TUGAS
SIVA SIDDHANTA II
“PENELITIAN
MERAJAN”
Dosen
Pengampu: I Ketut Pasek Gunawan S. Pd. H
IHDN DENPASAR
Ni
Luh Putu Sri Musiartini Setiawati
10.1.1.1.1.3883
PAH/semester V
10.1.1.1.1.3883
PAH/semester V
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA HINDU
FAKULTAS
DHARMA ACARYA
INSTITUT
HINDU DHARMA NEGERI DENPASAR
|
I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Alangkah indahnya dan magisnya agama
Hindu yang kita anut ini, yang mengandung penuh kehalusan seni
budaya,falsafah-falsafah keagungan budi, yang sesungguhnya senantiasan menempa
dan membesarkan jiwa kita.
Begitu pula dengan sejarah dari adanya
keturunan-keturunan generasi penerus. Kita ketahui, bahwa kehidupan kita
terikat dengan sejarah. Sejarah dapat
diartikan sebagai gambaran tentang peristiwa-peristiwa atau kejadian masa
lampau yang dialami manusia, disusun secara ilmiah, meliputi urutan waktu
tertentu, diberi tafsiran dan analisa kritis sehingga mudah dimengerti dan
dipahami.
Masyarakat
Hindu di Bali masih kental pemahamannya tentang garis satu-kesatuan keturunan
yang dikenal dengan Catur Warna artinya empat golongan karya dalam masyarakat
Hindu yaitu Brahmana, Ksatria, Wesya, Sudra. Selain itu masyarakat juga
mengenal dengan garis keturunan yang biasa disebut dengan Warga, seperti Warga
Brahmana, Ksatrya, Arya, Pasek, dll.
Maka
dari itu perlunya kita untuk mengetahui sejarah garis keturunan keluarga kita
khususnya dari para Leluhur maupun Kawitan kita sendiri. Untuk mengetahui hal
itu sangatlah perlu kita melihat kebelakang, dalam artian mengorek lagi lebih
dalam tetang riwayat maupun garis keturunan kita. Hal ini sangatlah bersifat
Abstrak, mungkin sangatlah susah jika kita kaji secara ilmiah, namun demikian
hal ini tidak bisa anggap remeh. Karena akibat dari kelalaian kita melupakan
Leluhur atau Kawitan sangat berdampak negatif dan bisa dirasakan
ketidakseimbangan dalam kehidupan seperti selalu ada masalah dalam keluarga,
diluar keluarga yang mungkin diluar jangkauan fikiran dan diri manusia
tersebut.
Sebenarnya
untuk berbakti kepada Leluhur atau Kawitan, kita bisa melakukannya melalui
yadnya. Berbakti kepada Sang Hyang Widhi tidak cukup dengan melakukan pemujaan
dalam bentuk doa melainkan kita bisa berbakti ke pada Sang Hyang Widhi melalui
Yadnya, yaitu suatu persembahan suci dengan tulus iklas. Dalam buku Panca
Yadnya (1995:1) menjelaskan bahwa pelaksanaan Yadnya sebagian besar
pengembalian Tri Rna karena Weda mengajarkan Sang Hyang Widhi menciptakan alam
semesta ini berdasarkan Yadnya. Maka dari itu yag bermoral akan merasa
mempunyai hutang kepada Sang Hyang Widhi. Sebab itu untuk menyampaikan rasa
berhutang, Umat Hindu melakukan Yadnya.
Cara ini bisa dilakukan dengan Panca yadnya, yang terdiri dari Dewa
yadnya, Rsi Yadnya, Pitra Yadnya, Manusia Yadnya, Bhuta Yadnya (Tinggen,
2001:14). Untuk sembah bakti kita terhadap Leluhur atau Kawitan, kita bisa
melaksanakannya melalui Pitra Yadnya. Pitra Yadnya yaitu persembahan atau
kurban suci, karena Leluhur atau Ibu Bapak telah berjasa kepada preti sentana
atau keturunan, karena beliau telah melahirkan, mengasuh, memelihara dan
membiayai pendidikan dan lain sebagainya
atas dasar kasih sayang yang mendalam da tidak ternilai harganya. Oleh karena
itu preti sentana berhutang budi yang besar terhadap Leluhur atau Ibu bapak
yang menurut ajaran Agama Hindu hutang
itu disebut Pitra Rna yang merupakan salah satu bagian dari Tri Rna (Soebandi,
1981:11).
Sesudah
selesainya upacara Pitra Yadnya yang dimulai dengan upacara Sawa Wedana yang
dilanjutkan dengan upacara Atma Wedana, lalu arwah Leluhur itu dibuatkan suatu
bangunan suci di Pura keluarga yang lazim disebut Sanggah atau Marajan yang
kemudian didalam sejarah perjalanan dan perkembangan preti sentana lalu lazim
disebut Paibon, Panti, Dadya, dan Dadya Agung atau Merajan dan Merajan Agung
sesuai dengan status dan fungsinya masing-masing dan yang terakhir adalah Pura
Kawitan sebagai tempat melakukan persembahan dan sujud bhakti serta mengadakan
hubungan dengan Leluhur yang telah berada dialam Dewa-dewa dengan status
Bhatara Bhatari yang biasa disebut Kawitan dengan parhyangannya diberi nama
Pura Kawitan (Soebandi, 1981:11). Kewajiban preti santana untuk melakukan
persembahan dan sujud bakti ini tidak boleh diabaikan, karena akan membawa
akibat fatal bagi preti sentana. Di dalam sebuah Bisama atau Piteket disebutkan
demikian : Away kita lali lipya ring panyiwianta, yan kita lali lipya moga
kita tan wus apacingngilah ring apasanakan, tan wus rundah, hana kene hana
keto, sugih gawe kurang pangan, satata dan anemu karahajengan ;…….. dan
seterusnya, artinya : Janganlah hendaknya kamu melupakan penyiwianmu (tempat
suci menyembah terhadap Leluhur), kalau engkau melupakannya mudah-mudahan kamu
tidak henti-hentinya bersengketa didalam keluarga, tidak pernah merasakan
tenang, ada yang begini dan ada yang begitu, walaupun sudah giat bekerja, namun
kehidupanmu selalu dalam kekurangan, senantiasa tidak pernah merasakan
ketenangan dan keselamatan didalam kehidupanmu........ dan seterusnya
(Soebandi, 1981:12).
Bagi
umat Hindu Bali tempat sembahyang yaitu sujud bhakti kepada-Nya adalah suatu
bangunan suci yang disebut Pura atau Kahyangan dan dari tempat inilah melakukan
pemujaan terhadap-Nya.
Maka
dari itu penulis melalui tugas ini akan menjelaskan hasil penelitian penulis
tentang merajan yang ada di keluarga penulis. Namun perlu diketahui juga ada
beberapa Metode yang digunakan penulis dalam melaksanakan tugas ini,
diantaranya :
1.2 Metode
Penelitian
Ada
beberapa metode yang digunakan dalam penelitian ini antara lain :
1.2.1 Metode
Pengumpulan Data
Penelitian ini dilaksanakan
di Merajan penulis sendiri yaitu di Desa Penebel kelod, Kecamatan Penebel,
Kabupaten Tabanan. Penulis memilih Merajan sendiri karena merajan ini yang
paling sering di gunakan untuk persembahyangan keluarga besar. Namun dalam
tugas ini, penulis juga menceritakan sedikit sejarah tetang asal usul mengapa
merajan ini ada, dan sejarah tentang kawitan keluarga besar.
Dari teknik yang digunakan ini, penulis hanya mengumpulakn data melalui pencatatan dokumen, observasi, wawancara. Alat yang digunakan yaitu berupa camera digital, HP, kertas, pulpen.
Dari teknik yang digunakan ini, penulis hanya mengumpulakn data melalui pencatatan dokumen, observasi, wawancara. Alat yang digunakan yaitu berupa camera digital, HP, kertas, pulpen.
1.2.1.1
Teknik Pencatatan Dokumen
Dari teknik ini, lebih
banyak menggunakan sumber-sumber, yaitu buku, majalah, makalah, artikel. Hasil
yang didapat dari penggunaan teknik ini adalah sejarah berdirinya Merajan di desa
penebel kelod, kec Penebel, sejarah pura kawitan, gambar-gambar pelinggih, Mantra, Ulap-ulap
Pelinggih, Atribut (Hiasan), banten disetiap Pelinggih pada Merajan yang
Odalannya jatuh pada Purnama Kalima.
1.2.1.2 Teknik Observasi
Dari kamus besar bahasa
indonesia Observasi berarti pengamatan, peninjauan, penyelidikan (Al Barry,
1994:456). Penulis melakukan pengamatan selama 1 minggu di merajan, dengan di
dampingi oleh keluarga besar. Dalam pengamatan yang dilakukan, penulis hanya
mendapat sedikit informasi, informasi-informasi tersebut akan dijelaksan dalam
pembuatan tugas ini.
1.2.1.3 Teknik Wawancara
Teknik ini digunakan
untuk mendapatkan informasi yang seakurat mungkin dari informan. Penulis
menggunakan satu informan yang merupakan Pemangku dalam keluarga penulis.
Diharapkan dengan penggunaan teknik ini, bisa melengkapi penelitian kecil yang
di laksanakan penulis sebagai tugas mata kuliah Siva Siddhanta.
II PEMBAHASAN
Dalam mencari garis
keturunan atau kawitan, penulis masih mengalami kesulitan, karena ada dua fersi
yang berbeda didapat dari hasil observasi maupun wawancara kepada informan.
Informan menjelaskan bahwa ada dua fersi mengenai kawitan penulis, dua fersi
itu ialah dari fersi pertama bahwa keluarga penulis merupakan keturunan dari Sri
Nararya Kresna Kepakisan yang pura
kawitannya ada di Pura Sada Kapal, Kab Badung dan fersi kedua bahwa keluarga
penulis merupakan keturunan dari Sri Nararya Kresna Kepakisan yang pura
kawitannya ada di Pura Dalem Dukuh Gelgel, Kab Klungkung.
Keluarga penulis mempunyai penyanggre
kawitan di Desa Pandak Gede, dari hal ini lah terdapat kerancuan apakah
penyanggre kawitan di Desa Pandak Gede itu merupakan penyanggre dari kawitan
yang ada di Kapal atau merupakan penyanggre kawitan yang ada di Dukuh Gelgel.
Namun informan mengatakan benang merah dari masalah di atas, bahwa ada
keterkaitan antara kawitan yang ada di Kapal dengan yang ada di Dukuh Gelgel.
2.1 Sejarah Pari Sentana Sri Nararya Kresna
Kepakisan
Setelah Raja Bali yang bergelar Gajah Waktra di Bedahulu,
atau disebut juga Sri Astha Sura Ratna Bhumi Banten dapat dikalahkan oleh
Mahapatih Gajah Mada pada tahun 1343 M, maka Gajah Mada menempatkan para arya
yang mengiringi beliau di Bali. Patih Kerajaan Bedahulu Ki Pasung Grigis tidak
dibunuh dan sebagai imbalannya maka Ki Pasung Grigis diperintahkan untuk
menyerang Raja Sumbawa, Dedela Natha. Keduanya terbunuh, karena keduanya
mempunyai kesaktian yang seimbang (sri-nararya-kresna-kepakisan(arya
nyuh aya).html).
Setelah Bali ditaklukkan ternyata masih terjadi
pemberontakan dimana-mana akibat ketidakpuasan dari penduduk Bali Aga terhadap
pemerintahan para arya yang ditugaskan di Bali. Atas pemikiran Gajah Mada maka
Arya Kepakisan datang ke Bali pada 1352 M diutus oleh raja
Majapahit mengiringi Dalem Sri Kresna Kepakisan, untuk memadamkan
pemberontakan di 39 desa Bali Aga. Satu persatu desa Bali Aga yang memberontak
dapat ditaklukkan. Setelah berhasil beliau diangkat sebagai patih agung
kerajaan, mendampingi Dalem Sri Kresna Kepakisan, sebagai raja
Samprangan I (sri-nararya-kresna-kepakisan(arya
nyuh aya).html).
Dalem Sri Kresna Kepakisan berstana (tempat tinggal) di
Samprangan. Sedangkan Arya Kepakisan menuju tenggara dan tiba disebuah tempat.
Di tempat itu Beliau menemukan sebuah Kelapa Besar (Nyuh Aya). Di tempat
itulah dipilih sebagai tempat tinggal yang kemudian diberi nama dengan DESA
NYUH AYA, untuk mengenang ditemukannya Kelapa Besar (Nyuh Aya). Tempat
itupun diberi tanda/cihna/ciri dengan Taru Agung atau disebut juga Taru
Rangsana, dimana di Jawa Timur dikenal dengan sebutan Pohon Pakis atau
pohon angsana (Pterocarpus indicus). Taru Agung tersebut
mempunyai keunikan karena getahnya berwarna Merah Darah, seperti darah
manusia. Karena keunikan itulah Taru Agung tersebut dipilih sebagai
tanda/cihna/ciri, yang dibawa dari Desa Pakis asal Arya Kepakisan. Taru Agung
atau disebut juga Taru Rangsana tersebut hingga kini masih bisa dijumpai dan
tumbuh subur di Jaba Pura Kawitan Arya Kepakisan (Arya Nyuh Aya) (sri-nararya-kresna-kepakisan(arya nyuh
aya).html).
Ketentuan atau
kewajiban di Pura Dalem Agung Pura Kawitan Sri Nararya Kresna Kepakisan di
Banjar Dukuh Nyuh Aya, desa Gelgel, Kabupaten Kelungkung. Sebenarnya
parisentana Sri Nararya Kresna Kepakisan, semuanya mempunyai tugas yang
sama untuk memelihara dan menegakan
bisama leluhur. Sri Nararya Kresna Kepakisan yang datang dari Jawa ke Bali pada
tahun Caka 1274, pemerintahan Dalem Sri Kresna Kepakisan di samprangan Ide Sri
Nararya Kresna Kepakisan bersetana didesa Nyuh Aya.
Parisentana atau keturunan Sri Nararya
Kresna Kepakisan dapat digambarkan demikian. Beliau Sri Nararya Kresna Kepakisan
mempunyai dua orang putra yakni: (Suhardana, 2005:55)
2.1.1 Kiyai Nyuhaya
Kiyai Nyuhaya yang
telah diangkat sebagai Patih Agung diberi Kiyai Agung Nyuhaya dan belakangan
juga dinamakan I Gusti Agung Nyuhaya mempunyai 8 anak. Diantaranya 7 orang
putra dan seorang putri dari isterinya yang pertama yaitu: Kiyai Petandakan,
Kiyai Satra, Kiyai Pelangan, Kiyai Akah, Kiyai Keloping, Kiyai Cacaran, Kiyai
Anggan, Kiyai Isteri Ayu Adi. Sedangkan dari isteri penawing, beliau menurunkan
3 orang putra, yaitu I Gusti Wayan Nyuhaya, I Gusti Nengah Nyuhaya, I Gusti
Ketut Nyuhaya (Suhardana, 2005:55-56)
Kiyai Agung Nyuhaya pindah dari
samprangan ke Gelgel menjabat patih Agung Dalem Ketut Semara Kepakisan. Pada
tahun saka 1329 Kiyai Agung Nyuhaya meninggal dunia di gelgel. Setelah itu
Kiyai Agung Nyuhaya digantikan oleh putra sulungnya yang bernama Kiyai
Petandakan sebagai Patih Agung Dalem Sri Aji Waturenggong yang memerintah dari
tahun caka 1382-1480. Pada awal abad 14 masehi berdasarkan ajaran tri renam
dibawah asuhan Dang Hyang Nirata. Kiyai Petandakan mendirikan sebuah Peryangan
atau tempat memuja leluhur di pinggir tukad Unda yang kemudian disebut Pura
Dalem Dukuh, mengapa disebut demikian karena tempatnya dipedukuhan.
Di pura Dalem Dukuh yang di setanakan ialah
Ide Sri Nararya Kresna Kepakisan, oleh karena itu Pura Dalem Dukuh adalah pura
Kawitan dari perisentana Sri Nararya Kresna Kepakisan.
Kiyai Petandakan mempunyai 4 orang putra
yakni : I Gusti Bantanjeruk, I Gusti Bebengan, I Gusti Tusan, I Gusti Gunung
Nangka. Setelah Kiyai Petandakan wafat, beliau digantikan oleh I Gusti
Bantanjeruk dan menjabat sebagai Patih Agung.
2.1.2 Kiyai Made Asak
Kiyai Made Asak menetap
di desa Kapal bersama pangeran kapal
atau Arya Delancang. Di desa Kapal Kiyai Made Asak menikah dengan putri Patih
Tua atau Arya Delancang. Disana beliau mempunyai seorang putra yang bernama I
Gusti Agung Diler dan setelah di Gelgel beliau dipanggil I Gusti Agung
Manginte, mengapa dipanggil demikian karena I Gusti Agung Manginte selalu
nginten Ide Dalem yang masih kecil disekitaran tahun caka 1478. Beliau lahir di
Kapal.
2.2
Penyebaran Pari Sentana Sri Nararya Kresna Kepakisan
Untuk penyebaran dari Pari Sentana Sri
Nararya Kresna Kepakisan, khusunya di keluarga penulis belum jelas. Tetapi
menurut informan dan panduan artikel keluarga menjelaskan kemungkinan karena
pada tahun caka 1478 terjadi pelawanan I Gusti Agung Bantanjeruk terhadap Dalem
yang mengakibatkan tewasnya I Gusti Bantanjeruk di Jungutan, desa Bungaya dan
akhirnya I Gusti Manginten menggantikan kedudukan beliau sebagai patih. Karena
I Gusti Manginten lahir di desa Kapal, dan beliau melakukan yoga semadi dan
yoga samadi beliau ini lah maka beliau mendapat penugrahan dari Ide Batare
Dalem Dukuh di Kapal. Sebagai rasa hormat beliau kehadapan Ide Betara Dalem
Dukuh Kapal dan sebagai setana Ayah beliau Kiyai Made Asak, lalu beliau
menyempurnakan pelinggih di Pura Dalem Dukuh Gelgel dan membangun lagi sebuah
gedong. Setelah itu lahirlah seluruh keturunan Pari Sentana Sri Nararya Kresna
Kepakisan dan menyebar diseluruh Bali.
Maka dari itu dapat disimpulkan kenapa
ada dua kawitan yang keluarga penulis sungsung, itu disebabkan karena keluarga
penulis merupakan keturunan dari Pari Sentana Sri Nararya Kresna Kepakisan yang
Pura kawitannya sudah ditetapkan di Pura Dalem Dukuh Gelgel, Kab Klungkung ,
namun untuk menghormati I Gusti Manginten yang lahir di Kapal dan sudah diberi
penugrahan dari Ide Batare Dalem Dukuh di Kapal. Maka dari itu keluarga penulis
juga mempunyai kawitan di kapal tepatnya di Pura Sada Kapal, Kab Badung.
Pada saat seluruh Pari Sentana Sri
Nararya Kresna Kepakisan dan menyebar diseluruh Bali. Dari puntungnya kisah I
Gusti Manginten maka tidak diketahui lagi secara rinci keluarga penulis
keturunan dari raja siapa. Setelah itu Leluhur dari keluarga penulis menetap di
desa Pandak Gede, kec Kediri, Tabanan. Di desa Pandaklah dibuatkan penyanggre
dari kedua kawitan yang telah disebutkan tadi dan Dalem Ketut Ngelesir yang
dipendak di desa Pandak Gede pada tahun 1305. Setelah ngelesir ke Pandak, maka
keturunan Pari Sentana Sri Nararya Kresna Kepakisan kesah lagi kec Penebel,
Tuwak Ilang, Pekutatan, Kerambitan, Kab Tabanan.
Untuk keluarga penulis kesah ke desa Penebel Kelod, Kec Penebel, Tabanan. Di desa Penebel Kelod, Kec Penebel, Tabanan. Keluarga penulis membuat Merajan Besar yang sekarang di sungsung oleh 10 kepala keluarga. Dalam tugas Siva Siddhanta penulis akan memfokuskan menerangkan pelinggih-pelinggih Merajan yang ada di desa Penebel Kelod, Kec Penebel, Tabanan.
![]() |
(Pura Kawitan Panda Gede) |
Untuk keluarga penulis kesah ke desa Penebel Kelod, Kec Penebel, Tabanan. Di desa Penebel Kelod, Kec Penebel, Tabanan. Keluarga penulis membuat Merajan Besar yang sekarang di sungsung oleh 10 kepala keluarga. Dalam tugas Siva Siddhanta penulis akan memfokuskan menerangkan pelinggih-pelinggih Merajan yang ada di desa Penebel Kelod, Kec Penebel, Tabanan.
Didalam merajan ada sebelas pelinggih
yang disungsung oleh 10 kepala keluarga, sebelum penulis menerangkan fungsi,
mantra, dll di setiap pelinggih. Perlu di ketahui denah dari merajan penulis.
2.3 Denah Merajan
2.3.1 Keterangan
2.3.1 Keterangan
1) Kemulan
2) Ibu
3) Kawitan
4) Surya
5) Taksu Agung
6) Pesaren
7) Manik Galih
8) Persimpangan Batu Karu
9) Menjangan Seluang
10) Piyasan
11)
Candi Bentar
12) Taksu Geginan
Dapat penulis asumsikan kata pesaren berarti ‘Istirahat’, berarti Pelinggih Pesaren di buat berfungsi sebagai tempat peristirahatan para Bhatara-Bhatari pada saat mengunjungi atau mengadiri suatu upacara. Ibaratakan kita hubungkan dalam keseharian Hyang / Bhetara didekatkan dengan kehidupan kita sehari hari, perlu pesaren ( tempat peristirahatan ) maka dibuatkanlah Pelinggih Pesaren.
Kata candi berasal dari salah satu sebutan dari Durga, yaitu “Candika” yang diartikan Dewa Maut. Candi itu erat hubungannya deangan keagamaan, jadi bersifat suci. Candi itu merupakan bangunan tempat penyimpan abu jenazah para raja atau orang-orang terkemuka lainnya zaman Kerajaan Hindu yang secara simbolis berupa puspa sarira (puspalingga). Setelah proses melalui upasara Sradha. Candi-candi yang demikian tidak kita dapati di Bali. Yang kita dapat di Bali ialah bangunan candi bentar yang merupakan peninggalan Kerajaan Majapahit (Suandra, Himpunan Ulap-ulap Pelinggih:6)
2.4 Penjelasan masing-masing Pelinggih yang ada di
Merajan
2.4.1 Kemulan
Bentuk bangunan Rong Tiga pada umumnya
sama seperti gedong yakni empat persegi panjang. Bangunan ini terdiri dari tiga
bagian, yaitu empat persegi panjang. Bangunan ini terdiri dari tiga bagian
yaitu dasar pada umumnya terbuat dari batu padas (bahan lain yang keras), di
atas dasar masih terdapat 4 atau 8 buah tiang sebagai kaki bangunan (bila 8
tiang, biasanya tiang bagian depan ditengah-tengah adalah tiang semu sebanyak 2
buah), badan bangunan agak ke atas sama halnya seperti tiang tersebut dari kayu
dengan tiga buah ruangan menghadap ke depan (rong tiga/ruang tiga), sedangkan
bagian atasnya terbuat dari kontruksi kayu dengan atap ijuk, alang-alang atau
bahan yang lain, yang bentuknya seperti bangunan rumah (Titib, 2003:109-110).
Fungsi kemulan yaitu sebagai parhyangan
Sanghyang Widi Wasa di dalam berbagai prabawa atau perwujudan (manifestasi)-nya,
disamping sebagai stana dari para arwah leluhur yang sudah disucikan yang
dianggap sudah tunggal dengan Sanghyang Widi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) dan
berada didalam Dewa-Dewa (Soebandi,1981:103). Dalam buku Dasar-dasar
Kepemangkuan (Suhardana, 2006:123-124) menjelaskan bahwa menurut Prif. Dr. Tjok
Rai Sudharta MA (SARAD No. 41/2003), menjelaskan isi beberapa Lontar mengenai
sanggah Kemulan, yaitu
1) Lontar Usana Dewa yang menyatakan sbb :
Yang berstana pada Sanggah Kemulan adalah
Sang Hyang Atma. Di Kemulan rong kanan adalah Para Atma yaitu bapak. Di Kemulan
rong kiri adalah Siwa Atma yaitu ibu. Di Kemulan rong tengah adalah wujudnya
Brahma, yaitu ibu bapak yang sudah berwujud Sang Hyang Tuduh
2) Lontar Gong Besi menyatakan sbb :
“….. pada Kemulan rong kanan sebagi bapak
adalah para Atma. Pada Kemulan rong kiri sebagai ibu namanya Siwa Atman. Pada
Kemulan rong tengah wujudnya sebagai Susuna Atma atau Leluhur seterusnya, yaitu
ibu bapak dalam wujudnya pulang kepada Yang Kuasa yaitu Sanghyang Tunggal,
mempersatukan wujud…..
3) Lontar Purwa Bumi Kemulan menyatakan sbb :
Yang berstana di Sanggah Kemulan adalah
Atman sebagai Bhatara yang guru (Suhardana, 2006:124).
4) Lontar Siwa Gama Kemulan menyatakan sbb :
Yang berstana di Sanggah Kemulan adalah
Sang Pitara dengan menyebutkan “:…… Kramangta Sang Pitara muliheng batur
Kamulannya nguni”
Pelinggih Rong Tiga dalam lingkungan
keluarga tiada lain agar kita selalu ingat dan memuja kebesaran Sang Hyang
Widhi dalam kaitannya dengan hutang yang disebut dengan Tri Rnam (Gunawan,
2012:20). Tri Rnam adalah Tiga Hutang. Tiga Hutang yang dimaksud adalah hutang
kepada Sang Hyang Widhi, hutang kepada Leluhur dan hutang kepada Rsi. Maka
dengan alasan itu, pembuatan Pelinggih Rong Tiga bermaksudkan agar lingkungan
keluarga sebagai anggota terkecil selalu ingat kepada Tri Rnam.
Sejarah adanya Pelinggih Kemulan dimulai
pada abad ke-11 sejak kedatangan seorang Brahmana Bhuddha dari Majapahit
bernama Mpu Kuturan. Mpu Kuturan
berhasil menyatukan seluruh sekte yang ada di Bali. Beliau mempunyai ide atau
konsep yang mengajak masyarakat Bali untuk menyatukan Tri Murti kedalam simbol
Palinggih Kemulan Rong Tiga.
2.4.2 Ibu
Menurut informan Pelinggih Ibu yang
terdapat dalam Merajan penulis merupakan simbolis dari pemujaan para
parisentana kepada Leluhur atau kawitan dari pihak Ibu. Setiap pihak wanita
yang menikah kekeluarga kami, pastinya pihak wanita mempunyai kawitannya
terdahulu atau kawitan sewaktu dia masih singgle (bajang). Dengan adanya
pelinggih ini di merajan, maka pihak wanita tidak akan lupa akan kawitannya
terdahulu.
Sanggah
Kawitan yang ada di Merajan penulis berfungsi untuk memuja para Leluhur yang
telah menjadi Deva-Devi. Agar semua parisentana tidak lupa akan Leluhur dan
memudahkan untuk mengadakan hubungan dengan Leluhur. Dalam buku Ktut Soebandi
(1981:11) dijelaskan bahwa Pura/pPelinggih Kawitan merupakan tempat melakukan
persembahan dan sujud bakti serta mengadakan hubungan dengan Leluhur yang telah
berada dialam Deva-Devi dengan status Bhatara-Bhatari.
Maka dari itu dengan di buatnya Pelinggih
Kawitan ini, diharapkan keturunan atau parisentana melakukan kewajibannya untuk
melakukan persembahan dan sujud bakti kepada para Leluhur. Jika hal itu sampai
dilupakan, maka hal tersebut bisa membawa Dampang Negatif bagi seluruh
parisentananya.
Pelinggih
Surya merupakan pelinggih yang befungsi sebagai simbolis untuk memuja Sang
Hyang Surya Raditya sebagai saksi segala kegiatan manusia khususnya ritual
yadnya. Dalam Lontar Siwagama gelar Surya Raditya adalah gelar dari Dewa Surya
atas anugrah dari Dang Guru (Dewa Siwa) karena bhakti dan kepandaian belaiau.
Hyang Surya diberikan anugrah juga sebagai Upa Saksi segala kegiatan manusia
dan pemberi cahaya, pemusnah segala kegelapan (Gunawan, 2012:22).
Pelingih ini terdiri dari 1 rong , lubang atau ruangan. Kita
ketahui bersama dalam buku I Ketut Pasek Gunawan (Bahan Ajar Siva Siddhanta
II,2012:21), menjelaskan bahwa Taksu itu berarti daya Magic atau sakti. Sakti emrupakan simbol dari bala atau Kekuatan.
Secara umum fungsi dari tempat suci ini adalah
untuk memohon kekuatan gaib untuk pekerjaan yang digeluti bagi siapa
yang mendirikan pelinggih tersebut, pelinggih Taksu juga berfungsi sebagai ‘transit’
Ida Bhatara ketika diadakan piodalan
dan Juga sebagai “pecalang” yang
khusus menerima, mengatur dan menetapkan para dewa yang dianggap sebagai tamu
yang turut menyaksikan jalannya upacara pujawali.
Disamping
hal tersebut, Taksu Agung berfungsi sebagai tempat untuk menghubungkan dan
mendekatkan diri kehadapan Sang Hyang Taksu Agung. Kalau dilihat dari katanya
Taksu Agung artinya suatu sikap yang tulus ikhlas dan bertanggung jawab yang
dimuliakan, maka dapat disimpulkan bahwa Taksu Agung merupakan lambang kekuatan
Hukum Karma Phala, yang merupakan pedoman pada setiap langkah yang harus
dialami oleh umat. Di mana
suatau perbuatan pasti akan ada hasil yang ditimbulkannya, (http://niwayansari.blogspot.com/2011/12/tempatku-memujamu-sanggah-atau.html).
suatau perbuatan pasti akan ada hasil yang ditimbulkannya, (http://niwayansari.blogspot.com/2011/12/tempatku-memujamu-sanggah-atau.html).
Dapat penulis asumsikan kata pesaren berarti ‘Istirahat’, berarti Pelinggih Pesaren di buat berfungsi sebagai tempat peristirahatan para Bhatara-Bhatari pada saat mengunjungi atau mengadiri suatu upacara. Ibaratakan kita hubungkan dalam keseharian Hyang / Bhetara didekatkan dengan kehidupan kita sehari hari, perlu pesaren ( tempat peristirahatan ) maka dibuatkanlah Pelinggih Pesaren.
Pelinggih
Manik Galih pada umumnya berupa gedong beratap atau malimas, memakai ruang dua
(kembar) yang disebut Manik Galih, Rambut Sadhana, Sri Sedhana. Manik Galih
berfungsi sebagai sthana dewata, yang berperan dalam pemberian kehidupan yang kekal atau yang menghidupkan, yang
diwujudkan dalam bentuk sandang, pangan dan kekayaan berupa uang (Suandra,
Himpunan Ulap-ulap Palinggih:31).
Dalam
merajan penulis terdapat pelinggih khusus yaitu Pelinggih Persimpangan Luhur
Batukaru, pelinggih ini ada karena rumah penulis di Desa Penebel Kelod, Kec Penebel, Tabanaan
dekat dengan Pura Luhur Batukaru, maka dibuatlah pelinggih Persimpangan Luhur
Batukaru, alasan dibuat pelinggih ini jika pada saat ada odalan di Pura Luhur
Batukaru namun keluarga tidak bisa nangkil maka bisa ngayat sesuunan Luhur
Batukaru dari Persimpangan Luhur Batukaru ini. Pura Luhur Batukaru melupakan
salah satu bagian dari Pura Sad Kahyangan.
Pura Luhur Batukaru sebagai tempat memuja Tuhan
sebagai Dewa Mahadewa. Karena fungsinya untuk memuja Tuhan sebagai Dewa yang
menumbuhkan tumbuh-tumbuhan dengan mempergunakan air secara benar, maka di Pura
Luhur Batukaru ini disebut sebagai pemujaan Tuhan sebagai Ratu Hyang Tumuwuh. Ratu
Hyang Tumuwuh sebutan Tuhan sebagai yang menumbuhkan.
Bangunan
suci Menjangan Seluang dibuat untuk menghormati jasa tokoh spiritual yang juga
sekaligus sebagai seorang Perdana Mentri pada masa pemerintahan raja Dharma
Udayana Warmadewa yang sangat populer di Bali pada abad ke-11. Tokoh tersebut
adalah Mpu Rajakrta yang datang ke Bali dan diberi jabatan Mahasenapati I
Kuturan, kemudian beliau lebih populer dikenal dengan nama Mpu Kuturan. Mpu
Kuturan seperti halnya para rsi agung lainnya di Bali dihormati oleh semua
lapisan masyarakat, oleh karenannya hampir semua jenis pura keluarga besar,
selalu terdapat bangunan Menjangan Seluang (Titib, 2003:108-109). Karena jasa
Mpu Kuturan yang sangat besar untuk mempersatukan seluruh sekte yang ada di
Bali maka didirikanlah Pelinggih ini.
Menjangan Saluang yang bentuknya panjang
(lantang) terdiri dari 3 rong besar, dimana sebuah rong besar terbagi lagi
dalam 6 rong kecil-kecil, sehingga secara keseluruhan menjadi rong 9. Bentuk
seperti ini dimaksudkan untuk menunjukan 3 kelompok besar masyarakat, dimana
salah satu diantaranya terdiri dari 6 Sub Sekte Agama (Suhardana, 2006:121).
Dalam buku Drs. K.M. Suhardana
(Dasar-dasar Kepemangkuan, 2006:122) dijelaskan bentuk Menjangan Seluang
sebagai penggambaran ke 3 unsur masyarakat dan 6 Sub Sekte ialah :
1) Dilihat dari depan, rong paling kanan,
mewakili unsur masyarakat yag berasal dari Jawa dan beragama Siwa.
2)` Rong sebelah kirinya, dengan lambang kepala
menjangan, mewakili golongan masyarakat pengikut Mpu Kuturan yang beragama
Budhha Mahayana.
3) Rong paling kiri masih dilihat dari depan
yang terbagi lagi dalam 6 ruang-ruang kecil, mewakili 6 Sekte Agama dari unsur
Bali Aga.
Adapun sejarah dari Pelinggih Menjanga
Seluang adalah pada tahun 1001 M, Mpu Kuturan datang ke Bali, beliau melihat
adanya 9 Sekte Agama, yang diperkirakan dapat memecah belah persatuan umat.
Karena itu, beliau berhusaha untuk mempersatukan 3 kelompok besar dengan 6 Sub
Sekte Agama itu, dengan cara mengadakan pertemuan atau Pesamuhan Agung di desa
Bedulu (Samuan Tiga). Pesamuan Agung tersebut dihadiri oleh seluruh unsur
masyarakat Bali, yaitu :
1) Unsur masyarakat yang berasal dari Jawa dan
beragama Siwa.
2) Unsur masyarakat yang beragama Buddha
Mahayana (Mpu Kuturan dan para pengikutnya).
3) Unsur masyarakat Bali Aga yang mewakili 6
Sub Sekte Agama yaitu : Sambu, Brahma,
Indra, Wisnu, Bayu, Kala (Suhardana, 2006:121).
Namun ada beberapa pendapat lain mengenai
Sekte-sekte yang ada yaitu : menurut I Nyoman Satrya Atmanadi (Dasar
Kepemangkuan) sekte-sekte tersebut adalah Mahadewa, Iswara, Indra, Sambu,
Wisnu, Sangkara, dan Maheswara sedangkan menurut R. Goris (Sekte-sekte di Bali)
sekte-sekte itu ada 9 yaitu : Bairawa, Buddha Sogata, Brahmana, Ganapati, Rsi,
Pasupati, Sora (Surya), Siwa Siddhanta dan Waisnawa. Apapun nama sekte-sekte
tersebut, yang terpenting adalah adanya kesepakatan bahwa ke 6 batang Sekte/Sub
Sekte tersebut telah mempersatukan dirinya kedalam satu paham yang dinamakan
Tri Murti, yaitu bahwa Tuhan itu hanya satu. paham tersebut sekarang dikenal
dengan Agama Hindu (Suhardana, 2006:122).
Piasan yang disebut juga pahyasan, ialah suatu bale suci yang
berfungsi untuk tempat menata gegaluhan (menghiasi pratima-pratima) dan
kadang-kadang ngubeng menghayat dewa samudhaya (dewa-dewi semua) yang sering
disubut dewa pratista (mrnghadirkan
para dewa) (Suandra, Himpunan Ulap-ulap Pelinggih:28)
Didalam Pelinggih Piyasan bersemayamnya niyasa
Hyang Widhi ketika hari piodalan, di mana diletakkan juga sesajen (banten) yang
dihaturkan.
2.4.11 Candi Bentar
Kata candi berasal dari salah satu sebutan dari Durga, yaitu “Candika” yang diartikan Dewa Maut. Candi itu erat hubungannya deangan keagamaan, jadi bersifat suci. Candi itu merupakan bangunan tempat penyimpan abu jenazah para raja atau orang-orang terkemuka lainnya zaman Kerajaan Hindu yang secara simbolis berupa puspa sarira (puspalingga). Setelah proses melalui upasara Sradha. Candi-candi yang demikian tidak kita dapati di Bali. Yang kita dapat di Bali ialah bangunan candi bentar yang merupakan peninggalan Kerajaan Majapahit (Suandra, Himpunan Ulap-ulap Pelinggih:6)
Bentuk Candi Bentar bentuk paduraksa yang dibelah dua.para bijaksana
berkenyakinan demikian berdasarkan atas adanya huruf (aksara) ardhacandra pada
kedua bangunan tersebut yang sejiwa. Adapun kedua bagian (kiri dan kanan)
bangunan itu sebagai simbol rwa bhmeda dalam kehidupan, yakni sifat positif dan
negatif yang manadi dalam aksara dengan aksara Ang dan Ah. Biasanya di muka
candi sebelah kiri dan kanan terdapat apit
lawang terkadang berwujud palinggih. Namun ada juga yang berbentuk bedogol, raksasa yang disebut Nadiswara (di kanan) dan Mahakala (di kiri). Bangunan candi bentar berpedagingan pada dasar
dan puncak. Candi bentar berfungsi
sebagai lawang pada saat keluar masuk pura. (Suandra, Himpunan Ulap-ulap
Pelinggih:7). Namun dalam merajan penulis tidak terdapat apit lawang.
Pelinggih Taksu Geginan yaitu tempat umat menghubungkan dan
mendekatkan diri kehadapan Sang Hyang Taksu Pradnyan. Dalam keseharian umat
menstanakan Sang Hyang Taksu yang merupakan kelebihan dari kemampuannya yang
dipergunakan sebagai sumber dari penghidupannya sehari-hari. Disimak dari arti
kata Taksu Geginan yaitu kegiatan yang dilakukan sehari-hari yang dilaksanakan
dengan tulus iklas dan bertanggung jawab.
2.5
Mantra dan Ulap-ulap di setiap Pelinggih
Pada masing-masing pelinggih yand ada
pastinya dilengkapi dengan ayat-ayat mantra pemujaan, sebagai mahawakya yang memuat tafsiran tentang pokok-pokok
pikiran dan konsep padangan hidup menurut ajaran agama Hindu (Hindu Darsana).
Dengan mengucapkan mantra-mantra pujaan yang mengandung makna bersifat rahasia
pada suatu pelinggih, diharapkan dapat memotifasi orang yang memuja untuk
mengembangkan pengertian secara konsepsional dari pengamatan terhadap
pelinggih, sebagai simbol gejala-gejala alam (bhuwana) dan merupakan sarana
peragaan pemahaman yang paling nyata.
Ada mantra yang dipilih dari Upanisad, Weda Parikrama, dan
disesuaikan menurut karakter palinggih dan ritual (Suandra, Himpunan Ulap-ulap
Palinggih:25-26).
Menurut informan, Mantra yang digunakan
di setiap pelinggih adalah Mantra secara umum seperti Kramaning Sembah lalu di
ikuti dengan Mantra khusus , dalam buku I Wayan Seregeg (Kidung Panca
Yadnya,2003: 1-3), menjelaskan runtutan dari Kramaning Sembah sebagai berikut :
Sebelum
melakukan Kramaning Sembah, diawali dengan Puja
Tri Sandhya.
Kramaning
Sembah :
1) Membersihkan sekar atau kawangen
Mantra :
Om
Puspa Danta Ya Namah Swaha
2) Ngastawa
(1) Sembah
Puyung
Mantra :
Om Atma Tatwatma Sudhamam Swaha
(2) Ngastawa
Ida Sang Hyang Siwa Raditya
Sarana : Sekar mawarna putih
Mantra :
Om
Adityasya Paranjyotih
Rakta
Tejo Namo Stute
Sweta
Pangkaja Madhyastam
Bhaskara
Ya Namah Swaha
(3) Ngastawa
Ida Bhatara Samodaya
Sarana : Kuwangen utawi sekar
warna-warni
Mantra :
Om
Namo Dewa Adhi Sthanaya
Sarwa
Wyapi Way Siwaya
Padmasana
Eka Prastisthaya
Ardha
Nareswari Ya Namo Namah Swaha
(4) Kalanturang
antuk ngastawa Ista Dewata, manut genah ngastawa,
Sarana : manggeh
Mantra : kaambil silih
sinunggil saking mantra ista Dewata sane manut
(5) Ngastawa
Nglungsur Panugrahan
Sarana : Kawangen utawi sekar
mewarna-warni
Mantra :
Om
Anugraha Manoharam
Dewa
Data Nugrahakam
Arcanam
Sarwa Pujanam
Namah
Sarwa Nugrahakam
Om Dewa Dewi Maha Sidhi
Yadnyangga Nirmalatmaka
Laksi Sidhisca Dhirgayuh
Niwignam Suka Wrdhitah
(6) Sembah
Puyung
Mantra :
Om
Dewa Suksma Paramacintya
Ya
Namo Namah Swaha
3) Nunas wasuh padan Ida Bhatara miwah Bija,
karuntutin antuk Kidung.
4) Maka pamuput nguncarang Parama Shanti
Mantra :
Om
Shantih, Shantih, Shantih, Om
Namun demikian, tidak menutup kemungkinan
bagi mereka yang memuja pada suatu palinggih menggunakan mantra-mantra yang
lain yang dipandang lerevan baginya. Hal ini perlu diketengahkan karena sampai
pada saat ini ucapan-ucapan secara tradisional
mengenai puja masih berlaku pada umat Hindu. Seperti halnya saa-saa, sesontengan, bahkan juga
menggunakan bahasa yang digunakan sehari-hari. Kadang-kadang para sulinggih,
manakala menghadapi upakara dalam suatu yadnya, walaupun sudah mengucapkan
beberapa mantra dari isi weda, namun lanjut juga dilanjutkan dengan menggunakan
ucapan-ucapan saa, demikian juga sonteng,
yang notabena menambahkan mantap kenyakinan yajamana itu sendiri. Hal ini tidak
bertentangan dengan ajaran umum di dalam Weda (mantra), maka jelaslah bahwa
peranan komentar, ulasan-ulasan yang dikaitkan ucapan Weda melalui ucapan sontengan, saa, sangat penting artinya,
sebab Weda, saa, sonteng akan
tersebar luas serta menjadi populer melalui Dharmagita, yakni nyanyian
keagamaan seperti : kidang, kekawin,
phalawakya, sloka, dan sejenisnya yang disampaikan memlaui yadnya (Suandra,
Himpunan Ulap-ulap Palinggih:25-26).
Selain Mantra yang tak kalah penting
dalam pendirian suatu Pelinggih adalah Ulap-ulap. Sesuatu bangunan suci atau
palinggih baru dapat difungsikan secara agama setelah (diupacarai) betapa mestinya.
Salah satu syarat yang tidak dapat diabaikan dalam mengupacarai palinggih ialah
adanya Ulap-ulap. Ulap-ulap yang bahannya dari kain putih dengan ukuran
tertentu dan di dalamnya tergambar atau rekha terdiri atas sejumlah aksara Nyasa Pranawa, yaitu aksara dalam bentuk
simbol, yang mengandung sifat rahasia (kadyatmikan), yang sering disebut “sastra Modre”. Kata ulap-ulap berasal dari kata ulap (bahasa Bali) yang berarti silau. Kata ulap itu kadwi linggayang (diulang), yang artinya
sesuatu yang menimbulkan kesilauan mata. Pada umumnya yang menimbulkan
kesilauan mata adalah adanya cahaya atau sinar. Ajaran filsafat (tattwa)
ketuhanan dalam ajaran Hindu menyebutkan bahwa Sang Hyang Widhi Wasa adalah
sumber dari segala sinar (sahasra sumar),
(Suandra, Himpunan Ulap-ulap Palinggih:17-18)
Dewa diciptakan oleh Hyang Widhi,
sebagaimana Ia menciptakan alam semesta untuk mengendalikan alam semesta
beserta isinya. Dewa-dewa juga disebut sakti dari Hyang Widhi yang dimanifestasikan
dalam suatu aspek tertentu dari keajaiban alam semesta dan segala isinya, yang
tidak terpisah dari Hyang Widhi sebagaimana halnya swami dan istri.Dari
penjelasan diatas, dapat disimpulkan, bahwa sakti (nur) Hyang Widhilah yang
diwujudkan sebagai Niyasa, yang
dipakai dalam berbagai jenis bangunan, termasuk bangunan palinggih, dalam
bentuk ulap-ulap (Suandra, dalam Himpunan Ulap-ulap Palinggih :19). Adapun
Mantra dan Ulap-ulap di setiap pelinggih, yaitu :
2.5.1 Kemulan
Mantra ngastawayang yang di gunakan dalam
pelinggih Kemulan adalah Kramaning Sembah seperti yang sudah kita ketahui.
Mantra khusus untuk Pelinggih Kemulan
adalah
Mantra
:
Om
Brahma Wisnu Iswara Dewam
Jiwatmanam
Trilokanam
Sarwa
Jagat Prastistanam
Sudha
Klesa Winasanam
Om
Guru Paduka Ya Nama
|
2.5.2 Ibu
Mantra ngastawayang yang di gunakan dalam
Pelinggih Ibu adalah Kramaning Sembah seperti yang sudah kita ketahui. Namun
untuk mantra khusu dam pelinggih Ibu tidak di ketahui, karena informan
menjelaskan bahwa mantra yang digunakan dalam Pelinggih Ibu bisa berupa saa atau sesontengan, yang dinyakini oleh semua Parisentananya. Untuk
ulap-ulap belum bisa diterangkan.
2.5.3 Kawitan
Mantra ngastawayang yang di gunakan dalam
Pelinggih Kawitan adalah Kramaning Sembah seperti yang sudah kita ketahui.
Mantra
khusus untuk Pelinggih Kawitan sama dengan Mantra yang digunakan pada Pelinggih
Kemulan.
Mantra
:
Om
Brahma Wisnu Iswara Dewam
Jiwatmanam
Trilokanam
Sarwa
Jagat Prastistanam
Sudha
Klesa Winasanam
Om
Guru Paduka Ya Nama
Untuk
Ulap-ulap di Pelinggih Kawitan belum dapat di terangkan.
2.5.4 Surya
Mantra ngastawayang yang di gunakan dalam
Pelinggih Surya adalah Kramaning Sembah seperti yang sudah kita ketahui. Karena dalam Pelinggih Surya merupakan
stana dari Sang Hyang Siwa Raditya, maka dalam kramaning sembah sudah terdapat
mantra untuk memuja Sang Hyang Siwa Raditya, yaitu
Ngastawa
Ida Sang Hyang Siwa Raditya
Sarana
: Sekar mawarna putih
Mantra
:
Om
Adityasya Paranjyotih
Rakta
Tejo Namo Stute
Sweta
Pangkaja Madhyastam
Bhaskara
Ya Namah Swaha
|
2.5.5 Taksu Agung
Mantra ngastawayang yang di gunakan dalam
Pelinggih Taksu Agung adalah Kramaning Sembah seperti yang sudah kita ketahui.
Untuk Mantra khusu di Pelinggih Taksu Agung, karena Pelinggih Taksu Agung
merupakan Pelinggih sebagai simbolis untuk memohon kekuatan dan panugrahan
untuk melakukan sesuatu tindakan atau pekerjaan, maka Mantra yang digunakan
untuk ngastawayang adalah Mantra ngastawayang nglungsur Panugrahan :
Sarana
: Kawangen utawi sekar mewarna-warni
Mantra
:
Om
Anugraha Manoharam
Dewa
Data Nugrahakam
Arcanam
Sarwa Pujanam
Namah
Sarwa Nugrahakam
Om
Dewa Dewi Maha Sidhi
Yadnyangga
Nirmalatmaka
Laksi
Sidhisca Dhirgayuh
Niwignam
Suka Wrdhitah
Untuk
ulap-ulap belum bisa diterangkan.
2.5.6 Pesaren
Mantra ngastawayang yang di gunakan dalam
Pelinggih Pasaren adalah Kramaning Sembah seperti yang sudah kita ketahui.
Dalam buku Ajaran Agama Hindu Manifestasi Sang Hyang Widhi (Sudarsana,1998:84)
menjelaskan mantra khusus untuk Pelinggih Pesaren ialah
Mantra
:
Ong
Ang Brahma Atma Yenamah
Ong
Ung Wisnu Antaratma Yenemah
Ong
Mang Sri Prajapati
Yenamah
Swaha
Untuk
ulap-ulap belum bisa diterangkan.
2.5.7 Manik Galih
Mantra ngastawayang yang digunakan dalam
Pelinggih Manik Galih adalah Kramaning Sembah seperti yang sudah kita ketahui.
Mantra
khusus untuk di Pelinggih Manik Galih.
Mantra
:
Om hram hrim sah parama Siwa Amretaya
namah.
Artinya
:
Ya Hyang Widhi, hamba sujud kepada Hram
Hrim Sah, Amreta Yang Maha Suci dan Utama (Suandra, Himpunan Ulap-Ulap
Palinggih:31-32).
|
2.5.8 Persimpangan Luhur Batukaru
Mantra ngastawayang yang digunakan dalam
Pelinggih Persimpangan Luhur Batukaru adalah Kramaning Sembah seperti yang
sudah kita ketahui. Namun untuk
mantra khusu dam pelinggih Taksu Agung tidak di ketahui, karena informan
menjelaskan bahwa mantra yang digunakan dalam Pelinggih Ibu bisa berupa saa atau sesontengan, yang dinyakini oleh semua Parisentananya. Untuk
ulap-ulap belum bisa diterangkan.
2.5.9 Menjangan Seluang
Mantra ngastawayang yang di gunakan dalam
Pelinggih Manjangan Saluang adalah Kramaning Sembah seperti yang sudah kita
ketahui.
Mantra
khusus untuk Pelinggih Menjangan Seluang adalah
Mantra
:
Om Im Iswara pratisthajnyana Lila ya
namah swaha.
Artinya
:
Ya Hyang Widhi hamba sujud kepada Im
(Iswara), ekspresi bentuk ilmu pengetahuan swaha (Suandra, Himpunan Ulap-ulap
Pelinggih:31).
|
2.5.10 Piyasan
Mantra ngastawayang yang di gunakan dalam
Pelinggih Piyasan adalah Kramaning Sembah seperti yang sudah kita ketahui.
Mantra
khusus untuk di Pelinggih Piyasan adalah
Mantra
:
Om
Om dewa pratistha ya namah.
Artinya
:
Ya Hyang Widhi, hamba sujud pada Hyang
Widhi, hadirnya para dewa/bhatara-bhatara (Suandra, Himpunan Ulap-ulap
Pelinggih: 28-29)
|
2.5.11
Candi Bentar
Mantra ngastawayang yang di gunakan dalam
Candi Bentar tidak ada, karena Candi Bentar tidak termasuk ke dalam Pelinggih
persembahan melainkan sebagai pelengkap dalam suatu merajan besar. Namun untuk
Ulap-ulap bisa diterangkan sebagai berikut :
![]() |
(Ulap-ulap pelinggih Candi Bentar) |
2.5.12 Taksu Geginan
Mantra ngastawayang yang di gunakan dalam
Pelinggih Taksu Geginan adalah Kramaning Sembah seperti yang sudah kita
ketahui. Dalam buku Ajaran Agama Hindu Manifestasi Sang Hyang Widhi (Sudarsana,1998:84)
menjelaskan mantra khusus untuk Pelinggih Taksu Geginan ialah
Mantra
:
Ong,
Ang, Ang, Ang Sang Kala Raja
Bionamah
Swaha
Ong
Kling, Kling Kling Sang Butha Raja Bionamah Swaha
Untuk
ulap-ulap belum bisa diterangkan.
2.6 Makna Atribut-atribut yang digunakan di setiap
Pelinggih
Setiap Pelinggih yang telah diterangkan
tadi, semua Pelinggih menggunakan atributnya (Hiasannya) masing-masing. Jika
kita cermati dengan seksama semua atribut yang digunakan hampir sama seperti
wastra putih kuning yang dikenakan pada Pelinggih Kemulan, Kawitan, Surya,
Taksu Agung, Pesaren, Manik Galih, Piyasan, Menjangan Seluang, Taksu Geginan.
Wastra poleng (warna hitam-putih) yang dikenakan pada Palinggih Ibu dan
Persimpangan Luhur Batukaru, selanjutnya terdapat Lemak, Tamiang, Tedung,
Gantung-gantung yang ada di setipa pelinggih. Adapun penjelasan dari
masing-masing atribut atau hiasan pelingguh tersebut, sebagai berikut :
2.6.1 Wastra Putih-Kuning dan Poleng (hitam-putih)
|
|||
Pemilihan warna wastra pada dasarnya adalah memilih warna
yang dapat memberikan kesan kesucian dan kekeramatan (sakral) pada suatu
pelinggih atau bangunan suci, disamping juga memperhatikan unsur keindahan.
Pada Pelinggih
Kemulan, Kawitan, Surya, Taksu Agung, Pesaren, Manik Galih, Piyasan, Menjangan
Seluang, Taksu Geginan umumnya menggunakan
wastra putih kuning karena menonjolkan unsur kesucian.
Sedangkan pada Palinggih
Ibu dan Persimpangan Luhur Batukaru warna poleng (hitam-putih) karena yang
ditonjolkan adalah kesan kekeramatan. Perbedaan wastra pelinggih berdasarkan
fungsi dari pelinggih tersebut serta ista dewata yang distanakan di sana. Jika
pada Pelinggih dan bhatara guru difungsikan sebagai sumber memohon pencerahan
dan tuntunan, maka pada Pelinggih Ibu difungsikan sebagai pemberi keselamatan.
2.6.2 Lamak
Lamak berasal dari kata "lamakaning" yang artinya
"semoga menjadi" lamak dipasang di pelinggih sebagai simbolis bahwa
apa yang kita yakini, apa yang kita sembah akan menjadi seperti itu yang kita
peroleh. Jika kita memuja beliau sebagai sesuatu yang angker maka kita
akanmemperoleh anugerah yang angker pula, begitu juga bila kita menyembah
beliau dalam wujud cinta kasih dan kedamaian maka anugerah seperti itulah yang
akan kita terima. Jadi penyebab (lamak) anugerah adalah apa yang kita sembah,
jadi itu disimboliskan dengan lamak.
Tamiang (no 2) kata Wakil Ketua I PHDI Bali Drs. I Gusti Ngurah
Sudiana, M.Si. berasal dari kata tameng yang berarti alat penangkis senjata.
Sebagai alat penangkis, tamiang memiliki lambang perlindungan. Di samping itu
tameng juga sebagai lambang Dewata Nawa Sanga, karena menunjuk sembilan arah
mata angin. Tamiang juga melambangkan perputaran roda alam cakraning panggilingan. Lambang itu mengingatkan manusia pada hukum
alam. Jika masyarakat tak mampu menyesuaikan diri dengan alam, atau tak taat
dengan hukum alam, risikonya akan tergilas oleh roda alam.
Tedung adalah berbentuk seperti
payung sebagai salah satu jenis perangkat upacara yadnya keagamaan yang khususnya digunakan di Bali memiliki
beberapa bentuk, ukuran, warna, fungsi dan istilah yang beragam. Bentuk
atau form dalam dunia seni rupa harus dilihat secara keseluruhan atau sebagai
satu kesatuan yang utuh. Kesatuan bentuk tersebut dapat terbentuk lewat
teknik pengerjaan, material yang digunakan, proporsi ukuran maupun komposisi
yang tersusun sesuai dengan bentuk, tinggi dan lebar ukuran tedung yang ada
maupun dibuat para perajin/undagi dibeberapa pura tempat/daerah yang masih bervariasi.
Tedung adalah
salah satu sarana upacara yang mengacu pada kerangka dasar agama hindu, yaitu tatwa,
etika, dan upacara. Tedung adalah perlambangan etika bahwa saat ida bhatara
tedun maka harus ditedungi, hal ini juga bermahkan bahwa ida bhatara / Ida Sang
Hyang Widhi adalah tedung jagat yang akan memberikan kesejukan kepada seluruh
umat. Begitu pula halnya dengan manusia, hendaknyalah bisa menjadi pengayom
yang bisa memberi keteduhan kepada sesama, kepada mahluk lain dan kepada
lingkungan. Begitu pula dengan saput saka dan ider ider yang berfungsi sebagai
hiasan pelinggih dalam kaitanya dengan etika menyambut datangnya ida bhatara.
2.6.5 Gantung-gantung/Sampian
gantung
Sampian
gantung yang memiliki makna penolak bala. Sampian gantung itu ditempatkan di
samping pintu, dan sebilang bucu bangunan pelinggih.
Dalam hal kehidupan dapat penulis
asumsikan bahwa tombak itu melambangkan ketajaman pikiran manusia. Dalam
menjalani kehidupan, ketajaman pikiran manusia sangat di pelrukan dalam
berbagai hal, namun ketajaman pikiran yang bijaksana adalah ketajaman pikiran
yang harus bisa manusia gunakan untuk kebijaksanaan, baik dalam berbagai hal,
baik itu diri sendiri maupun orang lain.
2.7
Banten yang digunakan di setiap Pelinggih
Baik Tatwa, Susila maupun Upakara dan
Upacara haruslah mendapat porsi yang seimbang, skema Kerangka Dasar Agama Hindu
tersebut telah mencangkup berbagai kegiatan yadnya. Dalam buku Drs. K.M.
Suhardana (Dasar-dasar Kepemangkuan, 2006:54) menjelaskan bahwa yadnya berarti
pengorbanan suci yang tulus iklas. Sedangkan Upakara berasal dari dua kata
“upa” dan “kara”. Upa artinya “berhubungan dengan” sedangkan kara berarti
“pekerjaan atau perbuatan”. Dengan demikian upakara berarti “segala sesuatu
yang berhubungan dengan pekerjaan atau perbuatan”. Dalam hal ini berhubungan
dengan perbuatan manusia untuk melaukan persembahan atau pengorbanan suci
kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam bentuk materi berupa banten atau
sesajen.
Banten sesungguhnya adalah persembahan
suci kepada Ida Sang Hyang Widhi. Dalam hal ini banten menjadi simbul berserah
diri kepada kebesaran Nya. Dengan kata lain, banten adalah media untuk
menyatakan sraddha dan bhakti umat kepada Nya. Sebagai persembahan suci, banten
itu mempunyai berbagai arti positis (Suhardana, 2006:54). Adapun nilai positif
dari Banten tersebut, yaitu :
1) Upakara Bebantenan merupakan pelajaran atau
alat konsentrasi pikiran untuk memuja Ida Sang Hyang Widhi beserta
manifestasi-Nya. Misalnya bagi seseorang yang sedang membuat banten maka dengan
tidak sengaja dia telah membayangkan kehadapan siapa atau ke pura mana banten
tersebut akan dipersembahkan (Surayin, 2002:9).
2) Pembuatan banten akan menuntut penyusuaian
diri dengan kemampuan, sehingga mengurangi egoisme. Yang merasa mampu akan
membuat banten dalam tingkat yang lebih tinggi, sedangkan yang kurang mampu
akan membuat banten dalam tingkatan yang lebih rendah.
3) Pembuatan banten akan mendorong pertumbuhan
ekonomi rakyat. Dibuatnya banten tingkat utama oleh mereka yang mampu, akan
memberi kesempatan bagi golongan kurang mampu untuk menyediakan bahan-bahannya.
Hal ini dapat meningkatkan kemampuan golongan masyarakat bawah, sehingga
pendapatan merekapun akan menjadi semakin meningkat.
Pada saat odalan di Merajan yang jatuh
pada Purnama Kelima menggunakan beberapa jenis banten yang di unggahkan ke
semua pelinggih, diantaranya ialah :
Menurut
artinya daksina adalah tapakan dari Ida Sang Hyang Widhi dalam berbagai
manifestasi-Nya dan juga merupakan perwujudanNya. Lain daripada itu daksina
juga merupakan buah daripada yadnya (Surayin, 2002:68)
Kalau kita lihat fungsi daksina yang
diberikan kepada yang muotu karya (Pedanda atau Pemangku), sepertinya daksina
tersebut sebagai ucapan tanda “terima kasih” kepada sekala-niskala. Begitu pula
kalau daksina itu kita haturkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi sebagai
pelengkap aturan kita dan sembah sujud kita atas semua karunia-Nya (Surayin,
2002:68-69).
Isi tetandingan Daksina diurut dari isi terbawah hingga
diatas yaitu:
1) Alas bedogan/srembeng/wakul/katung;
terbuat dari janur/slepan yang bentuknya bulat dan sedikit panjang serta ada
batas pinggirnya. Alas Bedogan ini lambang pertiwi unsur yang dapat dilihat
dengan jelas.
2) Bedogan/
srembeng/wakul/katung/ srobong daksina; terbuat dari janur/slepan yang dibuta
melinkar dan tinggi, seukuran dengan alas wakul. Bedogan bagian tengah ini
adalah lambang Akasa yang tanpa tepi. Srembeng daksina juga merupakan lambang
dari hukum Rta ( Hukum Abadi tuhan ).
3) Tampak; dibuat
dari dua potongan janur lalu dijahit sehinga membentuk tanda tambah. Tampak
adalah lambang keseimbangan baik makrokosmos maupun mikrokosmos. tampak juga
melambangkan swastika, yang artinya semoga dalam keadaan baik.
4) Beras; yang
merupakan makanan pokok melambang dari hasil bumi yang menjadi sumber
penghidupan manusia di dunia ini. Hyang Tri Murti (Brahma, Visnu, Siva).
5) Sirih temple /
Porosan; terbuat dari daun sirih (hijau – wisnu), kapur (putih – siwa) dan
pinang (merah – brahma) diikat sedemikian rupa sehingga menjadi satu, porosan
adalah lambang pemujaan.
6) Kelapa; adalah
buah serbaguna, yang juga simbol Pawitra (air keabadian/amertha) atau lambang
alam semesta yang terdiri dari tujuh lapisan (sapta loka dan sapta patala)
karena ternyata kelapa memiliki tujuh lapisan ke dalam dan tujuh lapisan ke
luar. Air sebagai lambang Mahatala, Isi lembutnya lambang Talatala, isinya
lambang tala, lapisan pada isinya lambang Antala, lapisan isi yang keras
lambang sutala, lapisan tipis paling dalam lambang Nitala, batoknya lambang
Patala. Sedangkan lambang Sapta Loka pada kelapa yaitu: Bulu batok kelapa
sebagai lambang Bhur loka, Serat saluran sebagailambang Bhuvah loka, Serat
serabut basah lambang svah loka, Serabut basah lambanag Maha loka, serabut
kering lambang Jnana loka, kulit serat kering lambang Tapa loka, Kulit kering
sebagai lamanag Satya loka Kelapa dikupas dibersihkan hingga kelihatan batoknya
dengan maksud karena Bhuana Agung sthana Hyang Widhi tentunya harus bersih dari
unsur-unsur gejolak indria yang mengikat dan serabut kelapa adalah lambang pe
ngikat indria.
7) Telor Itik;
dibungkus dengan ketupat telor, adalah lambang awal kehidupan/ getar-getar
kehidupan , lambang Bhuana Alit yang menghuni bumi ini, karena pada telor
terdiri dari tiga lapisan, yaitu Kuning Telor/Sari lambang Antah karana sarira,
Putih Telor lambang Suksma Sarira, dan Kulit telor adalah lambang Sthula
sarira. dipakai telur itik karena itik dianggap suci, bisa memilih makanan,
sangat rukun dan dapat menyesuaikan hidupnya (di darat, air dan bahkan terbang
bila perlu).
8) Pisang, Tebu dan
Kojong; adalah simbol manusia yang menghuni bumi sebagai bagian dari ala mini.
Idialnya manusia penghuni bumi ini hidup dengan Tri kaya Parisudhanya. Dalam
tetandingan Pisang melambangkan jari, Tebu belambangkan tulang.
9) Buah Kemiri;
adalah sibol Purusa / Kejiwaan / Laki-laki, dari segi warna putih (ketulusan).
10) Buah kluwek/Pangi;
lambang pradhana / kebendaan / perempuan, dari segi warna merah (kekuatan).
Dalam tetandingan melambangkan dagu.
11) Gegantusan; merupakan
perpaduan dari isi daratan dan lautan, yang terbuat dari kacang-kacangan,
bumbu-bumbuan, garam dan ikan teri yang dibungkus dengan kraras/daun pisang tua
adalah lambang sad rasa dan lambang kemakmuran.
12) Papeselan yang
terbuat dari lima jenis dedaunan yang diikat menjadi satu adalah lambang Panca
Devata; daun duku lambang Isvara, daun manggis lambang Brahma, daun durian /
langsat / ceroring lambang Mahadeva, daun salak / mangga lambang Visnu, daun
nangka atau timbul lamban Siva. Papeselan juga merupakan lambang kerjasama (Tri
Hita Karana).
13) Bija ratus adalah
campuran dari 5 jenis biji-bijian, diantaranya; godem (hitam – wisnu), Jawa
(putih – iswara), Jagung Nasi (merah – brahma), Jagung Biasa (kuning –
mahadewa) dan Jali-jali (Brumbun – siwa). kesemuanya itu dibungkus dengan
kraras (daun pisang tua).
14) Benang Tukelan;
adalah alat pengikat simbol dari naga Anantabhoga dan naga Basuki dan naga
Taksaka dalam proses pemutaran Mandara Giri di Kserarnava untuk mendapatkan
Tirtha Amertha dan juga simbolis dari penghubung antara Jivatman yang tidak
akan berakhir sampai terjadinya Pralina. Sebelum Pralina Atman yang berasal
dari Paramatman akan terus menerus mengalami penjelmaan yang berulang-ulang
sebelum mencapai Moksa. Dan semuanya akan kembali pada Hyang Widhi kalau sudah
Pralina. dalam tetandingan dipergunakan sebagai lambing usus/perut.
15) Uang Kepeng; adalah
alat penebus segala kekurangan sebagai sarining manah. uang juga lambang dari
Deva Brahma yang merupakan inti kekuatan untuk menciptakan hidup dan sumber
kehidupan.
16) Sesari; sebagai
labang saripati dari karma atau pekerjaan (Dana Paramitha).
17) Sampyan Payasan;
terbuat dari janur dibuat menyerupai segi tiga, lambang dari Tri Kona; Utpeti,
Sthiti dan Pralina.
18) Sampyan pusung;
terbuat dari janur dibentuk sehingga menyerupai pusungan rambut, sesunggunya
tujuan akhir manusia adalah Brahman dan pusungan itu simbol pengerucutan dari
indria-indria.
Canang
Sari merupakan sarana yang terpenting, karena canang ini merupakan uapakara
yang akan dipakai sarana persembahan kepada
Tuhan atau Bhatara Bhatari leluhur yang sering kita gunakan dalah
sehari-hari. Disetiap banten apapun yang kita akan persembahkan ke pada
Bhatara-Bhatari selalu diisi Canang Sari, karena Canang Sari merupakan komponen
inti dari suatu Banten.
Canang
Sari merupakan ciptaan dari Mpu Sangkulputih yang menjadi sulinggih menggantikan Danghyang Rsi Markandeya di Pura Besakih. Canang berasal dari kata
"Can" yang berarti indah, sedangkan "Nang" berarti tujuan
atau maksud (bhs. Kawi/Jawa Kuno), Sari berarti inti atau sumber. Dengan
demikian Canang Sari bermakna untuk memohon kekuatan Widya kehadapan Sang Hyang
Widhi beserta Prabhawa (manifestasi) Nya secara skala maupun niskala. Dalam dokumen tersebut juga dijelaskan mengenai bentuk dan
fungsi canang menurut pandangan Hindu Bali ada beberapa macam sesuai dengan
kegiatan upakara yang dilaksanakan.
Adapun
perlengkapan daripada Canang itu antara lain sebagai alasnya dipakai Ceper,
atau daun pisang yang berbentuk segi empat. Di atasnya berturut-turut di susun
perlengkapan yang lain seperti : Pelawa, Porosan ysng terdiri dari salah satu
atau dua potong sirih, di dalamnya diisi kapur dan pinang, lalu dijepit dengan
sepotong janur di atasnya diisi dengan tangkih atau kojong dari janur yang
bentuknya bundar disebut Urassari dapat pula ditambahkan dengan pandan harum
yang diisi dengan wangi-wangian (Rai Sudharta, dkk, 1992:6)
Unsur-unsur
pokok dari Canang Sari adalah :
1) Canang
memakai alas berupa "ceper" (berbentuk segi empat) adalah simbol
kekuatan "Ardha Candra" (bulan).
Porosan
terdiri dari pinang, kapur dibungkus dengan sirih. Dalam lontar Yadnya Prakerti
disebutkan : pinang, kapur dan sirih adalah lambang pemujaan kepada Tuhan Yang
Maha Esa, dalam manifestasi sebagai Sang Hyang Tri Murti. Pinang lambang
pemujaan kepada Dewa Brahma, Sirih lambang pemujaan kepada Dewa Wisnu, Kapur
lambang pemujaan kepada Dewa Siwa. Tiga manifestasi inilah yang amat terkait
dengan kehidupan umat manusia dalam sehari-hari (Rai Sudharta, dkk, 1992:6)
3) Plawa
Dalam
Lontar Yadnya Prakerti disebutkan bahwa Plawa adalah lambang tumbuhnya pikiran
yang hening dan suci. Jadi dalam memuja Tuhan sesuai dengan manifestasinya
sebagai Tri Murti, harus dengan usaha menumbuhkan pikiran yang suci hening(Rai Sudharta, dkk, 1992:8)
Karenan pikiran yang tumbuh dari kesucian
dan keheningan itulah yang akan dapat menangkal pengaruh-pengaruh buruk dari
bafsu duniawi. Pikiran yang suci dan hening inilah yang dapat menarik atau
menurunkan karunia Tuhan (Rai
Sudharta, dkk, 1992:8)
4) Jejahitan,
reringgitan dan tetuasan
Jejahitan,
reringgitan dan tetuasan adalah lambang ketetapan dan kelanggengan pikiran (Rai
Sudharta, dkk, 1992:9)
5) Urassari
Letak
Urassari dalam canang adalah di atas Plawa, Porosan, Tebu kekiping, Pisang dan
lain-lainnya, yang dihiasi dengan ceper. Di atas Urassari ini diisi
bunga-bungaan. Adapun dari pada Urassari tersebut kalau kita amati, berbentuk
garis silang yang menyerupai tampak dara yaitu bentuk sederhana daripada
Swastika, sehingga menjadi bentuk lingkaran Cakra setelah dihiasi (Rai
Sudharta, dkk, 1992:10)
Urassari
yang tersusun dengan jejahitan, reringgitan dan tetuasan itu akan kelihatan
berbentuk lingkaran “Padma Astadala”. Padma Astadala adalah lambang stana Ida
Sang Hyang Widhi Wasa dengan delapan penjuru anginnya (Rai Sudharta, dkk,
1992:10)
6) Bunga
Bunga
merupakan lambang keiklasan. Memuja tuhan tidak boleh ragu-ragu, harus
didasarkan pada keiklasan yang benar-benar tulus datang dari lubuk hati yang
paling dalam dan suci. Keiklasan merupakan kebutuhan dari pertumbuhan jiwa yang
sehat. Dalam hidup kita harus mampu mengiklaskan diri dari berbagai ikatan duniawi(Rai
Sudharta, dkk, 1992:8). Penataan bunga berdasarkan warnanya di atas Sampian
Urasari diatur dengan etika dan tattwa, harus sesuai dengan pengider-ideran (tempat) Panca Dewata. Urutan meletakkan Bunga sesuai dengan Purwa/Murwa Daksina yaitu diawali dari arah Timur ke Selatan.
Bunga
berwarna Putih
(jika sulit dicari, dapat diganti dengan warna merah muda) disusun untuk
menghadap arah Timur, adalah sebagai simbol memohon diutusnya Widyadari
(Bidadari) Gagar Mayang oleh Prabhawa Nya dalam kekuatan Sang Hyang Iswara agar
memercikkan Tirtha Sanjiwani untuk menganugerahi kekuatan kesucian skala
niskala.
Bunga
berwarna Merah disusun untuk menghadap arah Selatan, adalah sebagai simbol
memohon diutusnya Widyadari Saraswati oleh Prabhawa Nya dalam kekuatan Sang
Hyang Brahma agar memercikkan Tirtha Kamandalu untuk menganugerahi
kekuatan Kepradnyanan dan Kewibawaan.
Bunga
berwarna Kuning disusun untuk menghadap arah Barat, adalah sebagai simbol
memohon diutusnya Widyadari Ken Sulasih oleh Prabhawa Nya dalam kekuatan Sang Hyang Mahadewa agar memercikkan Tirtha Kundalini untuk menganugerahi kekuatan intuisi.
Bunga
berwarna Hitam (jika sulit dicari, dapat diganti dengan warna biru, hijau
atau ungu) disusun untuk menghadap arah Utara, adalah sebagai simbol memohon
diutusnya Widyadari Nilotama oleh Prabhawa Nya dalam kekuatan Sang Hyang Wisnu
agar memercikkan Tirtha Pawitra untuk menganugerahi kekuatan peleburan segala
bentuk kekotoran jiwa dan raga.
Bunga
Rampe (irisan pandan arum) disusun di tengah-tengah, adalah sebagai simbol
memohon diutusnya Widyadari Supraba oleh Prabhawa Nya dalam kekuatan Sang Hyang
Siwa agar memercikkan Tirtha Maha mertha untuk menganugerahi kekuatan
pembebasan (Moksa).
Jika dalam bahasa Indonesia rarapan
itu berarti oleh-oleh, dari hal ini, dapat penulis asumsikan bahwa banten
Rarapan merupakan banten yang dipersembahkan kepada Ida Sang Hyang Widhi
sebagai rasa syukur kepada Beliau, karena Beliau telah memberikan keselamatan
dan kerahayauan bagi umatnya.
Ranyunan
Putih-Kuning (sodan) dipergunakan tersendiri sebagai persembahan ataupun melengkapi
daksina suci dan lain-lain. Dalam buku Panca Yadnya
(1995:101) dijelaskan beberapa jenis upacara tertentu penek atas untek tersebut
diberi kunir sehingga sering disebut Rayunan Putih Kuning (sodan).
Unsur yang terdapat dalam Rayunan
Putih-Kuning adalah Bantal tape, jae uli putih, merah, kuning, jaja gina, jaja
sirat, kacang-kacang.
2.7.5 Sampian Bungkulan
Konsep
penyatuan Siva Siddhanta pun ada dalam banten yang telah digunakan dalam setiap
pelinggih yang sudah diterangkan diatas. Seperti Canag sari, Daksina, Rarapan,
Rayunan Putih-Kuning, Sampian Bungkulan, Jit Nasi. Bahwa seluruh banten
tersebut memberi makna bagaimana seluruh sekte yang ada di Bali seperti sekte
Pasupata, Bhairawa, Siva Siddhanta, Waisnawa, Bidha, Brahma, Resi, Sora dan
Ganapatya menyatu menjadi satu dalam sekte Siva Sinddhanta. Hal ini sama halnya
seperti banten-banten tersebut, seluruh unsur yang digunakan telah dirangkai menjadi
satu dalam bentuk banten.
2.8 Konsep penyatuan Siva Siddhanta di setiap
Pelinggih
2.8.1 Kemulan
Konsep penyatuan Siva Siddhanta di dalam
Pelinggih kemulan adalah menyatunya sekte Brahma, Siwa dan Waisnawa yang
berhasil disatukan oleh Mpu Kuturan dengan konsep Tri Murti kedalam simbol
Pelinggih Kemulan.
2.8.2 Ibu
Konsep penyatuan Siva Siddhanta pada Pelinggih
Ibu tidak diketahui, karena fungsi
Pelinggih Ibu yang terdapat dalam Merajan penulis merupakan simbolis dari
pemujaan para parisentana kepada Leluhur atau kawitan dari pihak Ibu. Setiap
pihak wanita yang menikah kekeluarga kami, pastinya pihak wanita mempunyai
kawitannya terdahulu atau kawitan sewaktu dia masih singgle (bajang). Dengan
adanya pelinggih ini di merajan, maka pihak wanita tidak akan lupa akan
kawitannya terdahulu. Maka tidak diketahui konsep penyatuan Siva Siddhanta.
2.8.3 Kawitan
Konsep penyatuan Siva Siddhanta yang ada
didalam Pelinggih Kawitan, diawali dengan pengertian Kawitan tersebut, bahwa
Pelinggih Kawitan disimboliskan berfungsi untuk memuja para Leluhur yang telah
menjadi Deva-Devi. Agar semua parisentana tidak lupa akan Leluhur dan
memudahkan untuk mengadakan hubungan dengan Leluhur. Jika kita kaji dari Mantra
yang digunakan dalam Pelinggih Kawitan, sebagai berikut :
Mantra
khusus untuk Pelinggih Kawitan adalah
Mantra
:
Om
Brahma Wisnu Iswara Dewam
Jiwatmanam
Trilokanam
Sarwa
Jagat Prastistanam
Sudha
Klesa Winasanam
Om
Guru Paduka Ya Nama
Dalam Mantram ini
menjelaskan pemujaan kepada Brahma, Wisnu dan Iswara (Siva), kita ketahui
pemujaan ketiga dewa tersebut merupakan perwakilan dari sekte Brahma, Waisnawa,
Siva yang menyatu dengan sekte Siva Siddhanta.
2.8.4 Surya
Konsep penyatuan Siva Siddhanta yang ada
didalam Pelinggih Surya dibuktikan dengan pemujaan terhadap Dewa Utama yang
dilakukan oleh sekte Sora. Sekte sora memuja Hyang Surya. Dalam buku I Ketut
Pasek Gunawan (Bahan Ajar Siva Siddhanta 1, 2012:49) menjelaskan bahwa pemujaan
terhadap Surya sebagai Dewa Utama yang dilakukan sekte Sora, merupakan satu
bukti sekte Sora ada. Sistem pemujaan Dewa Matahari yang disebut Suryasewana dilakukan pada waktu matahari
terbit dan matahari terbenam menjadi siri penganut sekte Sora. Pustaka Lontar
yang membentangkan Suryasewana ini juga terdapat sekarang di Bali. Hal ini
membuktikan bahwa Pelinggih Surya merupakan simbolis dari sekte Sora yang telah
luluh menjadi satu dengan Sekte Siva siddhanta.
2.8.5 Taksu Agung
Konsep penyatuan Siva Siddhanta yang ada
didalam Pelinggih Taksu Agung belum dapat diterangkan atau di analisis oleh
penulis, namun dalam buku Bahan Ajar Siva Siddhanta II (Gunawa, 2012:21) di
jelaskan bahwa fungsi dari Pelinggih Taksu dengan Ista Dewata dari sekte Sakta
di India hampir mirip. Tapi menurut DR. Goris dan Lontar Purana Bali Dwipa,
tidak menyebutkan adanya sekte Sakta di Bali.
2.8.6 Pesaren
Konsep penyatuan Siva Siddhanta yang ada
didalam Pelinggih Pesaren kita cermati dari kata pesaren berarti ‘Istirahat’, berarti Pelinggih Pesaren
di buat berfungsi sebagai tempat peristirahatan para Bhatara-Bhatari pada saat
mengunjungi atau mengadiri suatu upacara. Karena seluruh Bhatara-Bhatari
melinggih disana, maka Pelinggih Pesaren merupakan penyatuan dari seluruh sekte
yang ada kedalam Siva Siddhanta.
2.8.7 Manik Galih
Jika dicermati dari fungsi Pelinggih
Manik Galih yaitu sebagai sthana dewata, yang berperan dalam pemberian
kehidupan yang kekal atau yang menghidupkan, yang diwujudkan dalam bentuk
sandang, pangan dan kekayaan berupa uang. Dewata yang di maksud adalah Dewi
Sri. Dewi Sri merupakan sakti dari Dewa Wisnu, maka konsep kristalisasi Siva
Sinddhanta dalam Pelinggih Manik Galih merupakan luluhnya Sekte Waisnawa kepada
Siva Siddhanta.
Adanya
sekte Waisnawa di Bali dengan jelas diberikan petunjuk dalam konsepsi Agama
Hindu di bali tentang pemujaan Dewi Sri. Dewi Sri dipandang sebagai pemberi
rejeki, pemberi kebahagiaan dan kemakmuran. Di kalangan petani di Bali Dewi Sri
dipandang sebagai Dewanya padi yang merupakan keperluan hidup yang utama
(Gunawan, 2012:49). Maka dari hal tersebut telah jelas sekali bahwa Pelinggih
Manik Galih merupakan salah satu simbolis dari adanya Sekte Waisnawa yang telah
luluh dengan Siva Siddhanta.
2.8.8 Persimpangan Luhur Batukaru
Konsep penyatuan Siva Siddhanta yang ada
didalam Pelinggih Persimpangan Luhur Batukaru, jika dicermati Pura Luhur
Batukaru merupakan salah satu bagian dari Pura Sad Kahyangan yang didirikan
atas anjuran Mpu Kuturan sekitar abad ke-11. Keenam pura yang menjadi bagian
dari Pura Sad Kahyangan salah satunya Pura Luhur Batukaru merupakan salah satu
tempat suci penyatuan Siva Siddhanta di Bali, maka dari itu Pelinggih
Persimpangan Pura Luhur Batukaru merupakan simbolis dari penyatuan seluruh
sekte ke dalam Sekte Siva Siddhanta.
2.8.9 Menjangan Seluang
Konsep penyatuan Siva Siddhanta yang ada
didalam Pelinggih Menjangan Seluang adalah kristalisasi dari seluruh sekte yang
ada. Hal ini dikarenakan Pelinggih Menjangan Seluang didirikan untuk
menghormati Mpu Kuturan yang sangat besar jasanya untuk mempersatukan seluruh
sekte yang ada di Bali.
2.8.10 Piyasan
Konsep penyatuan Siva Siddhanta yang ada
di Piyasan, bisa kita cermati dari fungsi. Piyasan berfungsi untuk tempat
menata gegaluhan (menghiasi pratima-pratima) dan kadang-kadang ngubeng
menghayat dewa samudhaya (dewa-dewi semua) yang sering disubut dewa pratista. Dari hal tersebut telah
diterangkan bahwa dalam Pelinggih Piayasan ngubeng menghayat dewa samudhaya
(dewa-dewi semua), maka Pelinggih Piyasan merupakan simbolis menyatukan semua
sekte yang ada menjadi Siva Siddhanta.
2.8.11
Candi Bentar
Konsep penyatuan Siva Siddhanta pada Candi Bentar tidak diketahui, karena
secara umum Candi bentar berfungsi
sebagai lawang pada saat keluar masuk pura saja.
2.8.12 Taksu Geginan
Konsep penyatuan Siva Siddhanta pada
Pelinggih Taksu Geginan, kita cermati dari fungsi Pelinggih Taksu Geginan yaitu tempat
umat menghubungkan dan mendekatkan diri kehadapan Sang Hyang Taksu Pradnyan.
Dalam keseharian umat menstanakan Sang Hyang Taksu yang merupakan kelebihan
dari kemampuannya yang dipergunakan sebagai sumber dari penghidupannya
sehari-hari. Disimak dari arti kata Taksu Geginan yaitu kegiatan yang dilakukan
sehari-hari yang dilaksanakan dengan tulus iklas dan bertanggung jawab. Hal
tersebut menerangkan bahwa Pelinggih Taksu Geginan merupakan penyatuan sekte
Waisnawa kedalam sekte Siva Siddhanta. Karena sekte Waisnawa di
Bali dengan jelas diberikan petunjuk
dalam konsepsi agama Hindu di Bali tentang pemujaan Dewi Sri. Dewi Sri
dipandang sebagai pemberi rejeki, pemberi kebahagiaan dan kemakmuran. Maka dari
itu fungsi Pelinggih dan Sekte Waisnawa hampir sama.
2.9 Asta Kosala-Asta Kosali
Dalam
buku Jro Mangku Pulasari (Cakepan Asta Kosala-Kosali, 2007:1-2) Arti kata Asta
Kosala-Asta Kosali ada berbagai pengertian diantaranya
1) Asta
Kosali adalah nama Lontar/Buku tentang ukuran membuat rumah.
2) Asia
Kosala adalah nama Lontar/Buku tetang ukuran membuat menara atau bangunan
tinggi, wadah, bade, usungan mayat.
3) Kosala
berarti Balai atau balai kambang di tengah-tengah telaga.
4) Asta
atau Hasta, ukuran panjang 1 (satu) hasta yaitu dari pergelangan tangan sampai
siku.
5) Asta
Dala berarti delapan helai daun (padma) sebagai lambang delapan penjuru tempat
kedudukan Dewa-Dewi.
6) Asta
Dasa Parwa berarti delapan belas atau 18 Parwa dalam Mahabharata
7) Asta
Sakti ialah delapan sifat maha Kuasa dari Tuhan
Dengan
sakti atau sifat kedelapan inilah merupakan kekuatan dari Dewa-Dewa tersebut
antara lain :
1) Dewi Sri
2) Dewa
Indra
3) Dewa
Guru
4) Dewa
Yama
5) Dewa
Ludra
6) Dewa
Brahma
7) Dewa
Kala
8) Dewa
Uma
Yang
sebagi patokan dasar ukuran timbul merupakan Tampak, Depa, Langkah dan lain
sebagainya. Dengan perhitungan jejak/tegak Dewa-Dewa penguatan tersebut diatas.
Maka demikian secara umun arti kata Asta Kosali.
Dalam
tugas ini, penulis tidak bisa menerangkan satu-persatu tentang Asta Kosala dan
Asta Kosali, karena informan tidak mengetahui secara khusus mengenai hal ini.
III PENUTUP
Simpulan
Dari materi yang telah di uraikan, dapat penulis simpulkan
bahwa penulis merupakan keturunan dari Sri Nararya Kresna
Kepakisan. Ada dua fersi mengenai asal atau Kawitan penulis. Menurut informan
dua fersi itu ialah dari fersi pertama bahwa keluarga penulis merupakan
keturunan dari Sri Nararya Kresna Kepakisan
yang pura kawitannya ada di Pura Sada Kapal, Kab Badung dan fersi kedua
bahwa keluarga penulis merupakan keturunan dari Sri Nararya Kresna Kepakisan
yang pura kawitannya ada di Pura Dalem Dukuh Gelgel, Kab Klungkung. Selanjutnya
penulis mempunyai penyanggre Kawitan di Desa Pandak Gede dan akhirnya kesah ke
Desa Penebel Kelod, Kec Penebel, Kab Tabanan, di desa ini lah keluarga penulis
membangun Merajan Keluarga yang di sungsung oleh 10 kepala keluarga.
Benang merah dari permasalahan ini bisa
dilihat dari perjalanan Parisentana Sri Naraya Kresna Kepakisan yang kesah
sampai ke Desa Penebel Kelod, Kec Penebel, Kab Tabanan dan membangun Merajan
Keluarga.
Penulis lebih menerangkan
pelinggih-pelinggih Merajan keluarga yang ada Desa Penebel Kelod, Kec Penebel,
Kab Tabanan. Adapun pelinggih-pelinggih tersebut, diantaranya :Kemulan, Ibu,
Kawitan, Surya, Taksu Agung, Pesaren, Manik Galih, Persimpangan Batu Karu, Menjangan
Seluang, Piyasan, Candi, Bentar, Taksu Geginan. Dalam tugas ini penulis juga
menerangkan Denah Merajan, Pejelasan tentang fungsi masing-masing Pelinggih,
Mantra dan Ulap-ulap Pelinggih, Makna dari Atribut-atribut (perhiasan)
Pelinggih, Banten yang digunakan dalam setiap Pelinggih, Konsep Penyatuan Siva
Siddhanta didalam setiap Pelinggih serta Asta Kosali-Asta Kosali.
Semua permasalah yang telah diterangkan,
dapat penulis terangkan bahwa Merajan penulis merupakan kristalisasi dari Sekte
Siva Siddhanta, semua itu bisa dilihat dali fungsi, banten, mantra disetiap
Pelinggih yang ada di Merajan.
Daftar Pustaka
Al
Barry, M. Dahlan.1994. Kamus Modern
Bahasa Indonesia. Yogyakarta :
Arloka.
Artikel
Keluarga, Raja Purana, Merajan Kawitan I
Gusti Wayahan Perti Sentana
Sri
Naraya Keresne Kepakisan Desa Pandak Gede.
Gunawan,
I Ketut Pasek. 2012. Pengantar Bahan Ajar
Siva Siddhanta I. Singaraja
: IHDN.
Gunawan,
I Ketut Pasek. 2012. Pengantar Bahan Ajar
Siva Siddhanta II.
Singaraja : IHDN.
Pulasari,
Jro Mangku. 2007. Cakepan Asta
Kosala-Kosali. Surabaya : Paramita.
Rai
Sudharta, Tjokorda, dkk.1992. Arti dan
Fungsi Sarana Upakara. Denpasar :
PHDI.
Seregeg,
I Wayan. 2003. Kidung Panca Yadnya.
Singaraja : Indra Jaya.
Soebandi,
Ktut. 1981. Pura Kawitan/Padharman dan
Penyungsung Jagat.
Denpasar : CV. Kayumas Agung.
Suandra,
I Made. Himpunan Ulap-ulap Palinggih.
Denpasar : PT. Upasada Sastra.
Sudarsana,
I.B. Putu.1998. Ajaran Agama Hindu
Manifestasi Sang Hyang Widhi.
Denpasar : Yayasan Dharma
Acarya Percetakan Mandara Sastra.
Suhardana,
K.M. 2006. Dasar-dasar Kepemangkuan.
Surabaya : Paramita.
Suhardana,
K.M. 2005. Babad Nyuhaya. Surabaya :
Paramita.
Surayin,
Ida Ayu Putu. 2002. Seri I Upakara Yajna,
Melangkah ke Arah
Persiapan
Upakara-upakara Yajna. Surabaya : Paramita
Tinggen,
I Nengah. 2011. Kumpulan Istilah Dalam
Agama Hindu. Singaraja.
Titib,
I Made. 2003. Teologi dan Simbol-simbol
dalam Agama Hindu. Surabaya :
Paramita.
------------.1995.
Panca Yadnya. Denpasar : PHDI
sri-nararya-kresna-kepakisan(arya
nyuh aya).html
Keterangan
lainnya :
|
I
Wayan Sukaada, merupakan Pemangku Merajan di Keluarga penulis, sekaligus
sebagai informan yang yang diwawancarai oleh penulis untuk melengkapi data
tugas Siva Siddhanta II.
![]() |
(Artikel Keluarga, Raja Purana) |
Papernya bagus, detail sekali.
AntwoordVee uitSalam,Rahayu.
de.sudi