelinggih Pesaren di buat berfungsi sebagai tempat peristirahatan para Bhatara-Bhatari pada saat mengunjungi atau mengadiri suatu upacara. Karena seluruh Bhatara-Bhatari melinggih disana, maka Pelinggih Pesaren merupakan penyatuan dari seluruh sekte yang ada kedalam Siva Siddhanta.

2.8.7    Manik Galih
       Jika dicermati dari fungsi Pelinggih Manik Galih yaitu sebagai sthana dewata, yang berperan dalam pemberian kehidupan yang kekal atau yang menghidupkan, yang diwujudkan dalam bentuk sandang, pangan dan kekayaan berupa uang. Dewata yang di maksud adalah Dewi Sri. Dewi Sri merupakan sakti dari Dewa Wisnu, maka konsep kristalisasi Siva Sinddhanta dalam Pelinggih Manik Galih merupakan luluhnya Sekte Waisnawa kepada Siva Siddhanta.
       Adanya sekte Waisnawa di Bali dengan jelas diberikan petunjuk dalam konsepsi Agama Hindu di bali tentang pemujaan Dewi Sri. Dewi Sri dipandang sebagai pemberi rejeki, pemberi kebahagiaan dan kemakmuran. Di kalangan petani di Bali Dewi Sri dipandang sebagai Dewanya padi yang merupakan keperluan hidup yang utama (Gunawan, 2012:49). Maka dari hal tersebut telah jelas sekali bahwa Pelinggih Manik Galih merupakan salah satu simbolis dari adanya Sekte Waisnawa yang telah luluh dengan Siva Siddhanta.

2.8.8    Persimpangan Luhur Batukaru
       Konsep penyatuan Siva Siddhanta yang ada didalam Pelinggih Persimpangan Luhur Batukaru, jika dicermati Pura Luhur Batukaru merupakan salah satu bagian dari Pura Sad Kahyangan yang didirikan atas anjuran Mpu Kuturan sekitar abad ke-11. Keenam pura yang menjadi bagian dari Pura Sad Kahyangan salah satunya Pura Luhur Batukaru merupakan salah satu tempat suci penyatuan Siva Siddhanta di Bali, maka dari itu Pelinggih Persimpangan Pura Luhur Batukaru merupakan simbolis dari penyatuan seluruh sekte ke dalam Sekte Siva Siddhanta.

2.8.9    Menjangan Seluang
       Konsep penyatuan Siva Siddhanta yang ada didalam Pelinggih Menjangan Seluang adalah kristalisasi dari seluruh sekte yang ada. Hal ini dikarenakan Pelinggih Menjangan Seluang didirikan untuk menghormati Mpu Kuturan yang sangat besar jasanya untuk mempersatukan seluruh sekte yang ada di Bali.

2.8.10  Piyasan
       Konsep penyatuan Siva Siddhanta yang ada di Piyasan, bisa kita cermati dari fungsi. Piyasan berfungsi untuk tempat menata gegaluhan (menghiasi pratima-pratima) dan kadang-kadang ngubeng menghayat dewa samudhaya (dewa-dewi semua) yang sering disubut dewa pratista. Dari hal tersebut telah diterangkan bahwa dalam Pelinggih Piayasan ngubeng menghayat dewa samudhaya (dewa-dewi semua), maka Pelinggih Piyasan merupakan simbolis menyatukan semua sekte yang ada menjadi Siva Siddhanta.

2.8.11 Candi Bentar
       Konsep penyatuan Siva Siddhanta pada Candi Bentar tidak diketahui, karena secara umum Candi bentar berfungsi sebagai lawang pada saat keluar masuk pura saja.

2.8.12  Taksu Geginan
       Konsep penyatuan Siva Siddhanta pada Pelinggih Taksu Geginan, kita cermati dari fungsi Pelinggih Taksu Geginan yaitu tempat umat menghubungkan dan mendekatkan diri kehadapan Sang Hyang Taksu Pradnyan. Dalam keseharian umat menstanakan Sang Hyang Taksu yang merupakan kelebihan dari kemampuannya yang dipergunakan sebagai sumber dari penghidupannya sehari-hari. Disimak dari arti kata Taksu Geginan yaitu kegiatan yang dilakukan sehari-hari yang dilaksanakan dengan tulus iklas dan bertanggung jawab. Hal tersebut menerangkan bahwa Pelinggih Taksu Geginan merupakan penyatuan sekte Waisnawa kedalam sekte Siva Siddhanta. Karena sekte Waisnawa di Bali dengan jelas diberikan petunjuk dalam konsepsi agama Hindu di Bali tentang pemujaan Dewi Sri. Dewi Sri dipandang sebagai pemberi rejeki, pemberi kebahagiaan dan kemakmuran. Maka dari itu fungsi Pelinggih dan Sekte Waisnawa hampir sama.

2.9  Asta Kosala-Asta Kosali
       Dalam buku Jro Mangku Pulasari (Cakepan Asta Kosala-Kosali, 2007:1-2) Arti kata Asta Kosala-Asta Kosali ada berbagai pengertian diantaranya
1)    Asta Kosali adalah nama Lontar/Buku tentang ukuran membuat rumah.
2)    Asia Kosala adalah nama Lontar/Buku tetang ukuran membuat menara atau bangunan tinggi, wadah, bade, usungan mayat.
3)    Kosala berarti Balai atau balai kambang di tengah-tengah telaga.
4)    Asta atau Hasta, ukuran panjang 1 (satu) hasta yaitu dari pergelangan tangan sampai siku.
5)    Asta Dala berarti delapan helai daun (padma) sebagai lambang delapan penjuru tempat kedudukan Dewa-Dewi.
6)    Asta Dasa Parwa berarti delapan belas atau 18 Parwa dalam Mahabharata
7)    Asta Sakti ialah delapan sifat maha Kuasa dari Tuhan
       Dengan sakti atau sifat kedelapan inilah merupakan kekuatan dari Dewa-Dewa tersebut antara lain :
1) Dewi Sri
2)    Dewa Indra
3)    Dewa Guru
4)    Dewa Yama
5)    Dewa Ludra
6)    Dewa Brahma
7)    Dewa Kala
8)    Dewa Uma
       Yang sebagi patokan dasar ukuran timbul merupakan Tampak, Depa, Langkah dan lain sebagainya. Dengan perhitungan jejak/tegak Dewa-Dewa penguatan tersebut diatas. Maka demikian secara umun arti kata Asta Kosali.
       Dalam tugas ini, penulis tidak bisa menerangkan satu-persatu tentang Asta Kosala dan Asta Kosali, karena informan tidak mengetahui secara khusus mengenai hal ini.

III   PENUTUP
Simpulan
       Dari materi yang telah di uraikan, dapat penulis simpulkan bahwa penulis merupakan keturunan dari Sri Nararya Kresna Kepakisan. Ada dua fersi mengenai asal atau Kawitan penulis. Menurut informan dua fersi itu ialah dari fersi pertama bahwa keluarga penulis merupakan keturunan dari Sri Nararya Kresna Kepakisan yang pura kawitannya ada di Pura Sada Kapal, Kab Badung dan fersi kedua bahwa keluarga penulis merupakan keturunan dari Sri Nararya Kresna Kepakisan yang pura kawitannya ada di Pura Dalem Dukuh Gelgel, Kab Klungkung. Selanjutnya penulis mempunyai penyanggre Kawitan di Desa Pandak Gede dan akhirnya kesah ke Desa Penebel Kelod, Kec Penebel, Kab Tabanan, di desa ini lah keluarga penulis membangun Merajan Keluarga yang di sungsung oleh 10 kepala keluarga.
       Benang merah dari permasalahan ini bisa dilihat dari perjalanan Parisentana Sri Naraya Kresna Kepakisan yang kesah sampai ke Desa Penebel Kelod, Kec Penebel, Kab Tabanan dan membangun Merajan Keluarga.
       Penulis lebih menerangkan pelinggih-pelinggih Merajan keluarga yang ada Desa Penebel Kelod, Kec Penebel, Kab Tabanan. Adapun pelinggih-pelinggih tersebut, diantaranya :Kemulan, Ibu, Kawitan, Surya, Taksu Agung, Pesaren, Manik Galih, Persimpangan Batu Karu, Menjangan Seluang, Piyasan, Candi, Bentar, Taksu Geginan. Dalam tugas ini penulis juga menerangkan Denah Merajan, Pejelasan tentang fungsi masing-masing Pelinggih, Mantra dan Ulap-ulap Pelinggih, Makna dari Atribut-atribut (perhiasan) Pelinggih, Banten yang digunakan dalam setiap Pelinggih, Konsep Penyatuan Siva Siddhanta didalam setiap Pelinggih serta Asta Kosali-Asta Kosali.
       Semua permasalah yang telah diterangkan, dapat penulis terangkan bahwa Merajan penulis merupakan kristalisasi dari Sekte Siva Siddhanta, semua itu bisa dilihat dali fungsi, banten, mantra disetiap Pelinggih yang ada di Merajan.

Daftar Pustaka
Al Barry, M. Dahlan.1994. Kamus Modern Bahasa Indonesia. Yogyakarta :
                 Arloka.
Artikel Keluarga, Raja Purana, Merajan Kawitan I Gusti Wayahan Perti Sentana
                                    Sri Naraya Keresne Kepakisan Desa Pandak Gede.
Gunawan, I Ketut Pasek. 2012. Pengantar Bahan Ajar Siva Siddhanta I. Singaraja
                 : IHDN.
Gunawan, I Ketut Pasek. 2012. Pengantar Bahan Ajar Siva Siddhanta II.
                 Singaraja : IHDN.
Pulasari, Jro Mangku. 2007. Cakepan Asta Kosala-Kosali. Surabaya : Paramita.
Rai Sudharta, Tjokorda, dkk.1992. Arti dan Fungsi Sarana Upakara. Denpasar :
                        PHDI.
Seregeg, I Wayan. 2003. Kidung Panca Yadnya. Singaraja : Indra Jaya.
Soebandi, Ktut. 1981. Pura Kawitan/Padharman dan Penyungsung Jagat.
                 Denpasar : CV. Kayumas Agung.
Suandra, I Made. Himpunan Ulap-ulap Palinggih. Denpasar : PT. Upasada Sastra.
Sudarsana, I.B. Putu.1998. Ajaran Agama Hindu Manifestasi Sang Hyang Widhi.
                 Denpasar : Yayasan Dharma Acarya Percetakan Mandara Sastra.
Suhardana, K.M. 2006. Dasar-dasar Kepemangkuan. Surabaya : Paramita.
Suhardana, K.M. 2005. Babad Nyuhaya. Surabaya : Paramita.
Surayin, Ida Ayu Putu. 2002. Seri I Upakara Yajna, Melangkah ke Arah
                 Persiapan Upakara-upakara Yajna. Surabaya : Paramita
Tinggen, I Nengah. 2011. Kumpulan Istilah Dalam Agama Hindu. Singaraja.
Titib, I Made. 2003. Teologi dan Simbol-simbol dalam Agama Hindu. Surabaya :
            Paramita.
------------.1995. Panca Yadnya. Denpasar : PHDI
sri-nararya-kresna-kepakisan(arya nyuh aya).html

Keterangan lainnya :


(I Wayan Sukaada)
 










I Wayan Sukaada, merupakan Pemangku Merajan di Keluarga penulis, sekaligus sebagai informan yang yang diwawancarai oleh penulis untuk melengkapi data tugas Siva Siddhanta II.





(Artikel Keluarga, Raja Purana)









 



































1 opmerking: